Pahlawan Kemerdekaan RI :
Kisah Martha Christina Tiahahu, Gadis Belia Pemberani dari Nusa Laut Mengusir Belanda di Tanah Maluku
MALUKU, (ERAKINI) - Martha Christina Tiahahu adalah tokoh perempuan Maluku yang memimpin perlawanan terhadap kesewenangan Kolonial Belanda. Ketika Martha sedang mendampingi sang ayah memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut, di waktu yang sama Kapten Pattimura juga sedang melawan Belanda di Saparua.
Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
Dengan rambut panjang terurai serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia setia mendampingi sang ayah dalam setiap pertempuran, dari Pulau Nusalaut hingga Pulau Saparua.
Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya di Kapal Perang Eversten. Dengan penghormatan militer, jasadnya kemudian diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Martha Christina Tiahahu pada 20 Mei 1969.
Sosoknya menarik untuk selalu dikenang dan diteladani mengingat pada saat bergabung dalam pertempuran Maluku bersama pasukan Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura), usianya baru sekitar 16 atau 17 tahun.
Lilik Purwanti, Pamong Budaya Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, dalam tulisannya dikutip dari laman Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Selasa (6/8/2024) menyebutkan, Martha Christina Tiahahu lahir sekitar tahun 1800 di Nusa Laut, Kepulauan Maluku.
Ia merupakan putri dari Kapitan Paulus Tiahahu (pemimpin perlawanan di Nusa Laut) dengan seorang keturunan kapitan besar Lolohowarlau dari negeri Titawasi bernama Sina. Dengan demikian, Martha Christina berdarah Kapitan dari pihak ayah maupun ibun.
Sebagai putri berdarah Kapitan, Martha sejak kecil sudah mewarisi darah pejuang dengan nilai-nilai kepemimpinan dan keberanian, yang membawanya untuk terlibat langsung dalam pertempuran melawan Belanda.
Awal keterlibatan Martha dalam perjuangan dimulai saat ia diam-diam mendengarkan perbincangan antara ayahnya dan para kapitan lainnya tentang rencana perlawanan.
Hal ini berawal dari tembusan surat perintah Pattimura sampai di tangan para Kapitan Nusalaut yang isinya mengajak mereka ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda. Ketika melihat ayahnya bersiap untuk berangkat menghadiri pertemuan ke Saparua pada 14 Mei 1817, ia memohon kepada untuk diperbolehkan ikut.
Ayahnya awalnya menolak permintaannya mengingat keadaannya yang sangat berbahaya bagi seorang gadis remaja. Sampai tiga kali Paulus Tiahahu melarang putrinya ikut, namun gadis belia itu tetap teguh pada pendiriannya, hingga sang ayah pada akhirnya luluh. Dalam pertemuan tersebut, Paulus Tiahahu memohon agar putrinya diizinkan berjuang bersama para pejuang lainnya.
Thomas Matulessy kemudian mengizinkan Marthaikut serta dalam peperangan. Martha pun bergabung dalam barisan pejuang. Rambutnya yang hitam dan berombak ia biarkan terurai dengan semboyan bahwa rambutnya tidak akan diikat dengan rapih sebelum dicuci oleh darah-darah musuh yang dihadapinya.
Dalam perlawanan terhadap Belanda, Thomas Matulessy mengangkat Paulus Tiahahu sebagai kapitan Nusa Laut, dibantu oleh pimpinan pejuang lainnya seperti Martha Christina, Kapitan Abubu, dan Hehanussa Raja Titawaai.
Untuk memperkuat dan mempersiapkan strategi perjuangan di Nusa Laut, Thomas Matulessy mengirim panglimanya yang terkenal, Anthone Rhebok. Pasukan ini melakukan penyerangan terhadap Benteng Beverwijk di Sila-Leinitu, dan berhasil merebut benteng. Dalam pertempuran tersebut Martha Christina berjuang dengan keberanian yang luar biasa, hingga seorang penulis Belanda melontarkan pujian dalam bukunya sebagai berikut:
“Benteng Beverwijk bukan saja merupakan peringatan kepada Kompeni atas berdirinya kembali kekuasaan Belanda dalam tahun 1817, tetapi juga atas keberanian, sifat tidak takut mati dan kesetiaan dari seorang gadis pahlawan ialah Christina Martha Triago”.
Gadis belia ini bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga menggelorakan semangat kepada kaum wanita untuk ikut ambil bagian mendampingi kaum pria dalam setiap medan pertempuran.
Belanda pun kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Dalam pertempuran di Ulat dan Ouw, dengan semangat membara ia turun ke medan perang. Bahkan ketika senjata api kehabisan mesiu, ia menggunakan batu untuk menggempur musuh.
Andaikata pada waktu itu tidak dikendalikan oleh ayahnya, Paulus Tiahahu, maka mungkin karena kenekatannya ia telah menemui ajalnya dalam pertempuran sengit tersebut. Singkatnya, pertempuran di Ulat dan Ouw merupakan perang yang luar biasa. Mayor Mayer sang pemimpin pasukan musuh tewas dalam pertempuran tersebut.
Namun, setelah serangan bertubi-tubi dari Belanda, posisi pasukan rakyat melemah. Banyak pemimpin perlawanan, termasuk ayahnya, ditangkap. Meskipun vonis hukuman mati dijatuhkan kepada banyak pejuang, Martha dibebaskan karena usianya yang masih muda.
Belanda kemudian menyadari bahwa Martha Christina sebagai keturunan Kapitan yang besar pengaruhnya terhadap penduduk, sehingga berpotensi membahayakan kedudukan kolonial.
Belanda kembali menangkap Martha Christina dan membuangnya untuk kerja paksa di kebun kopi bersama dengan tawanan lainnya, seperti Pattiwael (Raja Tiouw), J Sahetappy (Guru sekolah di Saparua yang selama perang Pattimura bertindak sebagai Pendeta), Pattigoela (orang kaya dari Wakkal), dan Hehanusa (Raja Titawasi).
Dalam perjalanan menuju Jawa, Martha mogok makan dan jatuh sakit, hingga akhirnya meninggal dunia pada 2 Januari 1818. Jenazahnya yang dianggap sebagai "Mutiara Nusalaut" lalu dibuang ke Laut Banda.
Hingga kini warisan perjuangannya tetap hidup dan menginspirasi generasi-generasi banga untuk terus berjuang demi kemerdekaan dan keadilan. Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat monumen untuk mengenang jasa Martha Christina. Monumen Martha Tiahahu pun menjadi bukti sejarah keberanian wanita maluku dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sebentar lagi memasuki usia ke-79.