Penyebab Tupperware Bangkrut, Penjualan Anjlok Utang Capai Rp153 Triliun
JAKARTA, (ERAKINI) - Tupperware bangkrut menyusul anjloknya penjualan dan utang yang tidak mampu terselesaikan hingga mencapai Rp153 triliun. Perusahaan ikonik penghasil wadah makanan ini telah resmi mengajukan status kebangkrutan ke pengadilan di Amerika Serikat pada Selasa (17/9/2024) waktu setempat.
Chief Restructuring Officer Tupperware Brian J Fox mengungkapkan bahwa perusahaan saat ini sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan, dengan penjualan yang terus merosot.
“Menghadapi kebutuhan likuiditas yang mendesak dan tekanan operasional yang berlanjut, perusahaan memulai kembali upaya pemasaran untuk ketiga kalinya setelah akhir pekan 4 Juli,” kata Fox dalam dokumen pengadilan yang diajukan, dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/9/2024).
Untuk meyakinkan pemberi pinjaman agar mendukung penyelamatan finansial, Tupperware telah mencabut pembatasan perdagangan utang perusahaan.
Tiga investor baru, termasuk Stonehill Institutional Partners dan Alden Global Capital, membeli sebagian besar pinjaman senior perusahaan dengan harga 3 sen dolar. Namun, pinjaman sebesar USD8 juta mendorong para pemberi pinjaman saling menuntut.
Tupperware mengalami penurunan penjualan signifikan sejak 2020, terutama akibat dampak pandemi COVID-19. Pada Juni 2024 lalu, perusahaan terpaksa menutup satu-satunya pabrik di AS dan memberhentikan hampir 150 karyawan.
Dalam pengajuan kebangkrutan, Tupperware mencatat aset antara USD500 juta hingga USD1 miliar dan kewajiban utang mencapai USD 1 miliar hingga USD 10 miliar atau setara Rp153 triliun.
“Pengajuan ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dalam mendukung transformasi perusahaan, terutama dalam digitalisasi,” jelas Presiden dan CEO Tupperware Laurie Ann Goldman.
Perusahaan ini terkenal dengan produk plastiknya yang inovatif. Namun, permintaan pasar untuk wadah makanan berwarna-warni telah menurun, meskipun sempat meningkat selama pandemi. Lonjakan biaya tenaga kerja dan bahan baku pasca-pandemi juga menambah tekanan pada bisnis mereka.
Goldman menyebutkan, sejak beberapa tahun terakhir posisi keuangan Tupperware terus tertekan akibat kondisi ekonomi makro yang cepat berubah.
Saham perusahaan juga mengalami penurunan dramatis, yakni anjlok hingga 74,5 persen pada 2024, dan terakhir diperdagangkan hanya 51 sen.
Perusahaan telah berupaya membalikkan keadaan bisnis selama bertahun-tahun setelah melaporkan penurunan penjualan selama beberapa kuartal.
Pada April 2023, perusahaan sudah memberi singal pengajuan kebangkrutan. Tupperware tidak lagi dapat mendanai operasional kecuali menemukan lebih banyak keuntungan.
“Kami berharap tahun 2023 menjadi tahun transisi, karena kami berupaya menstabilkan bisnis dan memperkuat fondasi keuangan kami,” ujar Kepala Keuangan Tupperware Brands, Mariela Matute, kala itu dalam sebuah pernyataan.
Dalam pengajuan Bursa Efek pada tanggal 3 April 2023, hanya sebulan setelah merilis hasil keuangan tahun 2022, Tupperware mencatat keragian besar. Perusahaan yang berusaha bertahan akhirnya menyerah pada September 2024 ini.