Islam Wasathiyah di Pemilu Serentak 2024
Islam di Indonesia secara umum memiliki karakteristik moderat atau yang biasa disebut dengan Islam Wasathiyah. Islam Wasathiyah sesungguhnya bukan hanya menyangkut doktrin dan praktik keagamaan, melainkan juga diharapkan memberikan kontribusi positif dalam berbagai aspek lainnya, termasuk di bidang politik dan demokrasi, khususnya pemilu.
Reaktualisasi dan aktualisasi Islam Wasathiyah saat pemilu makin menemukan momentum aktualnya. Terlebih di tengah tren memudarnya politik aliran atau aliran politik yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai agama.
Terminologi Islam Wasathiyah sendiri terkadang disebut pula dengan Islam jalan tengah, atau Islam moderat. Terminologi Islam Wasathiyah bersumber dari Firman Allah dalam Surat Al-Furqan ayat 67. Islam Wasathaniyah memiliki beberapa prinsip, yakni: keseimbangan, lurus dan tegas, toleransi, mengedepankan musyawarah, mendahulukan prioritas, dan berkeadaban.
Prinsip-prinsip tersebut tampaknya sejalan dengan doktrin Aswaja An-Nahdliyyah, yang berisikan: keadilan (ta‘âdul), keseimbangan (tawâzun), moderat (tawassuth), toleransi (tasâmuh) dan perbaikan/reformatif (ishlâhiyyah). Formulasi dari Aswaja An-Nadhiyah tersebut kemudian dibingkai dalam bangunan Fikrah Nahdliyyah, yaitu paradigma (kerangka berpikir) sebagai landasan berpikir NU (khittoh nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan guna ishlâh al-ummah (perbaikan umat). Dalam kerangka Fikrah An-Nahdliyyah dan kemasan Prinsip Wasathiyyah (moderasi) inilah diterapkan untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, tenteram dan damai (salâm).
Prinsip-prinsip Islam Wasathiyah cukup banyak diadopsi pada konsepsi Moderasi Bergama yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag). Menurut Kemenag, moderasi memiliki padanan makna dengan kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl (adil), dan tawāzun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip Wasathiyah bisa disebut wāsiṭ. Yang bisa diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Disandingkan dengan kata beragama, Moderasi Beragama dimaknai sebagai cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni: memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Tujuan Moderasi Beragama untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia. Ada dua prinsip dalam Moderasi Beragama yang terinsipirasi dari ajaran Islam, yakni: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti selalu berada di tengah di antara dua kutub.
Sementara Abdul Halil menyebut, ada sembilan prinsip Moderasi Beragama yang harus menjadi pegangan para santri dan juga relevan bagi kalangan luar santri, yakni tawassuth atau mengambil jalan tengah, i’tidal bersikap objektif, tasamuh toleran/ramah terhadap perbedaan, musyawarah atau berunding, ishlah menjaga kebaikan dan kedamaian, qudwah kepeloporan dalam memimpin, muwathohah cinta tanah air, antikekerasan dan ramah terhadap budaya.
Pudarnya Aliran Politik
Salah satu wacana atau diskursus yang acapkali muncul dalam setiap kontestasi elektoral adalah mengenai politik aliran. Dengan begitu banyaknya agama, ideologi, isme-isme dan sebagainya, Indonesia sangat dikenal dengan kekayaan akan politik aliran atau aliran politik. Dari khasanah ini muncul berbagai studi atau riset ilmiah. Dari sudut kebudayaan, muncul teori trikotomi Geertz (1960), yaitu abangan, santri, priyayi sebagai dasar untuk memahami kultur masyarakat.
Dari sudut ideologi politik, Faith & Castel (1988) melakukan pembilahan kepartaian di Indonesia menjadi lima kategori yaitu: nasionalis radikal, komunis, sosialis demokrat, tradisional Jawa, dan Islam. Dari sisi akar sosial kultural partai politik, Ufen (2006) mengategorikan menjadi dua yaitu sekuler terdiri dari PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, Hanura. Dan Islam terdiri dari PKB, PPP, PAN, PKS, PBB.
Sejak Pemilu 2014, 2019 dan saat ini memasuki Pemilu Serentak 2024, percakapan mengenai politik aliran belum juga lenyap dari diskursus Masyarakat. Namun yang berbeda, diskursus ini bukan melulu dalam konteks ideologis melainkan lebih untuk kepentingan taktis, politis dan pragmatis.
Sejumlah kalangan menyebut, perilaku pemilih kini lebih vote-oriented dan money-oriented. Sebagai contoh, pada Pilpres 2019, PDI Perjuangan mempasangkan Capres Joko Widodo (Jokowi) dengan Cawapres KH. Ma’ruf Amien dimaksudkan agar mampu meraup ceruk pasar dari NU. Dan ternyata hasilnya tokcer. Sehingga Jokowi dan Ma’ruf terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.
Tetapi untuk Pemilu Serentak 2024, terjadi perubahan politik yang cukup signifikan di mana politik aliran bukan hanya memudar, melainkan juga berubah serta kurang lagi dijadikan instrumen politik dalam menentukan posisi cawapres. Penjelasan itulah yang bisa kita ajukan untuk menafsirkan penetapan Mahfud MD yang berpasangan dengan Capres Ganjar PranowoCawapres Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto, Cawapres Muhaimin Iskandar yang berpasangan dengan Capres Anies Baswedan.
Meskipun jika politik aliran masih ingin dijadikan sebagai pisau analisis untuk mencermati kandidasi, maka figur Anies, Mahfud atau Muhaimin, lebih bisa diidentifikasi sebagai kandidat yang memiliki latar belakang aliran politik yang kuat: baik mewakili elite politik Islam modernis atau Islam tradisionalis. Ketimbang figur lainnya. Tetapi tidak bisa dibandingkan pada kasus pencawapresan Ma’ruf Amien pada Pemilu Serentak 2019, yang memang kental pertimbangan politik alirannya (NU).
Implementasi Islam Wasathiyah
Memudar atau merosotnya politik aliran di Pemilu Serentak 2024, membuka kesempatan lebar kepada Islam Wasathiyah untuk memberikan konstribusi positifnya. Untuk itu, prinsip-prinsip Islam Wasathiyah yakni: keseimbangan, lurus dan tegas, toleransi, mengedepankan musyawarah, mendahulukan prioritas, dan berkeadaban, perlu dilakukan pembacaan ulang (rethinking), revitalisasi dan reaktualisasi. Muaranya terwujudnya penguatan wacana dan aktualisasi atau implementasi Islam Wasathiyah dalam ranah politik praktis.
Dalam konteks Pemilu Serentak 2024, prinsip-prinsip Islam Wasathiyah dapat dijadikan sumber motivasi, dan inspirasi. Bahkan diharapkan dapat menjadi pedoman berprilaku (moral atau etical of conduct), serta spirit atau ruh dalam melakukan aktivitas politik, baik secara wacana maupun aksi. Tujuannya supaya umat Islam Indonesia sebagai bagian terbesar dari negeri ini dan di antaranya banyak yang menjadi kandidat (calon presiden dan dan clon wakil presiden, atau calon legislatif), serta juga sebagai pemilih terbanyak pada setiap kali pemilu, berkontribusi positif. Caranya dengan membangun contoh terbaik (best exampler atau best practice) tentang implementasi Islam Wasathiyah dalam Pemilu Serentak 2024.
Sejumlah contoh implementasi Islam Wasathiyah di pemilu antara lain dalam hal keadilan. Manakala penganut Islam Wasathiyah tersebut menjabat penyelenggara pemilu (anggota KPU atau Bawaslu), mereka harus memperlakukan secara adil dan setara terhadap semua peserta Pemilu dan kandidat. Kesadaran ini penting Karena penyelenggara pemilu sejatinya adalah wasith (referee atau pengadil) yang harus berlaku adil. Jika pengikut Islam Wasathiyah sebagai penguasa atau petahana yang akan maju lagi di pemilu, tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk mendukung atau menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya.
Dalam mengimplementasikan prinsip keseimbangan (tawazun), penganut Islam Wasathiyah harus mampu memosisikan dirinya secara proporsional di tengah begitu banyak partai politik dan kandidat yang bertarung pada pemilu. Keseimbangan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk orentasi dan sikap untuk tidak perlu terlalu jor-joran mengurus pemilu, melainkan juga secara seimbang berkonsentrasi pada urusan di luar pesta demokrasi ini. Seperti agama, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Jangan sampai karena menjadi calon legislatif atau pendukung capres dan cawapres tertentu, keharmonisan berkeluarga terganggu, apalagi berantakan.
Sikap tasamuh atau toleransi menjadi karakteristik penting lain dari penganut Islam Wasathiyah. Dalam implementasinya pada pemilu, sangat menghargai perbedaan pendapat dan pilihan politik orang atau kelompok lain. Di sini penganut Islam Wasathiyah perlu menunjukkan identitasnya yakni tidak bersikap fanatik dan ekstrem, apalagi merasa dan menganggap hanya partai politik dan kandidat pilhannya paling benar. Sementara yang lain salah. Begitupun penganut Islam Wasathiyah harus mempunyai prinsip “boleh berbeda dalam pilihan politik, tetapi diupayakan jangan salah memilih calon pemimpin”
Karakteristik lain dari penganut Islam Wasathiyah adalah mengedepankan musyawarah, berkeadaban, ishlah menjaga kebaikan dan kedamaian. Pada setiap kali pemilu, pasti ada yang menang dan pasti ada yang kalah. Dengan spirit Islam Wasathiyah, maka partai politik, kandidat, konstituen atau pendukung yang ikut pemilu, harus lebih mengedepankan musyawarah yang penuh keadaban politik dalam wujud menerima apapun hasil pemilu dengan legowo. Hal ini harus diinsyafi oleh penganut Islam Wasathiyah karena pemilu sejatinya hanya menjadi salah satu ikhtiar dan alat untuk mencapai kebaikan dan kedamaian. Bukan menjadi tujuan. Jika dijadikan tujuan, terkadang bisa menggunakan segala cara. (*)
*) Penulis adalah Dosen Universitas PTIQ, Pegiat pada Literasi Demokrasi Indonesia