Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Aku Tahu Ini Rumah Allah

Aku Tahu Ini Rumah Allah

LANGIT kota Madinah begitu cerah. Awan-awan tipis berwarna putih menggantung seumpana gumpalan-gumpalan kapas membentang di petala langit. Di pelataran Masjid Nabawi (Masjid Nabi) yang berukuran 1300 X 785 meter persegi cahaya matahari menelisik di sela-sela 250 payung-payung raksasa di Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhamad ini. Cahayanya memendar-mendar membakar marmer putih yang biasa dipakai untuk tempat shalat para jamaah haji. 

Siang itu suasana Masjid Nabawi di King Saud Gate (pintu Raja Saud) tidak sepenuh ketika waktu shalat tiba. Jamaah haji dari berbagai negara terlihat keluar masuk dari pintu yang tidak begitu jauh dengan Babu Salam (pintu keselamatan). Pintu yang menghubungkan antara bekas rumah Rasulullah dengan Sayidah Aisyah R.A ini dibangun oleh Marwan bin Abdul Malik, khalifah sesudah Khulafaur Rasyidin.

Pintu Babu Salam merupakan pintu yang selalu  yang dilewati oleh Rasulullah setiap keluar Masjid Nabawi. Termasuk ketika beliau hendak melaksanakan haji Wada’ (Haji Perpisahan). Sehingga, melintasi pintu ini seakan melintasi jalan yang sering dilalui oleh Rasulullah.

Hari itu aku kebetulan mendapatkan piket di pos 03, salah satu spot yang sangat kusuka. Terleltak disebelah barat daya Masjid Nabawi, pos kami juga berjarak sekira 300 meter dari Masjid Ghamamah, sebuah masjid yang ketika jaman Rasulullah dan Khulafaurosyidin merupakan tanah lapang.

Di atas tanah yang sekarang dibangun masjid ini sejarah keindahan Madinah di masa Rasulullah seperti nampak di pelupuk mata. Setiap kumenyusuri jalan menuju taman di sekitar Masjid Ghamamah pikiranku seperti terbang melintasi ruang dan waktu membayangkan kondisi lapangan itu ribuan tahun lalu ketika para sahabat berjalan bersama Rasulullah menuju ke tempat ini.

Di tanah yang sekarang menjadi Masjid Ghamamah inilah dahulu Rasulullah pertama kali mendirikan salat Idul Fitri, Idul Adha dan menjalankan shalat Istisqo pertama tatkala penduduk Madinah dilanda kekeringan sebagaimana dinarasikan oleh Abdullah bin Zain. Sesudah menjalankan shalat Istisqo kemudian Rasulullah berkhutbah menyampaikan pesan tawakal  (percaya sepenuhnya kepada Allah) dalam melaksanakan salat Istisqa. Jika Allah menghendaki, hujan akan turun sebagai rahmat-Nya. Beberapa saat sesudah Rasulullah membacakan doa shalat istisqa itu awan hitam (Ghamamah) menyelimuti langit Madinah. Beberapa saat kemudian hujan pun turun mengguyur Kota Suci ini.

Di tempat salat Rasulullah inilah kemudian Sayidina Umar bin Khatab membangun sebuah masjid yang saat ini dikenal dengan Masjid Ghamamah (awan). Disamping beberapa meter dari tempat salat Rasulullah ini terdapat rumah Abu Bakar Shidik dan Ali bin Abi Thalib yang keduanya saat ini sama-sama menjadi Masjid dengan nama Masjid Abu Bakar Shidiek dan Masjid Ali bin Abi Thalib.

Pagi itu tidak seperti biasanya aku ingin sekali melakukan patroli di dalam Masjid Nabawi. Selama ini aku melakukan patroli di luar Masjid dan sekitaran Masjid Nabawi. Salah satu alasannya karena Masjid Nabawi selalu padat dengan jamaah shalat Arba’in. Sehingga menyebabkan Masjid Nabawi selalu penuh sesak dengan para Jamaah Haji.

Sebelum melakukan patrol ke dalam Masjid aku permisi kepada salah satu tim yang saat itu satu Pos denganku; Niswah Wara Pradhina, untuk menjaga Pos karena aku akan melakukan patrol ke dalam Masjid Nabawi. Ketika kakiku melangkah ke dalam Masjid udara sejuk langsung  menampar wajahku. Suasana Masjid saat itu tidak begitu ramai.

Sekumpulan Jamaah Haji tengah menjalankan shalat sunah tahiyatul Masjid, melakukan itikaf atau membaca al-Quran. Sementara di bagian belakang Masjid Nabawi ratusan anak-anak kecil dari berbaga benua berbaris saling berhadapan sambil mendaraskan hafalan mereka di depan guru mereka.

Aku mengitari area shalat Masjid Nabawi sambil berharap menemukan Para Jamaah Lansia yang tersesat atau terpisah dari rombongan. Setiap hari grup Seksus Masjid Nabawi dipenuhi dengan berita para lansia yang hilang atau tersesat. Sesudah  ku mengitari Masjid dan tidak menemukan satu pun Jamaah Haji lansia yang tersesat atau terpisah dari rombongan kumeminum air zamzam untuk kemudian duduk sambil menatap arsitek Masjid yang begitu memesona.

Saat kusedang melamun tiba-tiba seorang jamaah lansia yang kutaksir berumur 75 tahunan dengan muka basah karena air wudhu mendekatiku. Matanya menatapku sesaat untuk kemudian dia menaruh sandal jepit swalownya di rak sandal Masjid Nabawi. Sesaat kemudian beliau mengambil air zamzam untuk kemudian meminumnya berulang-ulang.

Aku memperhatikan jamaah lansia itu dengan penuh tanda tanya. Apakah kakek ini sendirian? Apakah kakek ini tersesat? Dan berbagai pertanyaan yang selalu muncul dikepalaku setiap melihat jamaah haji lansia baik itu laki-laki maupun perempuan. Maklum setiap hari puluhan kadang bahkan ratusan Jamaah Haji Lansia tersesat usai menjalankan shalat di Masjid Nabawi.

Mata sendu kakek itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan ada sesuatu yang sedang dia cari. Aku mendekatinya kemudian mengucapkan salam kepada beliau, “Kakek, kakek sama siapa?” tanyaku sambil terus menatap beliau yang masih terlihat kebingungan.

“Kakek dari kemarin sendirian, Nak! Teman-teman kakek meninggalkan kakek sendirian di sini,” jawabnya pelan. Aku langsung meminta ijin kepada beliau untuk men-scan barcode pada kalung identitas Jamaah Haji Indonesia yang beliau pakai. Sesudah ku scan barcodenya baru kutahu nama beliau ; Sunarto M Salim jamaah haji asal Magelang JKG 23 rombongan 09.

“Kakek uning mboten (tahu tidak) hotel kakek menginap di mana?” tanyaku pelan sambil masih tetap menatap wajahnya. Pak Narto terdiam. Beliau seperti kebingungan.

“Kakek mboten ngartos (tidak tahu) nama hotel kakek apa. Kakek baru sekali melihatnya ketika menaruh tas sesudah dari Bandara (Air Port). Kakek hanya ingat warnanya saja itu pun kakek sudah lupa-lupa.”  Ucapnya dengan tatapan kosong.

“Memang sudah berapa lama kakek tidak pulang ke hotel?” tanyaku kepada laki-laki yang kutaksir umurnya sekitar 75 tahunan itu.

“Kakek sejak kemarin belum pulang. “ ucapnya lemah. Aku menatap wajah laki-laki itu dengan tatapan iba. Aku merasakan guratan kesedihan menguasai wajahnya. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Seakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Rambut dan jenggotnya yang memutih sesekali berkibar-kibar tertiup angin. Tanganya yang keriput membereskan letak kopiah yang menutupi rambut putihnya.

“Kakek pernah tidak mencari teman kakek atau hotel kakek?” tanyaku penasaran.

“Setiap hari sesudah salat kakek mencari hotel dengan berjalan kaki mengitari Masjid Nabawi dari satu pintu ke pintu lainnya. Semua hotel di sini bentuknya sami sedanten (sama semua),” ucapnya dengan logat khas Magelang yang medok.

“Kalau kakek kepanasan kakek balik malih teng Masjid kemudian minum air zamzam,“ lanjutnya menceritakan. Aku menatap wajah jamaah haji lansia itu dengan tatapan iba. Membayangkan tubuh ringkihnya berjalan kaki di tengah terik Matahari Madinah yang panas membakar tubuhnya. Membayangkan heat stroke membuat kepalanya pening untuk kemudian dia harus tertatih-tatih menuju Masjid. Sungguh kasihan sekali pikirku dalam hati.

“Kakek juga mencari teman-teman kakek setiap Adzan berkumandang. Namun, sampai saat ini kakek tidak bertemu satu pun teman kakek, niki Syale meketen rencang kulo (ini syalnya begini teman kakek),” jelasnya sambil memegang syalnya yang sudah mulai penuh noda.

“Lalu makan kakek bagaimana selama dua hari ini?” tanyaku dengan mata mulai berkaca-kaca.

“Kakek mboten dahar (tidak makan) sama sekali. Hanya minum air zamzam mawon (saja) setiap lapar.” Aku terkesiap. Air mataku tiba-tiba menetes membasahi pipi. Buru-buru aku tutup mataku dengan kaca mata hitam. Agar beliau tidak mengetahui kalau aku menangis. Dari balik kacamata buliran hangat mulai menetes membasahi pipiku. Aku merasakan keletihan dan kelaparan yang dia rasakan selama hampir dua hari berada di dalam Masjid dan tidak makan sama sekali selain meminum air zam-zam.

“Kenapa kakek begitu tenang dan tidak terlihat kelaparan?” tanyaku sambil menyeka air mata.

“Kakek tahu ini rumah Allah. Di atas sana banyak MalaikatNya. Kakek yakin pasti akan ada orang yang akan menolong kakek,” ucapnya dengan penuh keyakinan. Telunjuknya dia arahkan ke Kubah Masjid Nabawi ketika dia mengatakan, “ Di atas sana banyak MalaikatNya.” Sebuah kalimat sederhana namun seperti menamparku. Aku merasa malu dengan keyakinan dan keimanan jamaah lansia ini. Betapa aku merasakan kesabaran dan keikhlasan beliau dalam beribadah kepada Allah.

Aku mencium tangan kakek itu. Perasaan bersalah tiba-tiba merajai perasaanku. “Kek, aku meminta maaf kepada kakek karena banyak kekurangan mengurus kakek,” ucapku dengan nada berat. Sesaat kemudian saku menggandeng tangannya dan membawa beliau mencari Mat’am (restaurant) terdekat. Dalam perjalanan menuju restaurant beliau bercerita bahwa selama berada di Masjid Nabawi seakan melihat wajah istrinya. Ia senantiasa hadir di peupuk matanya.

“Nenek meninggal pas Covid kemarin. Padahal nenek sudah mempersiapkan semuanya untuk kita berangkat haji  bersama,” ucapnya dengan nada sedih. Matanya menerawang seakan sedang mengingat wajah isterinya yang sudah disemayamkan di dekat rumahnya.

“Dia setiap bulan menabung dari hasil sawit yang kita miliki. Kami makan seadanya agar tabungan kami untuk berangkat haji cepat terkumpul. Dengan penghasilan sederhana itu Nenek juga memikirkan pendidikan tiga anak-anak kami. Kulo niki tiang ndeso, Nak, penuh keterbatasan dan kekurangan. Atas usaha dan perjuangan nenek menabung akhirnya ONH bisa lunas. Allah memanggil nenek ketika Covid Delta sehingga kakek melaksanakan ibadah haji sendirian tanpa didampingi oleh siapa pun,” kisahnya sambil sesekali menghadapkan wajahnya sambil menatapku.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Iya menyeka air matanya yang menetes membasahi wajahnya yang sudah keriput.

“Andai Nenek masih ada. Pasti dia akan kuatir ketika kakek tidak pulang-pulang dari Masjid sejak kemarin,” ucapnya terbata-bata. Hatinya begitu sedih. Dia merasa serombongan kloter

yang bersamanya tidak ada yang memperhatikan atau perduli padanya. Tidak ada orang yang mencarinya padahal ia tidak pulang ke hotel hampir dua hari lamanya.

Aku berusaha menghiburnya sambil terus memeluk tanganya yang kurus kering. “ Kake, aku yakin teman kakek mencari kakek. Kakek tidak tahu saja. Pasti mereka mencari kakek, Kok!” ucapku. Matanya masih berkaca-kaca ia diam saja tidak menimpali berkataanku sampai akhirnya kami tiba di depan sebuah Baqolah (Mini Market) di depan hotel menuju penginapannya.

“Kakek mau makan apa?” tanyaku kepada beliau. Awalnya dia hanya terdiam. Tidak berkata apa-apa. Tidak ada makanan yang familier untuk orang desa di mini market itu selain pisang dan roti.

“Tolong belikan kakek pisang satu butir saja, Nak!” pintanya dengan sopan sambil tanganya menunjuk pisang Sunkis.

Aku membeli sesisir pisang yang kakek tunjuk. Namun, kakek kelihatanya keberatan dan berkali-kali mengatakan, “Jangan nak, satu butir saja. Jangan merepotkan kake tidak mau,” ucapnya.

Aku pun membeli pisang yang kakek pinta. Satu sisir. Aku beralasan biar nanti bisa dimakan bersama sambil pulang menuju penginapan kakek. Dia diam saja. Pertanda setuju. Sesudah itu beliau dengan lahap memakan pisang itu.

Sesudah selesai memakan pisang kami pun menuju hotel Muhtar al-Masi tempat beliau tinggal. Udara sejuk hotel menyapa kami. Membuat tubuh kami yang seperti terbakar mendapatkan kesejukan. Kami bergegas memencet tombol lift. Sesudah sampai ke lantai jam 09 dan pintu lift terbuka teman-teman kakek Sunarto yang kebetulan saat itu sedang mengobrol di depan pintu kamar terkesiap melihat kedatanganku bersama kakek Sunarto.

“Ya Allah, awakmu kemana aja mbah?” ucap seorang jamaah lansia sambil menyalami tangannya dengan mata mengembang. Mereka langsung mengerumuni Kakek Sunarto. Bergantian bersalaman. Sebagian memeluk kakek itu erat sambil menitikkan air mata. Menangis karena kuatir dengan kondisinya. Kakek Sunarto menangis bahagia kembali berada di tengah-tengah rombongannya.

“Kenapa kalian tidak ada yang mencariku,” ucap kakek Sunarto sambil menangis. Asiman salah satu ketua rombongan disitu langsung menjawab, “Kami setiap habis solat mencari kakek. Semalam pun kami mencari kakek sampai jam 11 malam, Kek,” jelasnya.

Aku terdiam mematung di samping mereka. Melihat para tamu Allah saling berbagi kebahagiaan karena bersama lagi. Beberapa saat sesudah melihat mereka saling bersalaman dan berpelukan seorang jamaah lansia langsung menyuruh Kakek Sunarto makan. Aku pun berniat undur diri berpamitan dengan Kakek Sunarto. Namun, ketika aku hendak berpamitan tiba-tiba kakek Sunarto menaruh kembali boks Nasi bertuliskan Makan Siang dengan logo Kementrian Agama.

Sesaat kemudian ia menghampiriku. Memelukku. Untuk  kemudian menangis tersedu-sedu. Dipeluknya tubuhku erat untuk kemudian mencium pipi kanannya. Sesekali ia melepas pelukannya. Aku ditatapnya dengan deraian air mata. Kedua tanganya memegang pundakku seakan ingin menumpahkan rindu pada anaknya yang baru kembali merantau sesudah bertahun-tahun meninggalkannya.

“Terimakasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu,” ucapnya sambil menangis kemudan dipeluknya lagi tubuhku dengan erat dan diciumnya pipi kiriku sambil terus menangis. Lama sekali beliau memeluk saya. Tidak terasa air mataku mengembang. Buliran-buliran bening itu membasah pipiku turun dan terjatuh ke lantai. Aku ikut menangis dalam pelukan Kakek Sunarto.

Sesudah Kakek Sunarto melepas pelukannya aku mencium tangannya, “Kakek aku permisi dulu ucapku sambil menyeka air mataku. Kakek baik-baik yah,” ucapku berat. Seperti mau meninggalkan ayah sendiri –yang sudah lansia-- untuk menunaikan ibadah haji. Kakek Sunarto mentapku dengan buliran air mata menetes menuruni pipinya.

Sesekali diusapnya air matanya. Sesudah aku selesai menyalami tangan para jamaah haji yang mengerumuninya satu persatu dengan hati sedih aku memencet tombol lift untuk kembali ke Masjid Nabawi. Di dalam lift tiba-tiba aku menangis. Belum sampai lobi aku memencet tombol M untuk kemudian menuju ke toilet untuk membasuh wajahku yang penuh dengan air mata.

Sesudah kubersihkan wajahku aku keluar dari Hotel al-Muhtar al-Masi menuju hamparan taman Masjid Ghamamah yang dipenuhi burung-burung merpati. Air mata tiba-tiba kembali menetes berderai-derai. Saya mendongakan wajahku sambil mengucapkan apa yang diucapkan oleh kakek Sunarto, “Aku tahu ini rumah Allah. Semoga segala ikhtiarku melayani tamu-tamu Allah diterima olehNya” ucapku sambil mengusap air mataku.

Gagas Terkini