Cerita MOOC Pintar: 6 Bulan Pelatihan Diikuti 1 Juta Peserta, Efisienkan Anggaran Rp5,7 Triliun
PAGI ini kami mendapat kabar bahwa peserta pelatihan yang belajar melalui platform Massive Open Online Course (MOOC) Pintar sudah lebih dari satu juta, tepatnya 1.008.553 peserta.
Tentu, ini adalah kabar gembira yang harus disyukuri, karena sebelumnya kami tidak pernah membayangkan dalam enam bulan bisa melayani peserta sebanyak itu. Kemampuan kami selama ini baru bisa melayani jumlah peserta pelatihan yang ribuan, atau puluhan ribu saja. Jadi mendengar kabar sejuta peserta, hanya rasa syukur yang bisa kami panjatkan.
Kami semua, tim yang terlibat di MOOC Pintar masih ingat betul semua ketidakpahaman para pihak (bukan resistensi ya) kepada kami saat membangun platform ini, mulai dari yang iseng remeh temeh sampai ke yang serius dan diungkapkan di forum-forum resmi. Dari yang bentuknya sindiran-sindiran ketidaksetujuan, hingga ke pertanyaan-pertanyaan mutu dan legalitas platform.
Soal legalitas platform ini penting kami sampaikan, bahwa di Kementerian Agama regulasi yang memayungi pelatihan melalui MOOC Pintar memang belum ada yang berbunyi secara spesifik. Tapi metode pelatihan dengan pendekatan MOOC ini sudah ada di banyak regulasi, baik yang dikeluarkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) maupun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), bahwa MOOC adalah implementasi dari salah satu bentuk pelatihan asynchronous, yaitu pelatihan yang tidak mempertemukan pengajar/fasilitator dan pembelajar di waktu yang sama.
Metode pelatihan berbentuk MOOC ini juga digunakan di banyak Kementerian dan Lembaga. Jadi, tidak perlu khawatir tentang legalitas sertifikat yang dikeluarkan, semua legal.
Ketidakpahaman para pihak ini kami rasakan saat pertama kali kami akan memulai produksi media pembelajaran. Satu-satunya orang di tim kami yang bisa melakukan editing video, tiba-tiba diberi SK untuk pindah. Kami tidak tahu siapa yang mengusulkan dia dipindah, tapi semua tahu bahwa dia (di waktu itu) adalah satu-satunya orang yang kita harapkan bisa menyelesaikan persoalan produksi konten.
Artinya, memindahkan orang yang sedang menjadi tumpuan sesungguhnya sama dengan memotong kaki. Kami akan pincang, goyah, dan mungkin akan gagal. Meskipun kami para waktu itu mencoba bersikap tenang, kami semua sesungguhnya galau.
Kami mencoba bersikap rasional, bahwa ini bukan persoalan rumit, ini soal waktu, soal memundurkan timeline pekerjaan saja, karena setelahnya, kami segera membuat tim produksi baru yang kekuatan dan kualitasnya lebih baik. Dan alhamdulillah, benar ikhtiar kami, kami memiliki tim yang jauh lebih mumpuni.
Tidak hanya sampai di situ, ketidakpahaman para pihak ini ternyata berlanjut. Saat platform sudah mulai berjalan, sudah mulai diikuti oleh puluhan ribu peserta di setiap periode pelatihannya, tim andalan administrasi kami tiba-tiba diberi SK untuk pindah.
Kami ajukan permohonan agar yang bersangkutan jangan dipindah, karena ada sedikit banyak “ketergantungan” kami pada kemampuan dan kecepatan kerjanya. Sederhana yang kami pikirkan, tim pengelola harus disupport dengan administrasi yang rapi dan akkuntable.
Ketidakpahaman ternyata terus saja berlanjut, bahkan ada semacam pembentukan opini untuk “mendelegitimasi” platform ini, bahwa MOOC Pintar ini dibuat dengan serampangan tanpa mengikuti pakem pelatihan dari teori Lombado yang disucikan itu, yaitu Academic Learning, Social Learning, Experience Learning, tanpa melalui kajian yang ilmiah, tanpa perumusan masalah yang detail, tanpa naskah akademik, dan tanpa uji publik.
Kami menerima semua opini para pihak itu dengan santai. Kami bahkan sering berkelakar, Napoleon Bonaparte yang menguasai dua pertiga Eropa, menaklukannya tanpa teori, tanpa kajian, tanpa naskah, tanpa proposal. Napoleon hanya menggunakan strategi. Dan itulah yang kami tiru.
Kami semua sadar, meskipun kami bekerja di birokrasi, tapi berusaha untuk mengefisienkan penggunaan anggaran negara. Rapat-rapat yang bisasanya dilaksanakan di hotel, semua kami laksanakan di kantor. Kajian yang biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan, kami laksanakan dengan sangat sederhana tapi langsung pada jantungnya persoalan. Kami semua sadar, bahwa naskah dan dokumen-dokumen itu hanya akan menjadi laporan kegiatan dan akan ditumpuk di gudang, tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa.
Itulah mengapa kami santai dengan segala macam opini yang dialamatkan kepada MOOC Pintar. Kami semua sepakat, bahwa yang kami lakukan untuk men-transformasi digital-kan ini adalah dalam rangka memperjuangkan marwah organisasi, amanah regulasi, yaitu mewujudkan amanah yang diberikan kepada lembaga kami untuk melayani semua SDM dalam mengembangkan kompetensinya.
Kami semua tahu, bahwa sesuai dengan amanah regulasi, Pusdiklat dan Balai Diklat Keagamaan (BDK) adalah satu-satunya lembaga di Kementerian Agama yang diberi amanah untuk mengembangkan kompetensi. Saat ini setidaknya ada 3.1 (tiga koma satu) juta SDM yang harus ditingkatkan kompetensinya.
Dengan hanya melayani empat sampai lima ribu orang pertahun, marwah organisasi ini sesungguhnya sedang berada di titik nadir. Kemampuan ini sesungguhnya sangat di bawah standar, under performance. Karenanya, marwah organisasi ini harus ditegakkan.
Pusdiklat sebagai lembaga yang diberi amanah mengembangkan kompetensi harus menunjukkan kualitasnya, menunjukkan kemampuannya. Kami semua sepakat, 3.1 juta SDM itu harus bisa mengikuti pengembangan kompetensi minimal setahun sekali, syukur bisa dua atau kali.
Kami sadar perjuangan ini berat. Kemampuan organisasi yang setiap tahun hanya bisa melayani 4 hingga 5 ribu peserta, harus kita rumuskan bagaimana caranya bisa melayani tiga juta orang? Selalu kami diskusikan bagaimana strateginya, dari mana memulainya, sarana seperti yang harus diadakan, berapa anggarannya, seperti apa daya dukungnya, bagaimana resikonya? Dan sebagainya. Tapi kami semua berkomitmen, dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Selama kita berikhtiar, selama itu pula Allah Tuhan Yang Maha Kuasa pasti akan memberikan beragam kemudahan.
Dan benar, kini semua berjalan dengan baik. Ibarat mengendarai mobil, kami hanya fokus ke depan, meskipun sesekali melihat spion untuk mengetahui apa yang terjadi di belakang atau di samping. Kami hanya fokus pada satu tujuan, bagaimana caranya kami bisa melayani dua hingga tiga juta peserta pelatihan di setiap tahunnya.
Meskipun di banyak persinggahan tim di beberapa daerah, suara-suara sumbang yang mempertanyakan keberadaan MOOC Pintar sampai hari ini masih saja terdengar, namun itu tidak mengurangi fokus kami pada tujuan besar kami. Kami tahu, bahwa regulasi itu selalu tertinggal dengan konteks, sebagaimana ungkapan hukum berbahasa Belanda yang sering kami dengar: het recht hink achter de feiten aan.
Hari ini, platform MOOC Pintar sudah bisa melayani semua pengembangan kompetensi dalam jumlah yang sangat massive. Dan di waktu-waktu yang akan datang, kami akan mulai bergerak ke arah mutu. Ini sesuai dengan kaidah pendidikan, yaitu dari perluasan akses ke tahap perbaikan mutu, lalu ke daya saing.
Jangan pernah bicara mutu kalau perluasan akses belum dilakukan. Pun jangan berbicara daya saing alumni pelatihan jika belum melewati kualitas mutu pelatihan. Ini tugas berat, karena perbaikan mutu membutuhkan effort yang lebih besar, tidak hanya menyangkut penyempurnaan dan keamanan platform, kualitas SDM pengelola, talent pengisi materi pembelajaran, pengembangan tekonologi pembelajaran, dan kualitas alat evaluasi pembelajaran, tapi juga menyangkut penciptaan ekosistem pembelajaran, serta keseriusan dan kejujuran peserta pelatihan dalam mengembangkan kompetensi dirinya
Kami semua sadar, di satu sisi jumlah SDM yang harus ditingkatakan sangat besar, yaitu 3.1 juta, di sisi lain anggaran untuk menyelenggarakan pelatihan sangat terbatas, bahkan setiap tahunnya tidak pernah bertambah.
Karenanya kami bersyukur MOOC Pintar bisa dijalankan dengan pengelolaan anggaran yang sangat efisien, berbiaya sangat murah. Selama enam bulan terakhir ini, bahkan bisa mengefisienkan anggaran sebesar 5.7 (lima koma tujuh) triliun rupiah.
Perhitungannya adalah, jika satu juta peserta (angka pastinya adalah 1.008.553) jika dilakukan pelatihan dengan tatap muka dengan per kelas diisi 30 peserta, maka itu sama dengan 33.618 kelas. Anggaran penyelenggaraan pelatihan per kelas rata-rata adalah Rp. 170.000.000 (seratus tujuh puluh juta rupiah).
Jadi untuk melaksanakan pelatihan secara tatap muka untuk satu juta peserta adalah 5.7 triliun. Inilah nilai efisiensi yang dihasilkan oleh MOOC Pintar. Dengan pembelajaran berbasis teknologi, yang dibutuhkan hanya sewa cloud.
Sekarang, kita harus bersyukur karena dalam enam bulan terakhir, peserta pelatihan melalui MOOC Pintar sudah menjangkau satu juta peserta. Dalam enam bulan ke depan, kita targetkan jumlah yang sama, sehingga dalam satu tahun ini kita bisa melayani dua juta peserta. Kepesertaan dalam jumlah yang massive ini juga menjadi bukti, bahwa MOOC Pintar telah menjadi alat untuk mewujudkan demokratisasi pengetahuan.
Pengetahuan bukan hanya milik orang atau kelompok tertentu, bukan hanya miliki orang-orang yang diundang mengikuti pelatihan, tapi milik siapa saja yang ingin mengetahuinya. Untuk mendapatkan pengetahuan, tidak perlu repot-repot menunggu diundang mengikuti pelatihan. Cukup klik platform MOOC Pintar yang sudah kami sediakan, semua sudah tersedia.
Sebagai ungkapan syukur, kami akan terus meningkatkan kualitas layanan. Hampir semua eselon satu dan dua di lingkungan Kementerian Agama, termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri ingin bekerjasama dalam mengembangkan kompetensi pegawainya. Ini artinya posisi dan marwah kami telah berada di jalur yang benar.
Sekarang kami hanya cukup meneguhkan keyakinan, bahwa ketidakpahaman para pihak yang pernah kami alami dulu, itu hanya soal waktu. Pada waktunya, semua akan mengembangkan kompetensinya melalui MOOC Pintar. Wallahu a’lam.
Muhtadin AR, Pegawai Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kemenag RI, anggota tim MOOC Pintar Kemenag.