Merayakan Hari Dermaga di Pelabuhan Rakyat
Peringatan Hari Dermaga Nasional diadakan setiap tanggal 17 Juni. Setiap kali teringat Hari dermaga, ingatan saya akan berkelebat ke Madura. Tepatnya ke Legung Timur, Batang-Batang, Sumenep, tempat saya pernah berkunjung.
Desa ini terkenal dengan kasur pasir yang unik. Meski demikian, bukan kasur pasirnya yang hendak saya ceritakan. Tetapi, kehidupan nelayannya yang mau penulis sorot, sebab saya melihat kehidupan para nelayan di sana sangat sulit.
Misalnya ketiadaan dermaga bagi kapal-kapal ikan mereka. Selama ini, untuk mengantisipasi ketiadaan dermaga tersebut, para nelayan harus berenang ke tempat kapal bersauh. Sebagian diantar perahu bersama perbekalan. Bahkan aktivitas bongkar ikan pun dilakukan di tengah laut.
Dari timur, saya beranjak ke pantai utara Madura. Tak jauh dari perbatasan Sumenep, terdapat Pelabuhan Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan. Selain dermaga, fasilitasnya lengkap: mulai causeway, parkiran, terminal hingga perkantoran.
Tapi, suasana di tempat kedua ini sangat berbeda. Aktivitas Legung tampak hidup—meski di tengah kesulitan—Pelabuhan Batu Kerbuy saya lihat sepi. Bahkan terkesan ditinggalkan; dermaganya jebol dan bangunan keropos.
Memang secara fungsi, antara keduanya memiliki perbedaan. Legung dibuat untuk kebutuhan para nelayan menangkap ikan dan pelabuhan alam. Sementara Batu Kerbuy adalah pelabuhan buatan untuk barang dan penumpang antar pulau. Tapi jika dilihat dari segi urgensi, pelabuhan Batu Kerbuy tidak lebih penting dari dermaga untuk para nelayan Legung.
Konon, pelabuhan Batu Kerbuy menelan Rp300 miliar APBN. Sayangnya, menelan anggaran dengan cukup fantastis tidak menjamin dermaga itu ramai dan produktif. Sebaliknya, pelabuhan itu justru terbengkalai.
“Tak ada apa-apa di sini. Kadang hanya nelayan menambatkan perahunya di sekitaran pelabuhan. Kadang ditempati warga memancing ikan,” ujar seorang warga Batu Kerbuy Ahmad Fauzi kepada wartawan, 12 Januari 2023 lalu.
Pihak pemerintah sempat memberikan tanggapan terkait masalah ini. Pemerintah setempat beralasan bahwa tidak adanya upaya pemerintah daerah untuk menghidupkan Batu Kerbuy, sebab hal itu bukan kewenangannya. Pelabuhan itu, kata Sekretaris Dinas Perhubungan Pamekasan, Nurul Horiyanto, dibebankan kepada pemerintah pusat yakni Kementerian Perhubungan RI.
Kesenjangan Laten
Dari cerita yang telah diuraikan, penulis melihat ada kesenjangan laten soal dermaga di Pamekasan dan dermaga di Sumenep. Di Legung Timur, para nelayan aktif lalu lalang mencari ikan dengan segala resikonya karena minimnya fasilitas dermaga. Sedangkan di dermaga Batu Kerbuy, fasilitasnya lengkap mewah tetapi tidak ada aktivitas apapun.
Pelabuhan rakyat yang padat aktivitas, apakah dalam perikanan, angkutan orang atau barang, ternyata tak selalu punya dermaga. Sebaliknya, tempat atau kawasan yang belum meyakinkan sebagai jalur pelayaran, langsung bisa dibangun pelabuhan dengan fasilitas lengkap, malah tidak ada aktivitas.
Mengapa hal-hal semacam ini terjadi? Kita bisa berkaca dari cerita di atas. Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang membuat persoalan itu terjadi. Pertama, pembangunan fasilitas/infrastruktur kurang didahului survei dan perencanaan memadai. Akibatnya, tempat yang butuh dermaga terabaikan dan yang tak terlalu butuh malah dibangunkan pelabuhan.
Kedua, kurangnya koordinasi lintas sektoral maupun antara pemerintah daerah (provinsi/kabupaten) dengan pemerintah pusat. Kebutuhan daerah seolah digelontorkan dari pusat sehingga ketika terjadi mis-menejemen, daerah cuci tangan. Pihak pusat pun tak peduli.
Ini berlaku pada jenis pelabuhan utama atau pengumpul. Selain Batu Kerbuy, bisa diambil contoh lain: Pelabuhan Labuan Aji, Lombok Timur. Pelabuhan petikemas ini tak maksimal digunakan. Malah terjadi pendangkalan, kerusakan dan krisis pengelolaan.
Begitu pula Pelabuhan Telukbara di Pulau Buru. Pelabuhan itu jarang disinggahi kapal antar pulau, seperti dari Sanana dan Taliabu. Jalur kapal langsung ke Pelabuhan Namlea di timur.
Ketiga, pelabuhan rakyat (masuk kategori pelabuhan pengumpan) dibiarkan stagnan, tanpa perubahan. Semua disandarkan pada alam, padahal alam itu sendiri sudah berubah. Muara kian dangkal, sungai penuh endapan atau pantai abrasi sehingga kian menyulitkan kapal sandar.
Selain Legung, contoh lain adalah nelayan Surantih, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sejak “bumi terkembang” hanya mengandalkan pelabuhan alam (muara sungai). Tanpa dermaga. Sebaliknya Air Bangis, Pasaman Barat, dermaganya bagus sekali, tapi tak terpakai.
Pelabuhan Rakyat
Kementerian Perhubungan (2021) mencatat Indonesia punya 3.227 pelabuhan. Sebanyak 1.152 dikelola terminal khusus, 930 dikelola terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS), 70 dikelola Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dan 1.075 dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT).
Data ini jelas bukan sebatas dermaga. Sebab dermaga tak sekomplit pelabuhan. Ia jauh lebih sederhana ketimbang pelabuhan itu sendiri. Setiap pelabuhan pasti punya dermaga, bahkan bisa lebih dari satu. Namun sebuah dermaga belum tentu bisa dikategorikan sebagai pelabuhan dalam standar resmi Dinas Perhubungan.
Jika pelabuhan memiliki fasilitas pendukung seperti terminal, parkiran, perkantoran, termasuk jaringan, maka dermaga hanyalah salah satu fasilitas dari pelabuhan. Analogi Dishub,”Bila pelabuhan ibarat rumah, dermaga salah satu kamar dari rumah itu.”
Dalam pengertian itu, dermaga tak menuntut banyak. Ini membuat kita punya harapan menengok pelabuhan rakyat yang selama ini memanfaatkan kebaikan alam. Pembangunan dermaga jadi garansi menaikkan kapasitasnya secara cepat dan “praktis”. Selain tak perlu dana sebesar membangun pelabuhan, dermaga juga langsung menyentuh kebutuhan orang banyak.
Yang dibayangkan penulis bahwa jalur transportasi air yang masih aktif (sungai, danau, laut atau penyeberangan) didata titik kesibukannya. Sebutlah jalur sungai dan laut di pantai timur Sumatera, mulai Jambi, Riau hingga Kepri. Dari Nipah Panjang, Muara Sabak, Kuala Tungkal, Tembilahan, Mindah, Guntung, sampai pulau-pulau kecil lepas pantai Bintan atau Batam.
Jauh sebelum program Tol Laut dicanangkan Presiden Joko Widodo, jalur tersebut telah lama hidup. Hanya belum semua titik punya dermaga. Sebagian masih mengandalkan serambi rumah panggung untuk naik-turun penumpang kapal. Situasi ini juga terjadi di kawasan lain.
Sebenarnya, peningkatan kapasitas pelabuhan rakyat tak perlu melalui proyek skala besar. Apalagi sampai mengubah karakter pelabuhan alam yang damai dan tenteram. Juga tak perlu menunggu kebijakan pusat sebab pemerintah daerah seyogyanya bisa memulai.
Itu pun tanpa pretensi sebagai ruang investasi balik modal. Cukup semacam respon kultural yang membuat masyarakat di pelosok pedalaman atau pulau terluar bangga punya jalur dan moda transportasi air. Dan itu hanya perlu sentuhan kecil tapi bermakna: dermaga!
Penulis: Raudal Tanjung Banua, sastrawan dan anggota Grup Kuncen Pantai Barat