Kita mungkin sudah tidak lagi menginginkan dongeng sebagai bentuk komunikasi yang dulu dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya. Dongeng itu pernah mengisi kekosongan waktu dalam hiruk pikuk menjalani rutinitas kehidupan.
Malam hari, dongeng orang tua menjadi momentum pengantar tidur. Anak yang terbiasa dengan dongeng, ia secara tidak langsung dilatih akan berimajinasi dan berlatih daya kreatif.
Pada aras sederhana, kenyataan itu menyiratkan bahwa keluarga berperan sentral dalam melakukan fungsi pendidikan. Kebiasaan itu, kendati sederhana, memberi dampak panjang bagi seorang anak. Ini tak terlepas bahwa anak adalah tanggung jawab pendidikan yang perlu disiapkan untuk menjadi seorang warga negara.
Oleh sebab itu, pernyataan Ki Hadjar Dewantara dalam prasarana berjudul “Pendidikan dan Pengadjaran Nasional” yang disampaikan di Kongres Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesia ke-I pada 31 Agustus 1928 di Surabaya penting kita ingat. Di sana, Ki Hadjar menyebutkan:
“Mendidik anak itulah mendidik rakjat. Keadaan hidup dan penghidupan kita pada djaman sekarang itulah buahnja pendidikan kita jang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknja anak-anak jang pada waktu ini kita didik, kelak akan mendjadi warganegara kita.”
Pernyataan Ki Hadjar, ingin kita kontekstualisasikan di zaman mutakhir, abad XXI. Itu tiada lain tak terlepas dengan perkembangan yang terjadi.
Tak dapat dimungkiri, kita makin terperanjat pada capaian terobosan ilmu yang bernama teknologi. Namun, yang terjadi adalah hadirnya teknologi hanya menjadi obat pelipur lara. Kenyataan itu memperbesar peluang bangsa kita untuk sebatas menjadi pihak konsumen.
Teknologi dengan tunggang langgang membentuk imajinasi kolosal akan gaya hidup, busana, komunikasi, hingga cara pandang terhadap zaman.
Arkian, ada perubahan kebudayaan yang terjadi. Sebagaimana lazimnya, teknologi, pada satu sisi menyuguhkan peluang majunya peradaban, di sisi lain meninggalkan ruang kosong yang menyeruak berupa agihan persoalan pada zaman itu sendiri.
Mungkin, tidak salah saat ketika kita merenungkan kembali tulisan Y.B. Mangunwijaya, “Budaya yang Menculik Kita” (Tempo, 3 Januari 1987). Romo Mangun agak ragu dengan penggambaran masa depan kebudayaan nasional.
Ia menulis, “Budaya Pasca-Indonesia, pascanasional, bukan generasi otomatis kita segera masuk firdaus. Sebab, sebagian besar generasi muda masih akan fanatik dan hanyut terbawa arus fasisme gaya baru dalam beberapa aspek sains, teknologi, serta industri yang tega memanipulasi dan mengeksploitasi manusia lemah.”
Kini, kita mengerti, generasi muda adalah pertaruhan zaman, yang akan menapaki masa dengan perannya. Kembali pada perkara mendasar, bertumbuhnya generasi muda tak bisa dilepaskan dengan masa anak-anak.
Pada situasi yang terjadi, kecurigaan itu bertumbuh saat kita mengamati gejolak yang hadir dari pengaruh kebudayaan teknologi digital. Imaji orangtua konon makin menampakkan pengasuhan pada gawai.
Sentuhan itu secara tidak langsung mengubah pola transformasi kebudayaan dalam pendidikan. Interaksi antara orangtua terhadap anak bisa saja berkurang. Pengaruh dominan tumbuh dan kembang anak tiada lain adalah waktu layar mereka menghadap gawai.
Bertualang dengan berbagai konten superlatif yang acak. Di mana dari sana memungkinkan muatan negatif yang ditontonnya.
Anak-anak adalah peniru ulung akan apa yang dilihat maupun disaksikannya. Peristiwa-peristiwa yang mengetuk hati kita akhir-akhir ini membuat resah dan gusar. Seperti perbuatan seksual di bawah umur, perundungan antarsesama, kekerasan, hingga timbul tindakan tak santun terhadap orang yang lebih tua.
Apakah itu semua belum sah menjadikan alasan bahwa kemungkinan yang terjadi adalah berkurangnya percakapan dan berlebihnya sentuhan dengan teknologi?
Jauh lebih penting lagi, di hampir bersamaan, begitu mudahnya ajakan dalam menapaki kemajuan dengan cakupan tahun tertentu. Ada hal menarik bagaimana kita memerlukan antitesis untuk tidak lekas terjerembab masuk klaim pada misi bernada sloganistik yang kerap disampaikan oleh para pejabat.
Kita mungkin butuh penerapan pola lama, saat dongeng, kendati hanya menjadi pengisi waktu luang, kenyataannya berpengaruh bagi tumbuh dan kembang seorang.
Saat kita menilik bunga rampai garapan Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya (1983), ada tulisan di mana ia mengenang kehadiran dongeng-dongeng sebagai penentu kultur kehidupan.
Emha menulis, “Dongeng-dongeng itu menjadi performance imajinatif. Menancapkan moralitas, sikap, orientasi hidup, percontohan-percontohan luhur yang konkret dibutuhkan oleh alam batin manusia, di ruang mana pun dan di waktu kapan pun.”
Pernyataan Emha, memang terjadi pada masa lalu. Pada relevansi di masa kini memang tidak memungkinkan kita kemudian menolak kehadiran teknologi.
Namun, melainkan dari itu perlu dijadikan untuk meninjau ulang akan cara pandang terhadap kehidupan. Jangan-jangan, anggapan kita yang terjadi saat ini adalah alih-alih atas nama modernitas, kita lekas menganggap dongeng, cerita, hingga folklor adalah mitos yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan di luar itu semua, orangtua mudah terus menitipkan cita-cita pada anaknya yang menjadi beban tersendiri. Bukankah sedemikian itu keliru, bila pada landasan mendasar ada hal kurang sebagai pijakan untuk bekal proses anak menjalani hidup.
Kita makin miskin dongeng yang terwariskan pada anak-anak. Dalam konstelasi klaim kemajuan zaman, kita membuat dongeng-dongeng tersendiri dan baru yang menunjukkan daya krisis akan kebudayaan dan pendidikan.
Penulis : Joko Priyono, Fisikawan Partikelir dan Budayawan sekaligus penulis buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).