Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Kebebasan Beragama, Murtad dan  Moderasi Islam

Kebebasan Beragama, Murtad dan  Moderasi Islam

Perdebatan teoritik dan konseptual mengenai isu atau narasi besar tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan atau KKB (freedom of religion and belief) dan murtad (aspostasy/blasphemy) sudah  sangat lama terjadi. 

Dalam Islam, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain terhadap surat  al-Baqarah/2: 256  yang berbunyi “la ikraha fiddin” dan Hadits Nabi Muhammad SAW  tentang kebebasan beragama serta hadist Nabi Muhammad SAW  yang berbunyi “man baddalahu qatalahu’   terhadap pelaku murtad (riddah) dianggap menjadi salah satu pemicunya. 

Perdebatan tersebut menjadi kian kompleks karena mengundang keterlibatkan pemikir atau aktivis Islam dari berbagai kalangan, termasuk institusi negara dan institusi keagamaan Islam.

Dalam Islam, sejumlah peneliti atau akademisi acapkali merujuk kepada kelompok khawarij yang memiliki pandangan bahwa  seseorang yang telah murtad dianggap halal darahnya. Karena adanya anggapan Usman telah melakukan perbuatan dosa besar. 

Sedangkan dalam agama Kristen, menurut Rizzo (1999) sudah dianiaya oleh para  pemeluk Yudaisme. Semakin lama penganiayaan terjadi semakin intens, terutama ketika hal itu menjadi agenda politik para penguasa kekaisaran Romawi pertama, yaitu: tiberius yang mengeluarkan pernyataan politis non licet esse Christianos yang berarti menjadi orang Kristen sama dengan menjadi warga negara illegal. 

Di Indonesia, isu seputar ini sudah menjadi perdebatan klasik sejak para founding father merumuskan UUD 1945 dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) yang melibatkan wakil-wakil dari kelompok Islam dengan nasionalis sekuler. 

Tetapi akhirnya, founding father menyepakati rumusan UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 yang secara eksplisit memberikan kebebasan pada setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Sementara peran  negara terkait dengan hal ini dinyatakan pada pasal 29 Ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”.

Ikhtiar untuk memberikan perlindungan terhadap isu KKB yang masuk dalam klaster isu besar hak asasi manusia (HAM) tersebut berlanjut. Antara lain dengan terbitnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU. 

Di era orde baru, terbit TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM dan TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X Pasal 37. Sementara di era reformasi, terbit UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional terkait Hak-Hak Sipil Politik”.

Di tingkat global, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sudah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Sementara  UNESCO mencatat beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya dari sisi bahasa, yakni: pencemaran dan bahasa yang pejoratif atau eksklusif, membuat stereotipe negatif, menyindir dengan tujuan mengejek atau menghina, prasangka penilaian atas dasar generalisasi negatif dan stereotipe, pengkambinghitaman, diskriminasi, penolakan untuk berbicara kepada atau mengakui pihak lain, pelecehan, penajisan dan penghapusan, gertakan (bullying), pengusiran,  dan segregasi.

Tataran Aksi

Sebegitu jauh, masalah kebebasan beragama rumit dan kompleks. Pada masa orde baru dan orde reformasi, menurut Musdah Mulia, setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. 

Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. 

Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.

Kemudian pada sekitar awal 2.000-an muncul ketegangan kreatif yang dipicu munculnya pemikiran Islam kritis dari kelompok Islam liberal dengan gagasannya tentang sekulerisme, pluralisme dan liberaisme (SIPILIS), dekonstruksi al-Qur’an dan desakralisasi syariat, metodelogi tafsir heremeutika al-Qur’an, halalisasi kawin beda agama, homoseksual dan sebagainya. 

Gagasan Islam liberal ini kemudian menimbulkan respon atau reaksi balik dengan hadirnya kelompok Islam garis keras (hardliner), ekstrem atau radikal yang substansi pemikirannya merupakan antitesa dari kelompok Islam liberal. 

Sejumlah kelompok yang diidentikan dengan Islam liberal diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Sementara kelompok Islam garis keras atau radikal dialamatkan antara lain kepada Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MM).

Perdebatan seputar isu panas ini bukan sakadar wacana atau opini. Tetapi tidak jarang ditingkahi tindakan (action) kekerasan (violence). Misalnya Setara Institut (SI) menyebut,  pada 2020 terjadi sebanyak 62 kasus tindakan intoleransi. Tindakan intoleransi banyak dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). SI juga mencatat 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan. 

Jika dilihat dari daerah sebarannya, peristiwa pelanggaran atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)  paling banyak terjadi di Jawa Barat.

Sejumlah pesohor harus berurusan dengan pihak kepolisian karena dituduh melakukan penodaan atau penistaan agama. 

Seperti Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang, Roy Suryo,  mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Permadi Arya alias Abu Janda, hingga Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. 

Sementara pesohor lain dari luar Indonesia yang divonis ‘fatwa mati’ karena yang dianggap pemikirannya keluar mainstream antara lain  Salman Rushdie, Naguib Mahfouz, Nasr Hamid Abu Zayd. Wakil Indonesia yang pernah terkena vonis ‘hukuman mati’ adalah Ulil Abshar Abdalla, salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL).  

Sedangkan artis Ananda Soebandono yang murtad dan Marshanda yang diisukan murtad, tak luput dari persekusi dan bullyng. Di sisi lain, pelaku konversi agama makin banyak terjadi. 

Bahkan menjadi viral di media khususnya media sosial, terutama manakala pelakunya dari kalangan artis atau ulama. Seperti artis Asmirandah, Nafa Urbach, Lukman Sardi, Kiki Famala,  dan lain-lain. Sejumlah ulama juga dikabarkan ada yang murtad. Salah satunya Saifuddin Ibrahim mantan santri di salah satu pondok pesantren milik Muhammadiyah yang meminta 300 ayat di Al-Qur’an mengandung kekerasan dan terorisme dihapus. 

Di luar pelaku murtad, secara kuantitatif terjadi peningkatan fantastis. Anggota Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anton Tabah Misalnya menyebut, sebanyak dua juta orang murtad setiap tahunnya. 

Keragaman implementasi pengenaan sanksi hukum juga tercermati di fora internasional. Menurut data dari Center for Inquiry, Nigeria dan Pakistan menjadi dua negara yang membenarkan hukuman mati atau dibunuh terhadap pelaku penistaan agama. 

Sementara sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati terhadap pelaku murtad antara lain Afghanistan, Iran, Malaysia, Maladewa, Mauritania, Nigeria, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab. Sementara Pakistan tidak menetapkan menghukum mati untuk kemurtadan, namun menerapkan mati untuk ‘penghujatan’ dan ambang batas untuk penistaan agama rendah. 

Eksperimen Indonesia

Pemerintah Indonesia, sebagaimana pernah dikemukakan Menteri Agama (Menag) Maftuh Basumi dan hingga saat ini belum pernah dibantah atau dilarat oleh pejabat atau Menag saat ini berpandangan, kebebasan melaksanakan agama di Indonesia dijamin Undang-Undang Dasar. Tetapi, kebebasan itu ada batasnya, yakni dibatasi pelaksanaan agama oleh umat lain dan juga UU. 

"Kalau masing-masing umat memahami batasan-batasan itu, maka benturan dapat dihindarkan dan keutuhan negara dapat dipertahankan," kata Menag.

Sejauh ini, sudah cukup tersedia Pengaturan mengenai KKB. Misalnya. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab UU Hukum Pidana (KUHP Baru) yang merupakan pengganti  UU No. 1/PNPS/1965 yang mengatur sanksi pidana penjara selama-lamanya lima tahun diberlakukan bagi siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan penistaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia di muka umum, dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Dari pengaturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek hukum pidana terkait KBB adalah ucapan atau pernyataan yang bernarasi penistaan dan penodaan suatu agama, serta kepada penebar atau penyebar anti Ketuhahan Yang Maha Esa yakni: paham atau doktirn ateisme ataupun agnostisisme. 

Dari KUHP baru tersebut juga tidak terdapat pengaturan secara khusus menganai pelaku konversi agama (murtad), apalagi dengan jerat hukuman mati. Namun pelaku penodaan dan penistaan agama disamakan dengan pelaku kriminal.

Manakala hukum positif Indonesia tersebut dikomparasikan dengan fatwa-fatwa yang sudah diterbitkan oleh ulama dan khususnya institusi keagamaan di Indonesia, secara substansial ada irisan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kala itu dipimpin KH Ma’ruf Amien misalnya pernah menerbitkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama, Syiah dan Ahmadiyah sebagai aliran sesat atau haram. 

Pada 5 Agustus 2010, MUI juga menerbitkan fatwa Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme yang  menegaskan bahwa segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.  

Sedangkan terkait dengan pelaku murtad, sejauh yang dapat ditelusuri MUI belum pernah menerbitkan fatwa khusus untuk itu. Yang ada MUI Pusat, pernah mengeluarkan fatwa terhadap organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sebagai “sesat dan menyesatkan”, sementara bagi pengikutnya adalah keluar dari agama Islam (murtad). 

MUI berpendapat Gafatar merupakan metamorfosis dari aliran agama bentukan Ahmad Mussadeq yaitu dari Al Qiyadah Al-Islamiyah menjadi Komunitas Millah Abraham (Komar).

Terkait dengan hukuman mati dan HAM, Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar NU ke-33 di Jombang Jawa Timur Tahun 2015 sudah komprhensif disertai dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW) maupun argumen aqli (pemikiran) dari ahli tafsir dan fikih akhirnya sampai pada satu kesimpulan:  

“bahwa hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak hidup, merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam syariat Islam. 

Dan ajaran Islam dalam hal ini telah hadir lebih seribu tahun sebelum Declaration of The Human Rights yang digelar oleh PBB pada 10 Desember 1948. 

Akan tetapi ini tidak berarti bahwa Islam menutup ruang untuk diterapkannya hukuman mati. Hukuman mati bisa diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang merusak harkat dan martabat manusia dengan beberapa syarat yang ketat, diantaranya dibuktikan dengan alat bukti yang kuat dan meyakinkan. Dan hal ini tidak dianggap bertentangan dengan HAM dalam konsep Islam”

Sedangkan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan, menghadapi isu kebebasan beragama seharusnya bukanlah permasalahan sensitif, sebab agama Islam sangat inklusif terhadap perbedaan dan kebebasan manusia dalam berkeyakinan atau beragama.

Terkait dengan pelaku murtad, Ilham Ibrahim mengatakan,  sepanjang yang ia tahu, Muhammadiyah tidak pernah merekomendasikan untuk menerapkan hukuman mati bagi orang yang murtad. 

Sebagaimana penjelasan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Sopaan Sopa dalam Pengajian Tarjih, sikap muslim terhadap orang murtad sama dengan ketentuan umum tentang hubungan muslim dengan non-muslim.

Moderasi Islam

Pandangan, pemikiran atau opini khususnya di kalangan organisasi Islam di Indonesia tidak keluar dari pemikiran ulama Islam terdahulu, baik klasik maupun kontemporer.

Ulama kesohor seperti Imam Al-Ghazali melalui antara lain kitab Al-Mustasfa min al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl, Syekh Mahmud Syaltut,  Syekh Ali Jum’ah untuk menyebut sejumlah nama, membolehkan hukuman mati terhadap pelaku murtad. 

Dengan catatan tinta tebal, bukan karena murtadnya saja, akan tetapi karena faktor lain yaitu karena memerangi, membuat fitnah dan kekacauan di tengah kaum muslimin, serta memprovokasi mereka agar keluar dari agamanya. 

Pertimbangan lain yang acapkali digunakan dalam menetapkan pengenaan sanksi terhadap pelaku konversi agama adalah maslahat dan mafsadatnya dalam kerangka maqasidus syariah, yakni:  pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan keturunan, pemeliharaan harta dan pemeliharaan akal. 

Termasuk dampak pengenaan hukuman mati bagi keluarga, kerabat dan lainnya serta rasa dendam untuk membalas karena tidak menerima eksekusi hukuman mati tersebut. Serta berbagai ekses lain yang ditimbulkan dalam kontek keindonesiaan yang pluralistik.

Kalau boleh disimpulkan, perbedaan pokok antara hukum positif dengan fatwa atau pandangan hukum ulama, yakni: manakala hukum positif menerapkan sanksi pisik (penjara) atau materi. Sedangkan fatwa ulama dan Organisasi Islam lebih menekankan pada sanksi non fisik, atau moral dengan harapan akan lebih menimbulkan efek jera (deterrent effct) bagi pelakunya dan demi kemasalahatan bersama. 

Kedua jenis sanksi tersebut (pisik dan non pisik) sesungguhnya sama-sama berat. Namun sanksi non pisik dianggap lebih berat karena terkait hukuman yang tidak saja berimplikasi di dunia, melainkan dan terutama di akhirat. 

Hukum yang diterapkan Indonesia terkait dengan KKB atau pelaku murtad bisa dikatakan sebagai bentuk kombinasi antara hukum positif dengan hukum Islam. Atau lebih jauh lagi sebagai bentuk dari moderasi Islam atau Islam jalan tengah (Islam Wasathiyah) yang berpihak pada kondisi objektif keindonesiaan. 

Kondisi ini sesungguhnya mengirimkan pesan penting bahwa sebenarnya banyak pemikir, aktivis Islam, Termasuk institusi Islam dan negara sudah berupaya memberi kontribusi positf dan nyata guna memberi solusi atau jalan keluar atas problem KKB dan pelaku murtad pada khususnya dan isu HAM pada umumnya guna mewujudkan Islam Indonesia yang rahmatan lil alamin dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Wallahu a’lam bissawab.

Penulis: Achmad Fachrudin, Mahasiswa Program Doktor Universitas PTIQ Jakarta


Editor:

Gagas Terkini