Penunjukan Komjen Ahmad Dofiri sebagai Wakapolri bukan hanya sebuah rotasi jabatan, melainkan sebuah pesan kuat dari pucuk kekuasaan. Dofiri–sapaan akrab Ahmad Dofiri adalah sosok yang tidak bisa dianggap remeh.
Dia tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi pesantren dengan atmosfer yang mengedepankan moralitas, etika, dan integritas. Kini, sebagai putra daerah Indramayu yang berada di puncak kepolisian, Dofiri diharapkan membawa harapan besar bagi masyarakat yang mendambakan reformasi dalam tubuh Polri.
Namun demikian, ada pertanyaan yang sedianya bisa terjawab. Apakah Dofiri mampu mewujudkan harapan tersebut?
Pujian dan Harapan: Moralitas di Tengah Sistem
Ahmad Dofiri hadir sebagai simbol dari kejujuran dan keteguhan. Sebagai seorang santri, ia paham betul bahwa memegang jabatan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan kesempatan untuk menebar kekuasaan.
Kehadirannya di tengah hiruk-pikuk birokrasi Polri memberikan angin segar bagi institusi yang kerap kali mendapat sorotan tajam dari publik. Harapan besar bertumpu pada Dofiri agar ia bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya mengedepankan pengawasan, tetapi juga pendekatan manusiawi yang kerap hilang dalam dunia kepolisian.
Pada acara Apel Akbar 11.000 Kader NU dalam rangka menyongsong Satu Abad Nahdlatul Ulama di Kavling Kopelindo, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu, Dofiri dengan penuh rasa haru mengenang masa-masa ketika ia membaca kitab kuning.
Bagi Dofiri, kitab-kitab tersebut bukan sekadar teks yang ditulis, melainkan sebuah bimbingan moral yang memandu setiap langkah hidupnya. Baginya, kitab kuning adalah sahabat yang menemani dalam kesunyian, penuntun di saat kebingungan, serta penunjuk arah yang menguatkan ketika menghadapi tantangan.
Pada kesempatan baik itu, Dofiri berbicara tentang nilai-nilai pesantren yang telah menjadi dasar dari setiap tindakannya. Ia berharap nilai-nilai tersebut dapat diterapkannya dalam menjalankan tugasnya di Polri.
Dengan pendekatan yang lebih adil, santun, dan penuh penghormatan, Dofiri berusaha menjembatani hubungan antara kepolisian dan masyarakat. Masyarakat berharap bahwa sosok seperti Dofiri bisa menjadi contoh bagi jajaran kepolisian lainnya, menunjukkan bahwa kekuasaan yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan amanah.
Kritik: Antara Janji Reformasi dan Realita Birokrasi
Namun, apakah harapan ini terlalu tinggi? Jangan lupa, Dofiri bukanlah pemimpin pertama yang datang dengan reputasi bersih. Polri, sebagai sebuah institusi besar, bukanlah mesin yang bisa disetir oleh satu individu saja.
Polri adalah jaringan birokrasi yang sangat kompleks, yang sering kali terikat dengan berbagai kepentingan dan kepatuhan terhadap sistem yang sudah ada.
Menjadi seorang santri yang baik, religius, dan bersih memang mulia, tetapi apakah Dofiri akan mampu mempertahankan integritasnya ketika dihadapkan pada arus deras kepentingan yang sering kali bertentangan dengan idealisme moral yang ia bawa?
Kritik terbesar terhadap kepemimpinan Dofiri adalah bahwa moralitas individu seringkali terperangkap dalam jaring-jaring kekuasaan. Mampukah Dofiri mempertahankan komitmennya terhadap integritas, ataukah ia akan menjadi figur "wajah bersih" yang digunakan untuk menghaluskan citra Polri sementara praktik-praktik yang lebih problematik di dalamnya tetap tidak berubah?
Kepemimpinan Dofiri akan diuji dalam banyak hal, tidak hanya terkait bagaimana ia berperilaku di luar, tetapi juga sejauh mana ia berani menghadapi dan membongkar akar-akar masalah yang telah mengakar di tubuh Polri.
Tantangan terbesar adalah sejauh mana Dofiri dapat bertahan dari desakan-desakan birokrasi yang sering kali membelenggu nilai-nilai moral yang ia emban.
Penutup
Penunjukan Ahmad Dofiri sebagai Wakapolri membuka banyak harapan, namun juga menimbulkan keraguan. Bagi masyarakat, pertanyaan yang muncul bukan hanya soal apakah Dofiri mampu menjadi pemimpin yang baik, tetapi lebih jauh lagi, mampukah ia bertahan sebagai sosok yang tetap berpegang pada nilai-nilai keagamaan dan moralitas di tengah arus kekuasaan?
Kepemimpinan Dofiri akan dinilai bukan hanya dari janjinya, tetapi juga dari sejauh mana ia bisa bertahan menghadapi birokrasi yang sering kali mengancam keberpihakan pada nilai-nilai yang ia bawa.
Sebagai seorang santri yang tumbuh dalam tradisi pesantren, Dofiri memikul amanah yang sangat besar untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya peduli terhadap rakyatnya, tetapi juga mampu menjalankan tugas dengan integritas yang tinggi.
Ia diharapkan lebih dari sekadar figur simbolis, Dofiri harus mampu mewujudkan nilai-nilai yang selama ini ia junjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Di pundaknya kini terletak ekspektasi publik yang sangat besar—harapan akan kepemimpinan yang jujur, reformis, dan berani. Kini, kita semua menantikan: akankah Ahmad Dofiri berhasil mengubah wacana menjadi kenyataan, ataukah ia hanya akan menjadi pemanis dalam wajah lama yang tak banyak berubah?
Penulis: Muchamad Nabil Haroen, Alumni Pesantren Lirboyo, Anggota DPR RI 2019-2024, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa.