Search

Pilgub DKI 2024 Rasa Pilpres

Saat menyampaikan sambutan pada acara peluncuran (launching) Tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI, Sabtu (25/5/2024), anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos membuat matafora “Pilgub DKI rasa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)”.  Metafora tersebut mengirim  pesan dan sinyal penting bahwa Pilgub DKI pada 27 November 2024  dibayangi dengan sisa-sisa konflik, pergesekan, dan rivalitas pada Pilpres 2024 yang bisa berdampak pada turbulensi politik yang bisa mengganggu kondusivitas masyarakat maupun stabilitas politik di Jakarta maupun nasional.

Potensi konflik dan turbulensi politik pada Pilgub DKI 2024 sehingga muncul metafora “Pilgub DKI 2022 rasa Pilpres 2024”, banyak faktor penyebabnya. Salah satunya imbas dari Pemilu Serentak 2024, khususnya Pilpres 2024. Pangkal atau akar masalahnya adalah karena masih adanya partai politik (Parpol) yang tidak puas dengan proses Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) No. Urut 01 dan 03 dan sebaliknya memenangkan Paslon No. Urut 02 (Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka).  

Hal ini dapat dicermati dari pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V pada Jumat (24/5/2024). Bahkan PDI Perjuangan mengisyaratkan akan menempuh .jalan oposisi pada pemerintahan Prabowo ke depan. Keputusan PDI Perjuangan tersebut diperkirakan akan berdampak jangka panjang pada  terjadinya turbulensi politik, khususnya ketegangan hubungan antara legislatif (DPR) dengan eksekutif

Terlebih manakala PDI Perjuangan berhasil merangkul kelompok oposisi lainnya yang kemungkinan bakal ditempuh oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun kekuatan politik di luar parlemen. Jangan lupa karena pada Pileg 2024, PDI Perjuangan beroleh kursi terbanyak,  secara aturan main Ketua DPR akan dijabat politisi PDI Perjuangan. Sebagai ketua DPR, sedikit banyak peranannya lebih berpengaruh dan menentukan dibandingkan dengan anggota. Bahkan bisa memicu turbulensi politik berkepanjang, baik di tingkat nasional hingga lokal.

Rivalitas Jilid Dua?

Pada jangka pendek, pilihan politik PDI Perjuangan yang akan absen di pemerintahan Prabowo berpotensi memicu ketegangan pada Pilkada Serentak 2024. Sehingga Pilkada Serentak 2024 akan menjadi medan pertarungan politik atau rivalitas jilid dua. Beberapa daerah yang berpotensi terjadi ketegangan dan rivalitas politik keras/tinggi  adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagainya. Serta daerah-daerah dimana trah Jokowi atau orang dekat Jokowi maju menjadi calon gubernur/wakil gubernur atau walikota/wakil walikota. 

Tak terkecuali DKI. Apalagi biasanya para kandidat yang maju di Pilgub DKI adalah para ‘gajah” atau kandidat yang memiliki reputasi dan track record mumpuni.  Seperti: mantan menteri, mantan petinggi TNI/Polri, mantan gubernur, pimpinan politik tingkat nasional, para pesohor, dan sebagainya.  Diperkirakan, sekalipun Jakarta tidak lagi menjadi ibukota negara republik Indonesia karena sudah dipindahkan  ke Kalimantan Timur, Pilgub DKI 2024 tetap menarik, bergengsi dan kompetitif.

Begitupun apa yang dibayangkan atau diprediksi “Pilgub DKI 2024 rasa Pilpres” belum tentu terwujud secara empirik. Jikapun terjadi persaingan ketat masih dalam tarap wajar dan terkendali dengan syarat sebagai berikut.  Yakni:  pertama, semua peserta Pilgub DKI berkomitmen untuk tidak menjadikan Pilgub DKI sebagai ajang konstestasi jilid dua yang menimbulkan konflik tajam. Serta bertekad untuk mewujudkan Jakarta sebagai laboratorium demokrasi dan barometer Pemilihan yang lebih demokratis dan beradab.

Kedua,  Parpol yang sebelumnya menjadi pengusung Paslon Capres dan Cawapres No. Urut 01 dan 03 berikrar untuk berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo mendatang.  Ketiga, terjadi koalisi antara Parpol pendukung Paslon Capres dan Cawapres No. Urut 01 dan 02 dengan Paslon No. Urut 03 pada Pilgub DKI 2024.  Keempat, terjadi arus balik terhadap Parpol kontra Pemerintah, misalnya terhadap PDI Perjuangan atau PKS. Sehingga menjadi kelompok minoritas atau marjinal dan diposisikan sebagai ‘musuh bersama’ kelompok mayoritas. 

Kelima,  mantan Capres Anies Rasyid Baswedan atau mantan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tidak ikut kembali bertarung di Pilgub DKI 2024. Pada satu sisi, jika hal tersebut terjadi, sedikit banyak akan mampu meminimalisir dan meredam konflik dan turbulensi politik. Namun di sisi lain, dari sisi Pilgub DKI  sebagai ajang demokrasi elektoral yang sifatnya terbuka dan bebas,  seyogianya tidak boleh ada larangan yang sifatnya sistematis dan politik terhadap keikutsertaan seseorang pada Pilgub DKI, sepanjang semua syarat yang diatur peraturan pertundangan terpenuhi.

Faktor Penyelenggara Pilgub DKI

Di luar faktor kandidasi dan kontestasi,  turbulensi politik bisa dipicu dari faktor Penyelenggara Pemilihan dan Penyelenggaraan Pilgub DKI. Dari faktor Penyelenggara Pemilihan (KPU DKI dan Bawaslu DKI), turbulensi politik berpotensi meledak bilamana terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip profesionalitas, independensi, integritas, kepastian hukum dan lain-lain sebagaimana diatur oleh UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, baik secara sengaja, tidak sengaja maupun karena faktor kelalaian.

Dari  sisi proses Pilgub DKI 2024,  turbulensi politik bisa muncul disebabkan antara lain akibat berbagai peraturan perundangan Pilgub DKI disusun dan diterbitkan tidak berkualitas, tidak lengkap, tidak tepat waktu terbitnya, tidak dilaksanakan secara taat asas, tertib dan tidak konsisten; antara perencanaan dengan program serta anggaran tidak sinkron; pengelolaan anggaran tidak untuk semestinya, dan berbagai faktor lainnya. Jika ini terjadi, KPU DKI berpotensi dianggap sebagai faktor pemicu turbulensi politik.

Kemudian ketegangan dan turbulensi politik bisa juga terjadi karena faktor tahapan yang tidak berjalan susuai dengan peraturan perundangan maupun  jadwal dan tahapan Pilgub DKI. Seperti pencalonan, pemutakhiran data pemilih, kampanye, pengadaan dan distribusi logistik,  pemungutan dan penghitungan suara dan sebagainya. Jika berbagai tahapan Pilgub DKI 2024 terjadi kekisruhan dan dampaknya memunculkan ketegangan dan turbulensi politik, KPU DKI berpotensi dituding sebagai salah satu pemicunya.

Ketegangan dan turbulensi politik juga bisa dipicu oleh kegiatan non tahapan Pilgub DKI. Misalnya terjadi intervensi penguasa (pusat dan daerah) dalam proses pencalonan. Kemudian  maraknya politik mahar, sambako, politik identitas, politik uang, politisasi birokrasi, kampanye bernuansa permusuhan serta berbagai modus-modus kecurangan Pemilihan lainnya.  Jika ini terjadi dan apalagi berlangsung secara massif dan kemudian terjadi pembiaran dapat menimbulkan turbulensi politik. Disini Bawaslu DKI sebagai institusi Pengawas Pemilu dan Penegak Keadilan Pemilu, akan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. 

Tugas KPU DKI

 Metafora “Pilgub DKI 2024 rasa Pilpres” yang disampaikan oleh Betty Epsilon Idroos yang merupakan satu-satunya perempuan pada komposisi keanggotaan KPU RI Periode 2022-2027, sebenarnya dialamatkan kepada semua pemangku kepentingan Pilgub DKI.  Namun karena ucapan tersebut disampaikan di forum yang dihelat oleh KPU DKI, wajar jika muncul tafsir atau opini seolah-olah metafora tersebut terutama dialamatkan kepada KPU DKI.

Untuk mensikapi hal tersebut,  terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh KPU DKI, yakni:  pertama,  KPU DKI perlu memiliki pemahaman yang sama dan mengkaji secara komprehensif apa makna dengan “Pilgub DKI rasa Pilpres”, apakah itu makana denotatif atau konotatif. Kemudian diidentifikasi potensi kerawanannya berbagis pada pengalaman Pilgub DKI 2017, Pemilu Serentak 2019 dan 2024. Selanjutnya, dicarikan solusinya. Kedua, diperlukan kemampuan manajemen krisis dan manajemen konflik guna menghadapi berbagai kemungkinan terjadinya  turbulensi politik di Pilgub DKI. 

Ketiga,  KPU DKI mutlak menerapkan prinsip-prinsjp Penyelenggara Pemilu yang profesional, independent, berintegritas, transparan, akuntabel dan sebagainya. Dengan cara menjadikan semua proses atau tahapan Pilgub DKI  terlaksana sesuai dengan koridor peraturan perundangan dan memperlakukan semua peserta Pilgub DKI dengan adil dan proporsional. Jika terjadi distorsi antara peraturan perundangan dengan implementasinya dicarikan solusinya secara kreatif dan inovatif tanpa melabrak peraturan perundangan.

Keempat, KPU DKI mesti menjadikan Pilgub DKI 2024 sebagai momentum rekonsiliasi, integrasi atau rujuk  nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, KPU DKI harus berkolaborasi secara konkrit dengan semua stakeholder Pilgub DKI, khususnya Parpol,  kandidat,  pemantau, penggiat demokrasi, akademisi, aktivis pergerakan kemahasiswaan atau kepemudaan dan sebagainya. 

Kelima, KPU DKI harus menghilangkan kesan atau opini seolah-olah Pilgub DKI merupakan  kepanjangan pertikaian politik jilid dua setelah Pilpres 2024. Serta berbagai isu negatif lainnya yang biasanya muncul pada Pilgub DKI.  Untuk itu KPU DKI harus melakukan perbaikan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) khususnya, Website KPU DKI, baik dari sisi pengelolaan, isi, redaksi, lay out, info grafis, dan sebagainya. 

Sedangkan secara eksternal, perlu dibangun hubungan kolaboratif dan strategik dengan pengelola media dan awak media, khususnya media mainstream, baik cetak, online, televisi, dan sebagainya. Tujuannya untuk mengelola berbagai opini seputar Pilgub DKI dengan berbagai dinamika. Sekaligus untuk membangun opini positif bagi pada KPU DKI di Pilgub DKI Jakarta 2024, yang akan berlangsung pada Rabu 27 November 2024.

Penulis: Achmad Fachrudin, Akademisi dan Penggiat Literasi Pemilu. 

advertisement