Perlukah Penghapusan Remisi bagi Narapidana Korupsi?
Bertambah tahun kasus korupsi semakin meningkat di Indonesia entah dikarenakan salah dalam penegakan hukumnya atau memang perlu adanya pembaharuan hukum sehingga dapat mencapai keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Bagaimana cara untuk mencapai kesejahteraan sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945? Lalu bagaimana cara agar keadilan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila apabila penegakan hukumnya stagnan dan tidak ada pembaharuan?
Sebab berdasarkan salah satu adagium hukum Lex prospicit, non respicit, hukum melihat ke depan, bukan ke belakang. Karenanya, sudah seharusnya ada tinjauan lebih lanjut apakah peraturan tersebut lebih baik tetap diterapkan atau sebaiknya dalam proses penegakan hukumnya yang lebih ditingkatkan.
Kehadiran atauran terkait remisi yang terdapat dalam pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut aturan ini, terdapat dua macam remisi, pertama, remisi umum yakni remisi yang diberikan pada saat hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. Kedua, adalah remisi khusus yakni diberikan pada saat hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau anak yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
Sejauh ini memang, pemberlakukan aturan ini memunculkan perdebatan, terutama terkait memberlakukan remisi bagi narapidana korupsi atau tidak perlu diberlakukannya remisi. Apabila mengaca pada hak asasi manusia, sesuai dengan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan Masyarakat.
Dalam hal ini seorang koruptor telah mencederai hak asasi manusia dengan mengambil hak-hak orang lain dengan memperkaya diri sendiri. Lebih jauh dari itu, dalam pengaturan hak asasi manusia juga haruslah terdapat pembatasan-pembatasan yang diberikan untuk menjamin penghormatan dan kebebasan orang lain yang telah diatur dalam pasal 28 j ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945 sehingga pemberlakuan hak asasi manusia bagi narapidana korupsi juga haruslah memiliki batasan-batasan yang telah ditetapkan sesuai dengan undang-undang.
Akan tetapi, dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa semua manusia yang hidup di bumi Indonesia ini berhak mendapatkan perlindungan hak-hak asasinya, tanpa terkecuali para narapidana yang sedang menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan juga harus diberikan dan dilindungi hak-hak asasinya.
Jika remisi terhadap narapidana korupsi dihapuskan, maka hal tersebut merupakan suatu kebijakan yang mendiskriminasi narapidana korupsi. Narapidana korupsi berhak atau layak mendapatkan remisi karena merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia.
Sementara itu, dalam pasal 10 ayat (2) No. 2 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan diberlakukan syarat, sebagai berikut:
a. Berkelakuan baik
b. Aktif mengikuti program pembinaan
c. Telah menunjukkan penurunan tingkat resiko
Dalam persyaratan pasal ini, yang menjadi kelemahannya adalah adanya perilaku baik maupun aktif dalam program pembinaan, belum tentu dapat menjamin seseorang untuk tidak melakukan perbuatannya kembali.
Bisa saja mereka hanya memanipulasi dalam lapas sehingga dengan mudah mendapatkan remisi dan dapat bebas. Terlebih para narapidana kasus korupsi bukanlah para preman yang watak dan sikapnya cenderung keras dan urakan. Para koruptor kebanyakan adalah para pejabat yang selalu menjaga penampilan dan sikap di hadapan orang lain.
Kemudian, dengan adanya syarat dalam poin c pasal tersebut yakni telah menunjukkan penurunan tingkat resiko, tentunya dalam tindakan korupsi akan sulit dinilai. Akan tetapi, Dalam hal ini adanya persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang Pemasyarakatan diperuntukkan bagi seluruh narapidana bukan hanya narapidana korupsi. Tentunya apabila dikaitkan asas equality before the law yakni semua sama di hadapan hukum, maka pemberian remisi pada semua narapidana terkecuali dan yang telah memenuhi syarat.
Namun khusus untuk narapidana tindak pidana korupsi ada syarat tambahan pemberlakuan remisi, yang diatur dalam Pasal 34A ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 yakni:
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan di atas, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi koruptor atau narapidana tindak pidana korupsi adalah bekerjasama dengan penegak hukum dan membayar lunas denda dan uang pengganti.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 10 PERMENKUMHAM Nomor 7 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas PERMENKUMHAM Nomor 3 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Dengan demikian, selain adanya syarat berperilakuan baik, aktif kegiatan pembinaan juga terdapat syarat tambahan khusus bagi narapidana korupsi. Memang bertambahnya kasus korupsi di Indonesia bukan hanya dikarenakan berlakunya remisi bagi narapidana korupsi akan tetapi terdapat banyak faktor yang dapat menunjang kasus korupsi semakin meningkat.
Pemberlakuan remisi ini merupakan salah satu faktor memperingan hukuman yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga merupakan salah satu hak bagi seorang narapidana untuk memperolehnya apabila telah memenuhi syarat.
Namun yang menjadi perbincangan di masyarakat adalah karena masa hukuman untuk para koruptor yang dianggap terlalu ringan, tidak seimbang dengan kerugian negara akibat perbuatannya.
Ditambah lagi dengan adanya remisi yang juga berlaku bagi para narapidana korupsi ini, maka akan semakin ringan hukuman bagi para koruptor. Memang tidak salah persepsi masyarakat yang demikian, karena masyarakat juga berharap agar kasus korupsi hilang atau minimal berkurang dari negeri ini.
Namun, selagi belum ada pembaharuan hukum terkait remisi bagi narapidana korupsi, maka peraturan tersebut tetap harus diterapkan, karena menyangkut hak-hak narapidana.
Penulis: Ulqy Khoirun Niswah A, mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura