Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Kursi Roda untuk Ibu Fatimah

Kursi Roda untuk Ibu Fatimah

SIANG itu cuaca di Masjid Nabawi, Madinah al-Munawarah, begitu terik. Panas matahari sedang memuncak. Namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan niatan ribuan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong menuju Masjid Nabawi untuk melaksanakan salat Zuhur berjemaah.

Di Sky Vew Resto, sebuah resto yang berjarak selemparan batu dari Masjid Nabawi saya berdiskusi dengan seorang petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)  Arab Saudi Sektor Khusus Masjid Nabawi yang dipimpin Letkol Surnadi. Perbincangan mengenai pengalaman paling membahagiakan selama menjadi petugas haji. Petugas itu, sebut saja namanya Lucky Fitri Ananda Pratama.

Lucky menceritakan bahwa ketika melakukan patroli di areal pintu 318 pelataran Masjid Nabawi, Madinah al-Munawarah matanya tertuju pada seorang jemaah haji lansia yang duduk sendirian. Mukanya menoleh kesana kemari mencari teman-temannya yang tadinya bersama-sama berangkat ke Masjd Nabawi. Tidak ada satu pun yang tersisa. Semua telah meninggalkannya sendiri di masjid ini.

Lucky pun menghampiri perempuan lansia ini. Sang lansia itu bernama Siti Fatimah Abdul Manap,  jemaah haji asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Takdir Allah memang lembut. Selembut pertemuan yang membawa Lucky untuk bisa berkenalan dengan jemaah haji lansia ini. Pertemuan yang menurutnya menorehkan hikmah (blessing) dan kebahagiaan dan tentu saja kenangan yang tidak terlupakan.

Ditemui Lucky, sang ibu pun seolah mendapat penyelamat. Bahkan sang ini tersebut langsung terlibat percakapan hangat dengan Lucky. Hal itu  mungkin karena kerinduannya pada anak-anaknya. Awalnya, Ibu Fatimah menunjukkan foto ketiga anaknya dari ponsel sederhana miliknya. Ibu Fatimah memperlihatkan foto anak seorang perempuan, laki-laki, dan anak bungsunya yang masih bersekolah.  Sementara anak pertama dan anak keduanya sudah menikah.

Sang ibu bercerita, beberapa tahun sesudah kedua anaknya menikah, tepatnya tiga tahun yang lalu Ibu Fatimah terserang stroke yang membuatnya kesulitan untuk berjalan dan berbicara. Saat berbicara,  dia terasa berat dan cadel. Dalam kondisi kebingungan dan tersesat, dia meneruskan bercerita dengan suara terbata-bata dan berurai air mata. Dia mengaku begitu merindukan anak-anaknya yang kini seperti sudah jauh darinya. Sesudah mereka menikah. Menurut Ibu Fatimah, anak-anaknya semakin kurang memiliki perhatian terhadap dirinya.

Bagi Ibu Fatimah, menunaikan ibadah haji dengan kondisi seperti ini begitu berat. Suhu Kota Madinah begitu panas, sangat kontras dengan kampung halamannya. Ditambah padatnya jemaah haji membuat medan ibadah bagi lansia seperti dia makin tak mudah. Tingkat panas di Madinah bisa saja menimbulkan heat stroke. Kondisi ketika tubuh mengalami peningkatan suhu panas dari lingkunganya di luar toleransi tubuh para lansia.

Efek heat stroke pada jemaah haji lansia bisa menimbulkan kepala pusing, mual, muntah, jantung berdebar kencang bahkan pada kondisi tertentu bisa membuat para lansia ini pingsan. Hal seperti inilah yang dialami oleh para jemaah haji lansia termasuk di dalamnya Ibu Fatimah.

Di tengah-tengah obrolan antara Lucky dan jemaah haji lansia ini, tiba-tiba Ibu Fatimah berujar, “Sejak struk sebenarnya nenek ingin mempunyai kursi roda namun nenek tidak mempunyai uang untuk membelinya. Apalagi jalan nenek berat untuk menuju masjid untuk bisa salat berjamaah”.

Perkataan nenek ini memuat Lucky terenyuh. Hati kecilnya bisa merasakan betapa nenek ini membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Dia teringat kedua orangtuanya yang telah lama tiada. Andai kondisi seperti ini terjadi pada orangtuanya betapa sedih hatinya.

Dia pun teringat apa yang pernah disampaikan oleh ayahnya, bahwa jika ingin mendapatkan kebahagiaan serta kelancaran rezeki, maka kita harus sering berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Lucky pun meminta izin kepada Ibu Fatimah. Dia bergegas menuju Soidaliah (toko apotek) dan membelikan Ibu Fatimah kursi roda yang diidam-idamkannya sejak beliau terkena stroke.

Dengan penuh kasih sayang bersama kursi roda yang sudah dibelinya Lucky mendekati Ibu Fatimah, “Ini kursi roda untuk nenek, ya! Untuk menemani nenek ibadah dan untuk nenek bawa pulang ke Indonesia,” ucap Lucky dengan penuh perhatian.

Ibu Fatimah tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya meleleh. Dia tidak menyangka petugas haji Sektor Khusus Nabawi yang baru saja kenal dan bertemu dengannya memberikan perhatian sebegitu besar pada dirinya. Dia pun menangis terisak-isak. Dia memeluk Lucky dengan pelukan seorang perempuan tua yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang anaknya. Air matanya terus berderai-derai tak terbendung. Sambil kedua tangannya memeluk Lucky laiknya memeluk anaknya sendiri.

Lucky, yang sudah lama menjadi yatim merasakan pelukan ibu Fatimah laiknya pelukan ibunya. Pelukan penuh perhatian dan kasih sayang. Pelukan seorang ibu yang merasa haru dan bahagia karena perhatian yang diberikan kepadanya.

“Bagaimana saya membalas kebaikan kamu, anak?” ucapnya di sela-sela tangisnya. Lucky pun lantas menjawab, “Nenek tidak usah membalasnya. Cukup nenek mendoakan saya dengan doa-doa baik agar saya diberikan kelancaran, kekuatan serta kesehatan dalam melaksanakan amanah tugas ini. Hal itu jauh lebih berharga daripada kursi roda yang saya berikan ke nenek,” ujarnya.

Mendengar jawaban Lukcy, tangis Ibu Fatimah kembali pecah. Beliau kemudian meminta Lucky untuk mencatat nomornya agar bisa menjalin silaturahmi sesampainya di Indonesia nanti. Ibu Fatimah mengatakan, “ Perhatianmu kepada nenek membuat nenek merasa mempunyai anak kandung yang lain selain anak-anak nenek sendiri.” Sebuah kalimat sederhana namun membuat air mata Lucky menetes membasahi pipinya.

Mendengar kesedihan nenek karena kurangnya perhatian anak-anaknya, Lucky pun berusaha menghibur kesedihan ibu Fatimah, “Nek, anak adalah suatu anugerah dari Allah SWT, meskipun selama ini sifatnya kurang baik terhadap kita. Mereka akan tetap menjadi anak kandung kita, darah daging kita. Banyak orang dari luar sana yang datang ke sini lalu berdoa untuk diberikan seorang anak oleh Allah SWT,” demikian kata Lucky.

Dengan mata sembab, tangan lemah Ibu Fatimah mengambil hand phone-nya kemudian beliau langsung melakukan panggilan video dengan anak-anaknya. Ibu Fatimah pun meminta maaf apabila beliau bersalah kepada anak-anaknya karena selama ini terlalu galak.

Setelah selesai panggilan video itu, Ibu Fatimah kembali memeluk Lucky sambil menangis. Bibir lemahnya dengan berat mengucapkan ucapan terimakasih sambil menahan tangisnya. Allah mengijabah doanya pikirnya dalam hati. Bertahun-tahun dia menginginkan untuk membeli kursi roda itu. Namun sebagai perempuan tua dan tidak mempunyai penghasilan keinginannya itu masih menjadi sebatas impian. Di sini di dekat pusara suci Rasulullah, seorang oetugas haji Indonesia membelikan sebuah kursi roda yang diidam-idamkannya.

Lucky pun mengusap air mata Ibu Fatimah. Memeluknya. Membelai-belai rambutnya. Untuk kemudian mengantarkan ibu Fatimah ke hotelnya untuk beristirahat.

Sesudah Ibu Fatimah memasuki kamarnya. Dia teringat pada seseorang yang membuatnya makin mencintai Madinah. Seseorang yang mengajarkanya kalimat apabila engkau mau dimuliakan Allah, Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya maka muliakanlah para tamu Allah. Seseorang yang meminjamkan buku kepadanya di sela-sela bertugas di Masjid Nabawi dan memperkenalkannya, Senad Hadjic, laki-laki mulia nan saleh dari Bosnia.

Dengan mata memerah Lucky mengatakan, “Aku makin mencintai Madinah. Kota yang sangat dicintai oleh Rasulullah ini. Aku makin mencintai kota ini melebihi tempat di mana pun di dunia,” ucapnya sambil menyeka air matanya!

Gagas Terkini