Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Penerapan Program Ladang Sehat Atasi Malnutrisi

Penerapan Program Ladang Sehat Atasi Malnutrisi

Tanpa kelaparan merupakan tujuan kedua dari SDGs (Sustainable Development Goals) dan merupakan salah satu masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang. Salah satu bentuk dari tujuan kedua tersebut adalah mengurangi malnutrisi. 

Malnutrisi–terlebih pada anak–menjadi salah satu fokus permasalahan dari tujuan ke dua SDGs. Banyak orang berasumsi bahwa malnutrisi adalah kondisi di mana seseorang kekurangan gizi. 

Hal ini tentu benar adanya akan tetapi, malnutrisi tidak hanya terbatas pada kondisi di mana seseorang kekurangan gizi namun juga kondisi ketika seseorang mendapat gizi yang berlebih. Ini berarti, malnutrisi merupakan kondisi ketidak seimbangan gizi atau nutrisi dengan kebutuhan tubuh. 

Mengutip dari WHO (World Health Organization), malnutrisi merupakan kondisi yang mengacu pada kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan dalam asupan energi dan/atau nutrisi seseorang. 

Secara lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah malnutrisi sendiri dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kurang gizi (wasting, stunting, dan underweight); malnutrisi terkait mikronutrien (defisiensi mikronutrien atau kelebihan mikronutrien); serta kelebihan berat badan, obesitas, dan penyakit tidak menular terkait pola makan.

Sejak tahun 2000, angka malnutrisi telah mengalami penurunan yang stabil dari tahun ke tahun. Dalam jangka waktu 20 tahun telah terjadi penurunan angka stunting anak usia dibawah lima tahun (balita) dari 203.6 juta anak pada tahun 2000 ke 149.2 juta anak di 2020. 

Anak di bawah lima tahun yang mengalami kekurangan nutrisi (wasting) pada 2020 sebesar 13.6 juta serta angka kegemukan (overweight) yang mengalami peningkatan dari 33.3 juta pada tahun 2000 ke 38.9 juta pada tahun 2020. 

Namun, diperkirakan bahwa angka malnutrisi lebih tinggi dibandingkan data yang disajikan sebab hampir seluruh data diambil sebelum tahun 2020 karena adanya pembatasan sosial di banyak negara pada tahun 2020.

Selain itu, pandemi juga diperkirakan dapat memperburuk segala bentuk malnutrisi karena adanya penurunan kekayaan rumah tangga; kendala dalam ketersediaan dan keterjangkauan pangan bergizi; gangguan dalam pelayanan gizi esensial; dan terbatas kesempatan untuk aktivitas fisik.

Indonesia sendiri masih berada dalam tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan estimasi UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund) dari publikasi di tahun 2021, terdapat 31,8 persen anak stunting di Indonesia. 

Dibandingkan tahun 2012, angka ini sudah mengalami penurunan walaupun angka tersebut juga masih sangat tinggi. Kendati angka stunting yang mengalami penurunan, angka kegemukan pada anak di Indonesia mengalami peningkatan dari 8,2 persen pada tahun 2012 menjadi 11,1 persen di tahun 2020. 

Sementara itu, berdasarkan data UNICEF pada 2018, terdapat 10,2 persen anak-anak di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi (wasting) yang membuat Indonesia masuk ke dalam kategori tinggi untuk wasting.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization), sekitar 45 persen kematian pada anak di bawah lima tahun berkaitan dengan kekurangan gizi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa hal tersebut sebagian besar terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Di saat yang bersamaan pada negara-negara tersebut juga terjadi kenaikan tingkat kegemukan dan obesitas pada masa kanak-kanak.

Secara kolektif, malnutrisi lebih lanjut dapat menyebabkan penurunan produktivitas di berbagai sektor. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh ILO (International Labour Organization) yang menyatakan bahwa pola makan yang buruk di tempat kerja menyebabkan negara-negara di seluruh dunia kehilangan produktivitas hingga 20 persen, baik karena kekurangan gizi yang menjangkiti sekitar satu miliar orang di negara-negara berkembang atau kelebihan berat badan dan obesitas yang menimpa jumlah yang sama kebanyakan di negara-negara industri.

Kemiskinan, kurangnya akses terhadap makanan, penyakit, konflik, perubahan iklim, serta kurangnya air minum bersih merupakan beberapa penyebab dari malnutrisi. Berdasarkan UN (United Nations), malnutrisi merupakan pendorong sekaligus akibat dari kemiskinan dan ketidaksetaraan. Terbatasnya perekonomian secara langsung akan membatasi jumlah serta kualitas dari makanan dan minuman yang dapat berakibat pada malnutrisi. 

Menurut artikel yang dipublikasikan oleh Action Against Hunger, sebagian besar krisis pangan dan gizi tidak terjadi karena kekurangan pangan, melainkan karena masyarakat terlalu miskin untuk memperoleh pangan yang cukup. 

Selanjutnya, kerawanan pangan dapat terjadi karena tidak tersedianya pangan di pasar, sulitnya akses ke pasar karena kurangnya transportasi, serta sumber daya keuangan yang tidak mencukupi. 

Menurut UN, memastikan adanya akses universal terhadap makanan bergizi pada 1.000 hari pertama anak–disebut juga sebagai jendela kesempatan–antara awal kehamilan sampai umur dua tahun menjadi bagian penting dalam mengatasi stunting. 

Secara lebih lanjut, dikatakan juga bahwa nutrition-sensitive health care, air, sanitasi, pendidikan, pertanian, perlindungan sosial dan intervensi gizi khusus, serta inisiasi pemberdayaan perempuan merupakan upaya pendekatan multisektoral yang dapat dilakukan dalam mengatasi hal ini. 

Keseimbangan nutrisi menjadi kunci penting dalam mengatasi malnutrisi, terlebih pada anak. Maka dari itu, Ladang Sehat dapat menjadi solusi yang memegang peran penting dalam hal ini. Seperti pada namanya, 

Ladang Sehat merupakan ladang atau kebun sayur dan buah organik yang dapat menyokong kebutuhan nutrisi dan gizi masyarakat. Buah dan sayuran mengandung banyak vitamin dan mineral yang baik untuk kesehatan Anda. Ini termasuk vitamin A (beta-karoten), C dan E, magnesium, seng, fosfor dan asam folat

Asam folat dapat mengurangi kadar homosistein dalam darah, zat yang mungkin menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner. Pola makan yang kaya sayur dan buah dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke, mencegah beberapa jenis kanker, menurunkan risiko gangguan mata dan pencernaan, serta memiliki efek positif pada gula darah, yang dapat membantu menjaga nafsu makan.

Fokus penyelenggaraannya akan diadakan di Indonesia dalam skala nasional di mana setiap level kabupaten/kota diwajibkan untuk memiliki minimal satu ladang yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. 

Mengetahui bahwa tidak semua kota memiliki sumber daya dan kondisi yang sesuai untuk memiliki ladang, diperlukan juga adanya ladang pusat yang dapat mensuplai kebutuhan seluruh masyarakat. 

Walaupun tetap terdapat ladang pusat yang akan mensuplai, keberadaan ladang di masing-masing kabupaten/kota tetap menjadi sangat penting sebab nantinya peran dari kebun ini tidak hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja akan tetapi juga untuk keperluan edukasi. 

Edukasi yang dimaksud adalah edukasi mengenai nutrisi dan gizi seimbang serta pola hidup sehat. Di ladang tiap kabupaten/kota, seluruh masyarakat juga diperbolehkan untuk berkebun untuk menarik minat masyarakat. Namun tentunya, fokus utama dari Ladang Sehat adalah sebagai penyedia pangan, dengan sayur dan buah sebagai hasil utama yang kaya akan nutrisi. 

Dapat dikatakan bahwa untuk dapat mengakhiri malnutrisi serta masalah sejenisnya, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan saja. Akan tetapi perlu digaris bawahi juga bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal, gizi dan nutrisi pada makanan dalam porsi yang sesuai merupakan kunci utama dari keberhasilan hal ini. 

Makanan sehat dengan gizi dan nutrisi yang seimbang juga akan membawa efek jangka panjang yang jauh lebih baik dibandingkan bila kita mengkonsumsi makanan dengan porsi yang sesuai tanpa memperhatikan gizi dan nutrisinya–dalam kata lain makanan yang tidak sehat. 

Selain itu, sayur dan buah memegang peran yang penting dalam mencukupi kebutuhan nutrisi bagi tubuh. Maka dari itu, program Ladang Sehat menjadi sangat penting untuk dapat diaplikasikan dalam menangani malnutrisi di berbagai tingkatan sebagai salah satu bentuk dari masyarakat yang berkelanjutan.

Penulis: Elisabet Krisnanda Arneti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI)


Editor:

Gagas Terkini