KAOHSIUNG, TAIWAN, (ERAKINI) – Grup band asal Indonesia Southern Riot memadukan puisi dan punk untuk menciptakan lagu yang menentang eksploitasi dan pelecehan terhadap pekerja migran.
Terdiri dari empat pekerja asal Indonesia, band Rudi, Southern Riot, dibentuk tiga tahun lalu dan sudah tampil di festival musik tahunan terbesar Taiwan, MegaPort.
Southern Riot menggabungkan puisi dan musik punk, lagu-lagu protes mereka menentang apa yang mereka gambarkan sebagai “sistem perbudakan” yang menurut mereka menjebak migran.
Mereka juga memberikan ruang bagi audiensnya – yang sebagian besar adalah pekerja migran – untuk mengekspresikan diri dan melepaskan diri dari kehidupan kerja. “Di atas panggung, saya merasa senang,” jelas Rudi. “Lagu kami seperti ekspresi perasaan kami.”
Dikelilingi oleh sesama anggota bandnya, Rudi tampil di kota pelabuhan Kaohsiung di selatan Taiwan. Saat dia melihat ke arah kerumunan, rekan bandnya mulai bermain, membuat penonton menjadi sangat bersemangat.
“Dibungkam oleh ancaman, di sini kita menentang sistem perbudakan ini,” Rudi bernyanyi, sementara massa membentuk mosh pit, ikut bernyanyi bersamanya. Di sampingnya, sebuah spanduk digantung di antara dua mikrofon bertuliskan, ‘Pekerja migran mempunyai hak untuk bersuara’.
Berasal dari kota Indramayu di Jawa Barat, Rudi berjuang mencari pekerjaan di negara asalnya. “Sulit mencari pekerjaan di Indonesia, hampir mustahil. Saya tidak punya pekerjaan tetap. Saya melakukan semua yang saya bisa” ujarnya sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Selasa (2/7/2024).
Rudi pindah ke Taiwan pada tahun 2015 untuk mengoperasikan alat berat di sebuah pabrik. Seperti banyak dari 768.000 pekerja migran di pulau itu, dia mencari pekerjaan dan kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Namun kenyataannya seringkali lebih rumit. Meskipun pekerja migran memperoleh penghasilan lebih besar di Taiwan, banyak dari mereka yang dieksploitasi, terjebak dalam hutang, atau menghadapi kekerasan fisik dan seksual.
Menghadapi hal ini, banyak yang melakukan perlawanan, membentuk serikat pekerja dan LSM, dan terlibat dalam protes yang bervariasi mulai dari tarian flash mob hingga pertunjukan musik.
Permasalahan mereka tidak berakhir ketika mereka tiba di Taiwan. Rudi menjelaskan bahwa pekerja migran diberikan tugas yang lebih berat dan diharapkan bekerja lebih keras dibandingkan pekerja migran lokal, sementara pekerja migran lainnya tidak dibayar dengan layak. “Setiap aspek pekerjaan kami penuh dengan ketidakadilan,” tambahnya.