Menyentuh Perempuan Bisa Batalkan Wudhu? Begini Kata Imam Syafi'i
Mensucikan diri dalam hal ini berwudhu merupakan syarat wajib yang harus dilakukan oleh umat Islam sebelum melaksanakan shalat lima waktu. Diantara perkara yang masih diperdebatkan yaitu soal hukum persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak?
Jika merujuk kepada pendapatnya Imam Syafi'i, hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan perempuan dewasa yang bukan mahram hukumnya haram atau batal. Karenanya, kepada perempuan atau laki-laki tersebut harua mengambil wudhu lagi.
Imam Syafi’i berpedoman pada makna dhahir Surat an-Nisa ayat 43 di atas, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.”
Mereka mengatakan, makna hakiki dari kata “al-lamsu” adalah menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazinya adalah berhubungan badan. Selama perkataan bisa diartikan dengan makna hakiki, maka tidak boleh diartikan dengan makna majazi, kecuali jika tidak mungkin menggunakan makna hakiki, sebagaimana kaidah:
الأَصْلُ فِي الكَلَامِ الحَقِيْقَةُ
“Pada dasarnya, ucapan itu bermakna hakiki.”
Dilansir dari NU Online, kelompok ini memperkuat argumentasinya dengan qira’at versi lain terhadap Surat an-Nisa ayat 43 tersebut, yaitu qira’at yang menghilangkan huruf alif sehingga menjadi:
أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ
Berdasarkan qira’at kedua ini, kata al-lamsu lebih tepat diartikan menyentuh daripada berhubungan badan. Sehingga menurut kelompok ini, persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan membatalkan wudhu.
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat jika yang bersentuhan adalah laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan mahram, dan bersentuhan dimaksud terjadi secara langsung, tanpa penghalang.
Perbedaan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 1 halaman 29, berawal dari perbedaan dalam memahami makna “al-lamsu” dalam ayat:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang suci.” (An Nisa: 43).
Dalam bahasa Arab, kata “al-lamsu” merupakan lafadh yang musytarak, yaitu lafadh yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam. Al-lamsu dapat diartikan menyentuh, dan dapat diartikan berhubungan badan. Sahabat Ali, Ibnu Abbas, dan Hasan memilih makna pertama, sementara Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Sya’bi memilih makna kedua.
Ulama yang mengartikan al-lamsu dengan “menyentuh”, menyatakan bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu, sedangkan ulama yang mengartikannya dengan “berhubungan badan”, menyatakan bahwa persentuhan saja tidak membatalkan wudhu, sebab yang membatalkan adalah berhubungan badan.
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perbedaan pendapat imam mazhab dan pengikutnya dalam menghukumi persentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, termasuk istri. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyebutkan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radliyallahu anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium beberapa istrinya lalu keluar untuk shalat, tanpa berwudhu.” (HR. Turmudzi).
Demikian hukum bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang memiliki hadast menurut Imam Syafi'i.