Babi merupakan salah satu binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi dalam ajaran Islam. Dasar melarang umat Islam mengonsumsi daging tersebut sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 173, sebagai berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah: 173).
Dari ayat di atas, kata ‘babi’ tertulis langsung dalam ayat al-Qur’an. Para ulama berpendapat, bahwa penyebutan langsung ‘babi’ dalam al-Quran menunjukan bahwa hukum mengonsumsi babi harga mati, tidak bisa ditawar lagi haram atau tidak diperbolehkan.
Sebagai umat Islam yang mengimani Allah dan Rasul-Nya, menjadi kewajiban mengikuti setiap ajaran Islam yang disampaikan melalui ayat al-Quran dan hadist Nabi Muhammad saw.
Karena itu, meski tidak diuraikan secara terperinci soal alasan logis dilarang mengonsumsi babi, umat Islam wajib menaati untuk tidak mengonsumsinya sebagai bentuk keimanan kepada ajaran agama.
Lebih lanjut, dilansir dari NU Online, beberapa ulama sempat mempermasalahkan frase firman Allah wa lahmal khizir (dan daging babi)? Apakah hanya sebatas daging babinya atau juga mencakup juga organ tubuh yang lain.
Akhirnya dalam hal ini ada dua pandangan. Yaitu pandangan Dawud Az-Zhahiri dan pandangan jumhurul ulama. Dawud Az-Zhahiri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “daging babi” dalam ayat tersebut adalah daging itu sendiri, bukan selainnya sesuai dengan bunyi nash.
Konsekuesninya adalah keharamannya hanya terbatas pada daging babi itu sendiri. Sedang menurut jumhurul ulama, “daging babi” itu maksudnya adalah bukan hanya sebatas dagingnya, tetapi mencakup semua organ tubuh lainnya.
Penyebutan daging babi lebih karena daging itu merupakan organ tubuh babi yang paling banyak dimanfaatkan. Jadi penggunaan kata “daging babi” untuk mengingatkan keseluruhan organ tubuhnya.
Dengan kata lain, menyebutkan sebagian organ tubuh babi tetapi maksudnya adalah keseluruhannya. Dalam bahasa Arab hal ini sudah maklum, dan dikenal dengan istilah majaz mursal.
Konsekuensinya adalah keharaman babi itu bukan hanya sebatas dagingnya tetapi juga mencakup organ tubuh lainnya.
{ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ } فِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا التَّحْرِيمُ مَقْصُورٌ عَلَى لَحْمِهِ دُونَ غَيْرِهِ اِقْتِصَاراً عَلَى النَّصِّ ، وَهَذَا قَوْلُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ وَالثَّانِيُّ أَنَّ التَّحْرِيمَ عَامٌّ فِي جُمْلَةِ الْخِنْزِيرِ وَالنَّصُّ عَلَى اللَّحْمِ تَنْبِيهٌ عَلَى جَمِيعِهِ لِأَنَّهُ مُعْظَمُهُ ، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ
Artinya, “Ada dua pendapat dalam memahami frase ayat ‘wa lahmal khinzir’ (dan daging babi). Pertama, keharamannya hanya sebatas daging babi, bukan yang lainnya sesuai bunyi nash. Ini adalah pendapat Dawud bin Ali.
Kedua, keharamannya itu umum mencakup semua organ tubuh babi. Sedangkan nash yang hanya menyebutkan sebatas dagingnya itu dimaksudkan untuk mengingatkan keseluruhan bagian organnya karena sebagian besar organ tubuh babi adalah dagingnya,” (Lihat Al-Mawardi, An-Nukat wal ‘Uyun, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, juz I, halaman 222).
Pandangan Dawud Az-Zhahiri yang menyatakan keharaman babi hanya sebatas dagingnya sebagaimana dikemukakan di atas ternyata tidak selaras dengan pandangan penerusnya yaitu Ibnu Hazm.
Menurut Ibnu Hazm, haram memakan sesuatu apapun dari babi. Bahkan memanfaatkan rambutnya saja, menurut Ibnu Hazm, tidak diperbolehkan. Konskuensinya adalah keharaman babi bukan hanya sebatas dagingnya, tetapi juga mencakup organ tubuh lainnya, berbeda dengan pandangan Dawud Azh-Zhahiri.
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: لاَ يَحِلُّ أَكْلُ شَيْءٍ مِنْ الْخِنْزِيرِ لاَ لَحْمِهِ وَلاَ شَحْمِهِ وَلاَ جِلْدِهِ وَلاَ عَصَبِهِ وَلاَ غُضْرُوفِهِ وَلاَ حَشْوَتِهِ وَلاَ مُخِّهِ وَلاَ عَظْمِهِ وَلاَ رَأْسِهِ وَلاَ أَطْرَافِهِ وَلاَ لَبَنِهِ وَلاَ شَعْرِهِ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ سَوَاءٌ، وَلاَ يَحِلُّ الْإِنْتِفَاعُ بِشَعْرِهِ لاَ فِي خَرَزٍ وَلاَ فِي غَيْرِهِ
Artinya, “Abu Muhammad berkata, tidak halal memakan sesuatu apapun dari babi, baik daging, lemak, kulit, urat, tulang rawan, usus, otak, tulang, kepala, organ tubuh lainnya, susu, dan rambutnya, baik jantan maupun betina, kecil maupun besar.
Begitu juga tidak halal mengambil manfaat rambut babi baik untuk manik-manik atau selainnya,” (Lihat Muhammad Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Beirut, Darul Fikr, juz VII, halaman 388). Dengan mengikuti pandangan jumhurul ulama atau mayoritas ulama, dapat disimpulkan bahwa keharaman babi bukan hanya sebatas dagingnya, tetapi mencakup semua organ tubuhnya yang lain.