Kisah Masuk Islam Ali bin Abi Thalib saat Berusia 11 Tahun
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan sepupu Nabi Muhammad SAW dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan beliau. Ali adalah putra dari Abi Thalib, paman Nabi Muhammad, yang merupakan kakak dari Abdullah, ayah Nabi. Ibunya adalah Fatimah binti Asad, yang masih merupakan keturunan dari Hasyim bin Abdi Manaf, kakek Nabi dari garis ayah.
Dilansir dari NU Online, sejak kecil, Ali tumbuh di bawah asuhan Nabi Muhammad SAW. Kedekatan ini tidak hanya karena hubungan darah, tetapi juga karena berbagai peristiwa yang mempererat hubungan mereka. Salah satunya adalah saat masa paceklik melanda kaum Quraisy di Makkah, yang berdampak besar pada kehidupan keluarga Abi Thalib, yang memang memiliki banyak anggota keluarga. Melihat kesulitan yang dialami oleh pamannya, Nabi Muhammad SAW merasa prihatin dan berinisiatif untuk meringankan beban keluarga Abi Thalib.
Nabi kemudian mengajak pamannya yang lain, Abbas, yang termasuk orang kaya di kalangan Bani Hasyim, untuk ikut membantu. Abbas setuju, dan mereka membagi tugas untuk mengasuh anak-anak Abi Thalib. Nabi Muhammad SAW memilih untuk membawa Ali, sementara Abbas mengambil Ja’far, saudara Ali. Inisiatif ini tidak hanya membantu keluarga Abi Thalib, tetapi juga membuat Ali semakin dekat dengan Nabi Muhammad SAW.
Kedekatan Ali dengan Nabi berlanjut hingga masa kerasulan. Ali termasuk dalam golongan pertama yang memeluk Islam, bahkan diyakini sebagai anak pertama yang menerima dakwah Nabi. Hubungan Ali dengan Nabi tidak hanya sebagai sepupu, tetapi juga sebagai murid, sahabat, dan pembela setia agama Islam.
Sejarawan Muslim, Ibnul Atsir, mengutip pendapat Ibnu Ishak, menjelaskan bahwa masa paceklik tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi Ali. Karena situasi itu, Ali diambil dan diasuh oleh Nabi Muhammad SAW, yang membuatnya tumbuh di bawah bimbingan langsung Nabi. Hal ini tidak hanya membentuk kepribadian Ali, tetapi juga memperdalam kedekatannya dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Ali bin Abi Thalib kemudian dikenal sebagai salah satu pilar penting dalam sejarah Islam, menjadi khalifah keempat dalam Khulafaur Rasyidin, dan dikenang sebagai pemimpin yang bijaksana, pemberani, serta ahli dalam ilmu agama. Hubungannya yang erat dengan Nabi Muhammad SAW sejak kecil memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya dan peranannya dalam perkembangan Islam.
أَوَّلُ مَنْ أَسْلَمَ عَلِيٌّ وَعُمْرُهُ إِحْدَى عَشْرَةَ سَنَةً وَكَانَ مِنْ نِعْمَةِ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّ قُرَيْشًا أَصَابَتْهُمْ أَزْمَةٌ شَدِيدَةٌ، وَكَانَ أَبُو طَالِبٍ ذَا عِيَالٍ كَثِيرَةٍ، فَقَالَ يَوْمًا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ: يَا عَمِّ إِنَّ أَبَا طَالِبٍ كَثِيرُ الْعِيَالِ فَانْطَلِقْ بِنَا نُخَفِّفْ عَنْ عِيَالِ أَبِي طَالِبٍ، فَانْطَلَقَا إِلَيْهِ وَأَعْلَمَاهُ مَا أَرَادَا، فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: اتْرُكَا لِي عَقِيلًا وَاصْنَعَا مَا شِئْتُمَا، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلِيًّا، وَأَخَذَ الْعَبَّاسُ جَعْفَرًا، فَلَمْ يَزَلْ عَلِيٌّ عِنْدَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَتَّى أَرْسَلَهُ اللَّهُ فَاتَّبَعَهُ
Artinya: “Orang yang masuk Islam pertama (dari kalangan pemuda) ialah Ali ketika itu umurnya ialah 11 tahun. Dan di antara nikmat yang Allah berikan kepada Ali ialah saat itu kaum Quraisy terkena paceklik dahsyat. Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai sosok yang memiliki keluarga besar. Sebagai kepala keluarga, beban yang dipikul Abu Thalib cukup berat, terutama di masa-masa sulit yang dihadapi kaum Quraisy. Melihat kondisi tersebut, Nabi Muhammad SAW merasa prihatin terhadap pamannya dan berinisiatif untuk meringankan beban keluarganya. Rasulullah SAW kemudian mengajak Abbas, pamannya yang lain dan seorang konglomerat dari Bani Hasyim, untuk turut serta membantu meringankan beban Abu Thalib. Nabi SAW berkata kepada Abbas: "Wahai pamanku, Abbas, sungguh (saudaramu) Abi Thalib memiliki banyak keluarga. Maka mari kita ringankan bebannya." Setelah itu, mereka berdua mendatangi Abu Thalib dan menyampaikan maksud mereka. Menanggapi hal tersebut, Abu Thalib setuju dengan satu permintaan: "Tinggalkan Aqil untukku dan lakukan yang ingin kalian lakukan." Dari situ, Nabi Muhammad SAW membawa Ali bin Abi Thalib ke rumahnya, sementara Abbas membawa Ja'far bin Abi Thalib. Inilah awal mula kedekatan Ali dengan Rasulullah SAW.
Ali terus bersama Rasulullah SAW sejak saat itu, bahkan hingga Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai nabi. Karena kedekatan itu, Ali menjadi salah satu yang pertama menerima dakwah Islam dan membenarkan ajaran Rasulullah SAW. Kisah ini tercatat dalam karya sejarawan Muslim, Ibnul Atsir, dalam bukunya Al-Kamil fi Tarikh, yang menjelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib tetap bersama Nabi hingga masa kenabian dan langsung mengikutinya.
Menurut Ibnu Katsir, dalam riwayat yang juga berasal dari Ibnu Ishaq, Ali sempat ingin berkonsultasi dengan ayahnya, Abu Thalib, sebelum memutuskan untuk memeluk Islam. Sebagai anak yang taat, Ali merasa perlu meminta izin kepada ayahnya terlebih dahulu. Namun, Nabi Muhammad SAW melarang Ali untuk melakukan hal itu, karena keputusan untuk masuk Islam adalah persoalan iman yang harus diambil secara pribadi.
Malam itu, Allah memberikan keteguhan hati kepada Ali bin Abi Thalib. Keesokan harinya, Ali mendatangi Rasulullah SAW dan dengan penuh keyakinan menyatakan keislamannya. Ali kemudian dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi yang paling setia dan menjadi salah satu pilar penting dalam penyebaran agama Islam.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Ali tumbuh di bawah bimbingan langsung Nabi Muhammad SAW, yang bukan hanya seorang sepupu, tetapi juga guru dan pembimbing rohaninya. Keputusan Ali untuk memeluk Islam menjadi awal dari perannya yang besar dalam sejarah Islam, terutama sebagai khalifah keempat dan salah satu tokoh penting dalam sejarah peradaban Islam.
ثُمَّ إِنَّ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَهُمَا يُصَلِّيَانِ. فَقَالَ عَلِيٌّ يَا مُحَمَّدُ مَا هَذَا؟ قَالَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي اصْطَفَى لِنَفْسِهِ، وَبَعَثَ بِهِ رُسُلَهُ، فَأَدْعُوكَ إِلَى اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَإِلَى عِبَادَتِهِ. وَأَنْ تَكْفُرَ بِاللَّاتِ وَالْعُزَّى. فَقَالَ عَلِيٌّ: هَذَا أَمْرٌ لَمْ أَسْمَعْ بِهِ قَبْلَ الْيَوْمِ، فَلَسْتُ بِقَاضٍ أَمْرًا حَتَّى أُحَدِّثَ بِهِ أَبَا طَالِبٍ. فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْشِيَ عَلَيْهِ سَرَّهُ قَبْلَ أَنْ يَسْتَعْلِنَ امره. فقال له: يا على إذ لَمْ تُسْلِمْ [١] فَاكْتُمْ. فَمَكَثَ عَلِيٌّ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ أَوْقَعَ فِي قَلْبِ عَلِيٍّ الْإِسْلَامَ، فَأَصْبَحَ غَادِيًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَاءَهُ فَقَالَ مَاذَا عَرَضْتَ عَلَيَّ يَا مُحَمَّدُ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شريك لَهُ وَتَكْفُرُ بِاللَّاتَ وَالْعُزَّى، وَتَبْرَأُ مِنَ الْأَنْدَادِ» فَفَعَلَ عَلِيٌّ وَأَسْلَمَ، وَمَكَثَ يَأْتِيهِ عَلَى خَوْفٍ مِنْ أَبِي طَالِبٍ وَكَتَمَ عَلِيٌّ إِسْلَامَهُ وَلَمْ يُظْهِرْهُ
Artinya: “Ali bin Abi Thalib datang setelahnya selang sehari dan mendapati Nabi beserta Khadijah melakukan shalat. Ali berkata kepada nabi: “Apa ini?”. Nabi berkata: “ini adalah agama Allah yang dipilih oleh Dzat-Nya, Ia mengutus dengannya utusan-utusan-Nya, maka aku mengajakmu untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dan hendaknya engkau mengkufuri Lata dan Uzza”. “Ini adalah persoalan yang aku belum pernah dengar sebelumnya, aku tidak bisa memutuskan sendiri, aku akan mengobrolkannya dengan ayahku (Abi Thalib). Ali bin Abi Thalib adalah salah satu dari golongan awal yang menerima dakwah Islam, namun proses keislamannya tidak terjadi begitu saja. Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW, yang pada saat itu belum ingin dakwah Islam tersebar luas, meminta Ali untuk merahasiakan keputusan tersebut. Nabi bersabda: “Ali, jika engkau tidak masuk Islam maka rahasiakanlah.”
Malam itu, Ali bermalam dengan perasaan bimbang, namun Allah SWT memberikan keteguhan dalam hatinya. Pada pagi harinya, Ali mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Apa yang engkau tawarkan (Islam) kepadaku, wahai Muhammad?”
Nabi kemudian menjawab, "Bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Ingkarilah Lata dan Uzza, dan engkau akan bebas dari kemusyrikan." Ali menerima ajakan tersebut, bersyahadat, dan memeluk Islam. Namun, karena permintaan Nabi dan situasi saat itu, Ali memilih untuk merahasiakan keislamannya dari ayahnya, Abu Thalib. Kisah ini dicatat dalam karya Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah.
Ali terus menjalani kehidupannya sebagai seorang Muslim tanpa mengungkapkannya kepada keluarganya, terutama kepada ayahnya, Abu Thalib. Hingga suatu hari, Abu Thalib memergoki Ali sedang melaksanakan shalat bersama Nabi Muhammad SAW. Melihat hal tersebut, Abu Thalib bertanya kepada Ali mengenai agama yang ia anut.
Ali dengan jujur menjawab: “Wahai ayahku, aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan aku melaksanakan shalat dengannya (Nabi Muhammad).” Menariknya, Abu Thalib tidak menentang keputusan putranya, meskipun ia sendiri tidak memeluk Islam. Abu Thalib merespon dengan penuh kebaikan dan berkata: “Sungguh ia (Muhammad) tidak pernah mengajak kecuali pada kebaikan, maka teruskanlah.”
Jawaban Abu Thalib ini menunjukkan dukungannya terhadap Ali, sekalipun ia memilih untuk tidak mengikuti agama yang diajarkan oleh keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Kisah ini juga menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan Abu Thalib terhadap integritas dan misi Nabi, meskipun ia tetap mempertahankan kepercayaannya sendiri.
Kisah ini diceritakan oleh para sejarawan seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh dan menunjukkan betapa pentingnya peran Ali bin Abi Thalib dalam sejarah Islam. Keberanian dan keteguhan Ali untuk memeluk Islam di usia muda, serta dukungan yang penuh kasih dari ayahnya, menjadi salah satu momen penting dalam awal perkembangan Islam.