Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Keren! Dua Siswi MTsN 2 Kota Surabaya Temukan Detektor Dini Disleksia

Keren! Dua Siswi MTsN 2 Kota Surabaya Temukan Detektor Dini Disleksia

TERNATE, (ERAKINI) - Dua siswi kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya menemukan alat detektor dini disleksia. Mereka adalah Fathi Zahiya (14) dan Nur Maisyah Ilmira (14) yang saat ini menjadi salah satu finalis di ajang Madrasah Young Researcher Supercamp (MYRES) 2024 berkat risetnya yang bertajuk 'Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensevalografi pada Rancang Bangun Aplikasi Deteksi Disleksia Berbasis Mobile (DMD)'.

Sebagaimana diketahui, disleksia adalah kondisi di mana seorang anak mengalami kesulitan memahami sesuatu, ditandai kesulitan membaca dan menulis. Adapun disleksia menjadi masalah yang cukup umum di Indonesia, dengan prevalensi 10 persen menurut data Dyslexia Center Indonesia (2019).

Dengan temuan ini, penderita disleksia dapat dideteksi secara instan tanpa melalui rangkaian tes yang melelahkan sebagaimana selama ini ditempuh oleh para psikolog.

Di ajang Expo MYRES di Ternate (5/9/2024), salah satu peneliti, Fathi Zahiya menjelaskan, otak manusia memiliki gelombang alfa, beta, delta, gama, dan theta. Gelombang-gelomang itu dapat dideteksi dari permukaan otak dengan alat yang bernama elektroensefalografi (EEG) yang dapat mengukur amplitudonya.

Menurut Fathi Zahiya, pada penderita disleksia, selalu gelombang beta dan gama-nya tidak beraturan. "Dari sini saja sudah dapat disimpulkan bahwa obyek mengalami gangguan disleksia," kata siswi tersebut. Simpulan ini kemudian diuji dengan metode epoch selama 20 kali, dan akurasinya seratus persen.

Selama ini orang tua yang memiliki anak disleksia akan datang ke psikolog untuk melakukan serangkaian uji. Biasanya psikolog akan mengamati tanda-tanda umum, seperti kesulitan baca tulis, mengingat warna, kesulitan memahami tata bahasa, sulit mengucapkan kata yang baru dikenal, dan lamban memahami sesuatu.

Kemudian psikolog memberikan soal ujian yang terbagi dalam beberapa tahap. Setelah hasilnya dianalisa, baru ditarik simpulan final dalam waktu 10 hari. "Proses ini cukup melelahkan dan terkadang tidak diteruskan hingga tuntas," lanjutnya.

Di tangan dua siswi MTsN 2 Kota Surabaya ini, deteksi disleksia langsung diketahui secara instan. Caranya dengan menempelkan beberapa sensor di kepala anak yang dites, kemudian dibaca dengan alat elektroensefalografi (EEG) tadi.

Hasilnya akan menunjukkan grafik semua gelombang otak secara terperinci dalam skala amplitudo. "Jadi setelah dites langsung keluar hasilnya, dengan hasil skor yang akurat," kata Fathi Zahiya.

Sementara itu, menurut guru pembimbingnya, Vira Wardati, metode ini belum dipakai oleh para psikolog. "Sampai saat ini belum ada aplikasi alat ini untuk deteksi disleksia. Para psikolog masih menggunakan tes manual," jelasnya.

Perangkat ini disiapkan dalam 2 bulan oleh Tim MTsN 2 Kota Surabaya dengan biaya sebesar Rp5 juta. Ia menjelaskan bahwa alat ini hanya detektor, bukan untuk terapi.

Namun demikian, penting artinya bagi penderita disleksia agar dapat dideteksi sejak dini sehingga pengobatannya lebih mudah dan perlakuannya lebih tepat. Disleksia dapat diterapi secara dini dan lebih besar peluang berhasilnya secara tuntas. Intervensi dini dapat membantu anak-anak disleksia menjadi pembelajar yang terampil.

Menurut Vira, pada setiap kelas yang berisi 30 anak, biasanya ada 2-3 yang sebenarnya menderita disleksia, dan banyak dari mereka tidak ketahuan sehingga tidak dilakukan terapi. "Tanda-tanda anak disleksia itu waktu kecil mereka terlambat bicara dan biasanya saat usia sekolah kesulitan diajari menulis," katanya.

Selama ini para psikolog mengenal empat jenis terapi disleksia, yaitu terapi wicara (speech therapy), terapi multisensori, terapi program membaca, dan terapi yoga. Keempatnya dipercaya dapat meningkatkan kemajuan otak kecil untuk anak-anak dengan disleksia, dispraksia, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Semuanya itu adalah gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak.

Adapun hasil penelitian kedua siswi MTsN 2 Kota Surabaya tersebut saat ini dipamerkan di Expo MYRES di Ternate, Maluku Utara bersama dengan 35 tim peneliti muda dari madrasah yang juga menjadi finalis MYRES yang digelar Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag).

Nasional Terkini