Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Masjid Tertua di Indonesia yang Menyimpan Banyak Keunikan
JAKARTA, (ERAKINI) - Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama (Kemenag) mencatat saat ini terdapat 660.290 masjid dan mushola di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, masjid tertua di Indonesia adalah Masjid Saka Tunggal Baitussalam.
Masjid Saka Tunggal Baitussalam berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas, Banyumas, Jawa Tengah. Masjid ini berada di tengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental. Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk serta sebagian dindingnya dari anyaman bambu.
Masjid ini dinamai Masjid Saka Tunggal, karena hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Masjid Saka Tunggal berukuran 12 x 18 meter ini disebut sebagai masjid tertua di Indonesia.
Mengutip laman duniamasjid.islamic-center, Rabu (6/3/2024), menjadi ini satu-satunya masjid di Pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16 Masehi.
Masjid ini didirikan 2 abad sebelum masa Wali Songo. Hal inilah yang menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam dipercaya sebagai masjid tertua di Indonesia.
Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu. Lebih tua dari Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi. Masjid ini berdiri ketika masa Kerajaan Singasari.
Sejarah Masjid Saka Tunggal terkait dengan tokoh penyebar Islam di Cikakak bernama Mbah Mustolih, yang hidup di masa Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya unsur Kejawen masih cukup melekat di masjid ini.
Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih menjadikan Cikakak sebagai markas, dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Mbah Mustolih dimakamkan tidak jauh dari Masjid Saka Tunggal.
Keunikan Masjid Saka Tunggal Banyumas benar-benar terasa di hari Jumat. Selama menunggu waktu sholat Jumat dan setelah sholat jumat, jemaah berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung Jawa. Dengan bahasa Campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi Ura-Ura.
Imam masjid juga tidak mengenakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia atau biasa disebut peci atau kopiyah, tapi memakai udeng/pengikat kepala.
Terdapat empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih dan udeng bermotif batik. Keempat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan.
Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian, suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.
Keunikan Masjid Saka Tunggal lainnya adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan 'papat kiblat lima pancer', atau empat mata angin dan satu pusat.
Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok maka bukan lagi manusia.
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air apabila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. Artinya, hidup itu harus seimbang.
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah beberapa kali dipugar. Selain dinding tembok juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap. Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang.
Tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid masih terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang.
Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib, dan tempat wudlu.