Bahtsul Masail PBNU Jaga Keselarasan Hukum Islam
JAKARTA, (ERAKINI) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam di UIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/7/2024). PBNU menegaskan bahwa Istinbath Hukum Islam yang dilakukan melalui Bahtsul Masail bermaksud untuk menjaga keselarasan.
Pembahasan dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keselarasan dan ketetapan dalam pembahasan hukum Islam melalui kerja-kerja bahtsul masail yang terstruktur.
Rais Syuriah PBNU KH Cholil Nafis menjelaskan, penetapan dan pengesahan keputusan hasil dari bahtsul masail dalam tubuh Nahdlatul Ulama dilakukan melalui Rapat Harian Syuriah PBNU.
“Keputusan pengurus harian syuriah tingkat daerah dapat diajukan kepada Pengurus Besar Harian Syuriah untuk ditetapkan menjadi keputusan PBNU,” jelas Kiai Cholil.
Pada hal-hal tertentu, ia menyebut bahwa rapat penetapan keputusan dapat menghadirkan pakar atau tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan ditetapkan.
“Pengajuan disertai penjelasan ketentuan masalah keagamaan dan kemasyarakatan dengan mencantumkan kerangka analisis sebagaimana dimaksud pasal,” tuturnya.
Sementara itu, hasil penetapan keputusan disampaikan kepada warga Nahdlatul Ulama dan pihak-pihak yang berkepentingan. Terkait bahtsul masail, Kiai Cholil menyebut bahwa Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU memiliki tanggung jawab substantif kepada pengurus harian Syuriah dan tanggung jawab administratif kepada pengurus harian Tanfidziyah.
Lembaga Bahtsul Masail, lanjutnya, memiliki wewenang dalam dua hal utama. Pertama, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan sesuai tingkat kepengurusan.
“Kedua, melakukan kaji ulang atau review terhadap hasil Bahtsul Masail pada forum permusyawaratan di bawahnya yang dianggap perlu,” kata dia.
Kiai Cholil menjelaskan, pedoman umum Istinbathul Ahkam yang diterapkan di lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri meliputi beberapa hal.
Pertama, pembahasan harus berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma', dan qiyas dalam kerangka bermazhab kepada salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
“Pembahasan bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Pembahasan merupakan masalah yang bersifat mutaghayyirat ittihadiyah atau variabel yang dapat berubah sesuai kondisi,” ujar dia.
Sementara itu, keputusan yang diambil dalam bahtsul masail harus mengacu pada beberapa prinsip, yakni mengacu pada tujuan syariat atau maqashid al-syari’ah dan mengakomodasi tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat atau Urf Shahih.
“Mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan atau ma’alat al-af'al. Menggunakan tahqiq manat al-hukum melalui kerangka analisis yang meliputi analisis masalah, dampak hukum, serta tindakan,” tuturnya.
Kemudian, pada prosedur pengambilan keputusan, ia menjelaskan bahwa dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutub Al-madzahib al-arba’ah dan hanya terdapat satu pendapat, maka pendapat tersebut digunakan.
Sementara jika terdapat lebih dari satu qoul atau wajah yang bertentangan, maka dilakukan taqrir jama'i dengan mempertimbangkan maslahat.
“Jika tidak ada qaul atau wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaqul masa’il bin nazha ‘iriha secara jama'i oleh para ahlinya. Jika tidak mungkin dilakukan ilhaqul-masa’il bi nadza’iriha, maka istinbath jama'i dilakukan dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya,” ucapnya.
Ia menjelaskan, forum memperbolehkan berpindah dari satu sistem pengambilan hukum menuju sistem pengambilan hukum lain jika diperlukan.