Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Televisi di Rumah Johan Alamsyah dan Seorang Pemuda Bernama Harmoko’

Cerpen ‘Televisi di Rumah Johan Alamsyah dan Seorang Pemuda Bernama Harmoko’

KEBUTUHAN mendesak Keuchik Majid untuk naik haji telah memberi peluang bagi Johan Alamsyah untuk memiliki televisi di rumahnya. Dia sudah memimpikan hal itu jauh-jauh hari, dan ketika Keuchik Majid menyatakan maksudnya menjual televisi, demi tambahan biaya naik haji, Johan Alamsyah tak menolak. Dia menjual satu-satunya lembu miliknya dan lalu membawa pulang televisi ke rumahnya. Saat itu terjadi, para tetangga berkerumun, menyaksikan detik-detik Johan Alamsyah meletakkan televisi di atas meja kayu dalam rumahnya yang sempit. Dan, ketika televisi dinyalakan untuk pertama kalinya di rumah itu, para tetangga menyambutnya dengan haru.

Di kampung itu, memiliki televisi bukan saja akan dianggap kaya, tapi juga turut menaikkan derajat dalam pergaulan. Karena itu, kehormatan yang dulunya hanya dimiliki keluarga Keuchik Majid, kini telah berpindah pada Johan Alamsyah, satu-satunya keluarga yang memiliki televisi di Pandrah Janeng, sebuah kampung kecil yang jauh dari kota dan hingga saat itu belum dimasuki listrik. Untuk bisa menyalakan televisi, Johan Alamsyah harus menggunakan aki yang harus di-strom seminggu sekali.

Maka mulai saat itu, ketika berjalan, Johan Alamsyah akan sedikit menaikkan bahunya sebagai tanda dia bukan orang sembarangan, tapi orang yang memiliki televisi. Warga yang kebetulan berpapasan dengan Johan Alamsyah di jalan akan melempar senyum terbaik, senyum yang khusus mereka simpan untuk Johan Alamsyah. Dan, ketika lelaki bertubuh kurus tinggi bagai galah itu berlalu, orang-orang saling berbisik, memberi kabar kepada teman-temannya kalau di kampung mereka sudah ada televisi.

Televisi itu terbungkus kotak kayu dan memiliki dua pintu bergagang yang bisa dibuka tutup. Apabila pintunya ditutup, televisi dengan warna hitam putih itu akan padam sendiri. Dan satu-satunya orang yang boleh membuka dan menutup pintu televisi adalah Johan Alamsyah sendiri. Dia tidak mengizinkan anak dan istrinya memegang televisi karena akan rusak dan biaya perbaikannya pastilah mahal.

Native 1 Banner

Televisi di rumah Johan Alamsyah baru akan dinyalakan jam 5 sore, ketika dia sudah pulang dari memotong rumput untuk kambing-kambingnya. Detik-detik menuju jam 5 sore, anak sulungnya, Samsul, akan membuat pengumuman pada tetangga bahwa sebentar lagi siaran akan dimulai. Maka bergegaslah para tetangga menyelesaikan pekerjaan mereka: memandikan anak, menanak nasi, mengambil kain jemuran, memberi pakan ayam dan membangunkan suami mereka yang masih tertidur. Lalu berangkatlah mereka berduyun-duyun ke rumah Johan Alamsyah. Bagi mereka yang datang lebih awal dapat duduk di dalam rumah, berdesak-desakan seperti hendak membaca tahlilan, sementara yang terlambat tak ada pilihan lain kecuali berdiri di ambang pintu atau bergelantungan di jendela. Adapun anak dan istri Alamsyah, sebagai pemilik rumah, memiliki hak untuk duduk paling depan, di saf pertama.

 

Ketika orang-orang sudah berkerumun, Johan Alamsyah segera keluar dari kamarnya dengan menggunakan sarung terbaik dan lalu menyalakan televisi dengan hati-hati. Dia memberi isyarat dengan telunjuk yang ditempel di bibirnya agar orang-orang tidak berisik karena akan mengganggu kekhusyukan para penonton. Namun, rasa takjub para penonton tak jarang membuat mereka saling berbisik seraya tangan mereka menunjuk-nunjuk ke layar televisi. Saat itu terjadi, Johan Alamsyah akan berdiri tegak, mengingatkan mereka dengan kata-kata bijak yang ia punya, dan jika mereka masih membandel, televisi akan dimatikan sehingga orang-orang harus pulang dengan wajah kecewa seraya memaki teman-temannya yang suka berbisik saat menonton.

Sebenarnya siaran televisi baru berakhir jam 9 malam. Akan tetapi, Johan Alamsyah selalu mematikan televisi saat azan Magrib berkumandang, dan ketika malam tiba pintu rumah akan ditutup. Johan Alamsyah tidak memberi izin bagi para tetangga menonton di malam hari karena nyamuk-nyamuk akan masuk ketika pintu dan jendela dibuka. Johan Alamsyah menyalakan lampu petromaks dan kembali menonton televisi bersama istri dan anaknya. Suara televisi sengaja dikecilkan agar tidak terdengar tetangga. Namun, orang-orang di kampung itu tetap saja tidak mau ketinggalan siaran. Selepas Magrib mereka akan berdesak-desakan di depan rumah Johan Alamsyah, mengintip siaran televisi dari celah-celah dinding. Padahal, Johan Alamsyah sudah berusaha menutup celah itu dengan tempelan kertas, tapi tetangga yang nakal kembali melubangi kertas itu dengan tusukan lidi.

Semakin hari warga yang menonton di rumah Johan Alamsyah semakin ramai saja, bahkan ada yang datang dari kampung sebelah. Satu sisi Johan Alamsyah merasa tersanjung. Namun, di sisi lain, lelaki yang mengaku pernah berjabat tangan dengan Presiden Soeharto itu mulai risi. Dia mulai berpikir bagaimana mengambil sikap. Selama proses berpikir itu masih berjalan, televisi di rumah Johan Alamsyah ditutup sementara. Saat itu Samsul ditugaskan untuk menempelkan selembar kertas di pintu depan: Hari ini tutup, sedang ada rapat.

Maka mulailah orang-orang di kampung itu membicarakan kebijakan Johan Alamsyah yang menurut mereka tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kabar-kabar miring terhadap Johan Alamsyah pun tersebar di kampung itu; ada yang mengaitkan Johan Alamsyah dengan komunis dan ada juga yang membuat pengakuan aneh bahwa lelaki itu masuk dalam daftar dukun santet.

Sementara itu, di rumah Johan Alamsyah sendiri sedang berlangsung rapat keluarga yang melibatkan anak istrinya. Mereka saling berdebat tentang kebijakan yang harus diambil. Berbagai argumentasi pun keluar dari mulut mereka yang terlibat dalam rapat penting itu.

“Tidak apa kita biarkan mereka menonton. Kan mereka saudara-saudara kita juga, jadi kita harus bersatu” kata anak bungsu Johan Alamsyah.
“Gak boleh begitu juga. Kita harus mikir juga, biaya strom aki itu kan mahal? Harusnya adalah sedikit sumbangan gitu,” usul istri Johan Alamsyah.
“Kalau menurut Samsul, asal mereka bisa menjaga ketertiban seperti dikatakan Pak Harto, gak ada masalah,” timpal si sulung.

Maka berpikirlah Johan Alamsyah tentang kesimpulan yang harus diambil. Menurutnya, apa yang dikatakan si bungsu sudah sesuai dengan Pancasila. Usulan istrinya juga cocok dengan semangat gotong royong bahwa berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Adapun pendapat Samsul sudah pasti benar karena menjaga stabilitas nasional adalah kewajiban semua warga negara.

“Baik kalau begitu,” kata Johan Alamsyah dan lalu menutup rapat.

Keesokan harinya, ketika orang-orang kembali berkumpul di rumah Johan Alamsyah, tepat pukul 5 sore, laki-laki itu sudah lebih dulu berdiri di pekarangan bersama anak dan istrinya. Mereka menyambut kedatangan para penonton dengan wajah semringah dan mempersilakan satu persatu warga untuk berbaris rapi di depan rumah.

“Ada pengarahan sedikit dari Bapak,” kata Samsul pada mereka.

Orang-orang itu pun segera menyusun barisan layaknya anak sekolah yang hendak mengikuti upacara hari Senin. Kaum ibu-ibu berdiri paling depan, disusul bapak-bapak di barisan kedua dan anak-anak berdiri paling belakang. Mereka bersiap-siap mendengar arahan dari Johan Alamsyah yang hari itu sudah berpakaian rapi dengan wangi-wangian menusuk hidung.

“Begini saudara-saudara sekalian,” Johan Alamsyah mulai bicara. “Televisi akan kita nyalakan kembali mulai hari ini ….”
“Huhuuuuu …”

Suara itu keluar serentak dari mulut penonton. Mereka bertepuk tangan atas kebaikan Johan Alamsyah. Namun, Johan Alamsyah memberi isyarat agar mereka diam sejenak karena pengarahan belum selesai.

“Tenang dulu saudara-saudara!” ujar Johan Alamsyah, dan keadaan seketika kembali hening. “Begini saudara-saudara,” lanjut laki-laki itu, “saya minta saudara-saudara untuk menjaga ketertiban saat menonton, jangan ada yang berbicara dan berbisik. Satu lagi ….” Laki-laki itu diam sejenak, berpikir apakah akan melanjutkan atau tidak. Lalu, “Sebagai warga negara yang baik, yang punya semangat gotong-royong, saya minta saudara-saudara untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan, seperti sering dikatakan Pak Harto, yaitu asas kekeluargaan. Ya, asas kekeluargaan akan memperkuat persatuan sesuai dengan sila ketiga Pancasila, persatuan Indonesia. Karena itu, saya mau saudara-saudara turut berpartisipasi dalam ….”

Tiba-tiba suara Johan Alamsyah terputus. Dia melirik istrinya yang berdiri di sisi kanan. Perempuan itu mengangguk dan maju ke depan. “Saudara-saudara harus berpartisipasi dalam biaya strom aki,” kata perempuan itu kemudian. “Iya,” lanjut Johan Alamsyah, “kita butuh kerjasama yang baik untuk keberlangsungan siaran televisi, yaitu kita harus patungan untuk biaya strom aki.”

Sejenak para penonton menjadi riuh, saling berbisik, saling mengangguk, dan lalu salah seorang dari mereka tunjuk tangan. “Sudah benar apa yang dikatakan Bapak Johan Alamsyah. Kita tentu sudah sering mendengar arahan dari Bapak Presiden bahwa kita harus punya semangat gotong royong,” kata pemuda itu, yang oleh orang-orang kampung sering dipanggil dengan nama Harmoko, karena ia suka meniru cara bicara menteri itu di televisi.

Maka bersepakatlah mereka pada petang itu. Sebuah celengan bambu pun diletakkan di depan rumah untuk orang-orang memasukkan sumbangan. Dengan tertib, satu persatu penonton memasukkan sumbangan seikhlasnya ke dalam celengan bambu dan lalu memasuki rumah, duduk dengan rapi, menunggu sampai televisi dinyalakan Johan Alamsyah. Demikian terjadi berbulan-bulan sampai akhirnya Keuchik Majid pulang dari haji.

Beberapa hari setelah tiba di tanah air, Keuchik Majid membeli televisi baru, televisi yang gambarnya penuh warna, bukan seperti televisi Johan Alamsyah yang tidak jelas merah dan biru sebab semuanya terlihat sama saja, hitam putih. Maka mulai hari itu orang-orang pun berbondong-bondong menonton di rumah Keuchik Majid. Sekarang di rumah itu sudah ada listrik tenaga genset, dan ketika malam tiba juga tidak perlu lagi memakai lampu petromaks. Mereka juga tidak perlu lagi patungan biaya strom aki karena televisi di rumah Keuchik Majid sudah menggunakan listrik.

Maka berakhirlah kejayaan Johan Alamsyah. Rumahnya kembali sepi. Tidak ada lagi orang berkerumun dan berbisik-bisik. Johan Alamsyah menjadi sedih. Dia merasa hatinya tertusuk sembilu, apalagi setelah mengetahui istri dan anak-anaknya juga menonton di sana, di rumah Keuchik Majid, pemilik televisi berwarna.

Demikian diceritakan Johan Alamsyah pada saya saat kami bertemu di penjara dua bulan lalu. Johan Alamsyah dihukum penjara karena terbukti terlibat pembakaran rumah Keuchik Majid. Adapun cerita tentang seorang pemuda bernama Harmoko, saya pikir itu sedikit berlebihan. Jujur saja, saya tidak pernah meniru cara bicara Bapak Menteri itu di televisi.

Catatan: Strom: mengecas aki, istilah yang digunakan pada 1990-an.

Tin Miswary,
Menulis esai, cerpen dan resensi buku. Domisili di Bireuen.

Sastra Terkini