Cerpen ‘Ayah Seorang Pembuat Kursi’
KATA ibu diriku memiliki ayah yang pandai pembuat kursi. Ia yang paling handal katanya. Apapun yang dibuat ayah selalu menarik perhatian para pelanggannya. Alhasil dari mulut ke mulut pelanggan lainnya nama ayah semakin terkenal. Apalagi setiap kursi yang dibuat oleh ayah satu pun dari para pelanggannya itu tidak ada yang komplain. Semua sesuai keinginan pelanggannya.
Dan, ayahlah yang melakukan itu semua. Ayah sangat tahu dan lihai apa yang diinginkan pelanggannya kala mendapatkan pesanan kursi untuk dibuatkan.
Tapi...., itu kata ibuku. Aku yang mendengar semua itu tak pernah kupedulikan. Sebab, buatku ayah adalah orang paling terkutuk dalam hidup kami. Tapi lebih tepatnya dalam hidupku.
Ternyata ibu tidak sampai di situ menceritakan ayah sebagai sosok lelaki paling purna buat ibu yang membuat aku muak. Aku heran dengan ibu terbuat dari apa hatinya itu?
Hingga ibu sebegitu nrimo dan legowo terdapat perlakuan ayah pada dirinya selama satu atap. Aku yang mengetahui hal itu tiap kali ibu menceritakan betapa ia terus tersakiti dan disakiti darahku langsung menguap.
Apalagi ibu pernah menceritakan ia pernah dikunci di dalam kamar mandi ketika mengetahui perselingkuhan ayah pada seorang perempuan yang masih muda. Ibu sedikit pun tidak marah apalagi terluka. Ia malah memaafkannya ayah. Menurutnya ayah bukanlah monster. Tapi hanya salah jalan dan sebuah kekeliruan saja.
Saat itu aku yang mendengar cerita ibu tentang lelaki pecundang itu. Hanya bisa memendam sekam yang terus kubawa sampai kapan pun. Biarlah, suatu saat nanti aku akan membalas semua rasa sakit dan penderitaan ibu selama dengan lelaki itu.
"Tahu tidak, Yash, selain itu ayah romantis juga dan seorang pelawak bagi ibu. Dia selalu bisa membuat ibu terhibur dan tersenyum sekalipun hati ini sedang tergores oleh perlakuannya sebelumnya," kata ibu sambil menyiapkan roti bakar berselai kacang bersama segelas susu pagi itu.
Ibu yang begitu bangganya sambil sedikit bibirnya tersungging, simpul malu. Ia mencoba mempengaruhiku. Aku makin tak menghiraukannya. Kuanggap angin lalu.
"Tak usah menghibur diri, Bu! Aku sangat tahu ibu sedang berdamai dengan diri sendiri. Aku sangat tahu perlakuan ayah pada ibu saat itu sangatlah tak bisa dibiarkan. Apalagi saat meninggalkan ibu yang ketika itu sedang mengandungku. Tak lain tunduk pada perintah keluarga besarnya agar dirinya patuh dikawinkan dengan wanita lain yang setaraf baik perekonomian maupun status keluarga. Buatku ayah itu bajingan sampai kapan pun!" panjang lebar aku melampiaskan kemarahanku yang sudah bergejolak di dada pada ibu.
Prang! Suara penutup mangkuk makanan jatuh dari tangan ibu ke lantai pagi itu. Mungkin ibu terkejut saat aku mengatakan hal seperti itu. Sontak aku pun ikut kaget pula.
"Ibu sakit?" tanyaku mengalihkan kekikukannya.
"Ti-tidak!" tukasnya sambil kembali mengangkat tutup mangkuk.
Akhirnya aku pun melanjutkan makan pagi saat itu. Roti bakar berselai kacang kesukaanku tidak terasa sudah tiga tangkup masuk ke perutku. Sedangkan ibu balik ke dapur untuk membersihkan dari sampah sayuran yang tidak terpakai lagi. Kutahu ibu pasti membenarkan perkataanku tadi. Sayangnya, ibu pintar menutupinya.
Saat itu aku masih memakai seragam putih abu-abu. Jadi darah mudaku masih sangat tinggi dan cepat mendidih bila mendengar yang namanya ketidakadilan dan kesemena-semenaan bahkan sampai siapa pun yang metelantarkan anak serta istri. Aku sudah pasti tidak akan menyukai hal itu. Lagi-lagi seperti ayah yang sudah memperlakukan pada ibu.
***
Ibu pernah bilang pula jika ayah bukan hanya sekadar bisa buat kursi saja. Tapi juga bisa membuat meja, lemari dan rak piring dan rak buku serta meja hias bahkan bisa pula membuat figura. Semua bisa ayah kerjakan. Bukan itu saja semua terbuat berbahan kayu yang kuat dan anti rayap. Ayah juga sangat mahir memilah-milah mana bahan dasar kayu yang sangat terjamin dan awet pula yang akan untuk dibuaat dalam berbagai bentuk apa pun.
Ayahku memang jago dalam membuat ornamen apa pun yang terbuat dari bahan dasar kayu. Itu aku akui saat ibu memperlihatkan album tua berisikan foto-foto hasil buatan tangan ayah yang membuat aku terpukau dan takjub. Kulihat seperti mahakarya saja semua dihasilkan ayah di dalam album tua itu.
Dan aku mengatakan hal itu demikian adanya saat beberapa buatan ayah membuat mataku tak berkedip saat album foto itu kubolak-balik. Bukan itu saja mulutku beberapa kali bergumam. Melihat ketakjuban buatan ayah ketika foto-foto di album tua itu usai kulihat.
Saat album tua itu diberikan aku sudah mempunyai usaha sendiri. Aku membuka usaha furniture di kota S. Aku bukanlah lagi si seragam putih abu-abu lagi yang jiwa mudanya terus mendidih. Namun seiring waktu dan usia aku sudah belajar untuk berdamai dengan diri sendiri. Begitupun dengan situasi dan kondisi serta apa yang terjadi. Sekarang aku ini si pemilik usaha furniture yang cukup pula dikenal di kota ini.
"Kenapa masih menyimpan album tua poto ini, Bu? Buat apa memangnya?" tanyaku. "Bukankah menambah luka ibu saja?" lanjutku.
Seperti biasa ibu akan mengalihkan ucapanku. Ia seakan-akan tak mau mendengar apa pun hal buruk tentang suaminya itu dari mulutku. Ia pasti akan menyibukkan dirinya.
Melihat hal itu kadang aku sangat gemas dengan sikap ibu. Hingga sampai aku memiliki usaha sendiri pun ia masih membela sosok yang dianggapnya dewa itu. Bedebah. Muak aku sekali jika melihat sikap ibu seperti itu kembali.
"Kamu mau ibu buatkan kopi susu? Tapi kamu mandi dulu biar segar. Oya, ibu masakan air hangat, ya. Apalagi kamu baru pulang dari tempat kerja," ibu selalu begitu dan begitu. Hingga aku sangat hapal dengan kebisaannya itu.
Setelah itu ibu meninggalkan aku di ruang tamu seorang diri. Sedangkan tubuh ringkihnya sudah masuk ke ruang dapur. Entah, sedang menyiapkan kopi susu atau memasak air untuk aku mandi seusai dari tempat usahaku. Aku pun hanya memendam geram pada lagi-lagi pada sikap ibu.
"Terserah ibulah!" seruku lalu kutinggalkan ruang tamu menuju kamar untuk sejenak istirahat.
Seusai itu aku tak memedulikan ibu sedang apa di dapur. Karena sudah terlelap nyenyak dalam mimpi semu akhirnya.
***
Hari ini aku mendapatkan surat kabar di meja kerjaku yang di mana isi berita itu memberitahukan jika ayah terpilih lagi sebagai pengusaha yang paling berdedikasi tinggi untuk kemajuan negeri ini. Dengan mahakaryanya yang begitu peduli karena memanfaatkan alam tanpa membuat polusi maupun radiasi saat menggunakan bahan produksi hasil tangannya itu.
Ayah terpilih kembali menjadi Pengusaha Terbaik dari sebuah majalah ternama khusus para pengusaha di negeri itu. Sungguh hebat lelaki ini sampai dua kali terpilih! Aku bergumam sedikit sebagai bentuk ungkapan selamat. Walaupun hanya dalam hati.
Baru usai kubaca surat kabar dan mencecap kopi yang sudah mulai dingin tiba-tiba Pulkit, salah satu pekerja di tempatku ia mengejutkan aku.
Setali tiga uang rupanya Pulkit dengan ibu. Ternyata ia pun membanggakan pula orang yang berada di headline surat kabar itu yang sedang memegang piala dan buket di genggamannya.
"Sungguh bangga sekali sebagai putra Pak Karan jika mengetahui ayahnya sangat begitu dielu-elukan oleh semua terutama para pengusaha di negeri ini. Karena ia mendapatkan dua kali penghargaan berturut-turut sebagai Pengusaha Terbaik tahun lalu dan saat ini," ucap Pulkit dengan mata yang masih melirik surat kabar yang usai kubaca.
"Memang kamu tahu apa tentang lelaki ini! Memang kamu sudah tahu siapa dia sesungguhnya?" tanyaku memberondong ucapan Pulkit yang babibu memuji lelaki pengecut yang ada di surat kabar itu.
"Tidak tahu banyak sih, Pak! Tapi dengar-dengar akan ada perayaan besar-besaran untuk merayakan terpilihnya beliau dan katanya anak tunggal satu-satunya ia miliki akan diundang juga. Walaupun sampai saat ini semua orang belum mengetahui rupa anak beliau sampai sekarang," lanjut Pulkit memberitahukan kembali berita yang baru kudengar dari mulutnya itu.
Aku diam sejenak. Pikiranku melayang pada sosok dalam surat kabar yang sejak tadi kulihat dan kubaca. Benarkah, lelaki paruh baya itu akan merayakan pesta untuk dirinya karena sudah dua kali mendapatkan penghargaan yang sangat prestise itu?
Aku sedikit goyah dan menjadi penasaran pada ucapan Pulkit.
"Oh, begitu. Terus kamu mau hadir?" tanyaku pada Pulkit.
"Bapak sendiri bagaimana? Apa mau datang? Kan perusahaan kita diundang juga olehnya. Karena beliau tahu jika perusahaan furniture kita ini sangat bagus prospeknya. Bukankah beliau pernah mengirimkan karangan bunga saat perusahaan kita ini berulang tahun?" Pulkit pun menanyakan tentang kehadiranku.
"Lihat sajalah nanti!" seruku. "Oya, tolong bawakan laporan untuk bulan ini."
"Siap, Pak!"
Usai Pulkit meninggalkanku di ruang kerjaku. Kopi yang sudah dingin kuminum bertambah dingin. Sedingin aku pada sosok yang dielu-elukan Pulkit di surat kabar yang kubaca. Aku menghela nafas. Memikirkan apa yang aku lakukan minggu pekan depan. Apakah aku akan menghadiri pesta perayaan lelaki peraih dua kali sebagai Pengusaha Terpilih dari majalah ternama khusus pengusaha tahun ini?
Nafasku makin berat memikirkan hal itu.
***
Pesta perayaan malam itu pun tiba. Dengan begitu gegap gempita pesta untuk merayakan Pak Karan sebagai Pengusaha Terbaik kembali tahun ini. Semua pun para tamu undangan berdatangan. Mereka di tempatkan di ruangan yang wah dan megah. Acara itu berlangsung sungguh meriah di hotel berbintang.
Aku akhirnya datang juga ke tempat ini. Tentu sebagai pemilik usaha furniture terkenal. Aku pun harus profesional untuk menghargai tuan rumah yang mengundangku. Ya, sekalipun undangan itu datang dari lelaki pengecut yang sebentar lagi kulihat.
Bersama Pulkit, sebagai orang kepercayaanku, kami bersama-sama ke tempat pesta perayaan itu. Tak lain pesta untuk merayakan keberhasilan Pak Karan sebagai Pengusaha Terbaik kembali. Walaupun kakiku sangat berat untuk menuju tempat itu. Tapi Pulkitlah yang terus membujukku untuk datang menghadiri pesta perayaan itu.
"Bapak kenapa di sini? Bukannya duduk di sana! Di mana para pengusaha berkumpul," tetiba Pulkit mengejutkanku saat aku sedang memandang langit dari atas yang hotel berkelas tinggi ini.
"Eh, kamu! Nanti saja. Saya mau menikmati malam ini dulu. Lagi pula acaranya juga belum dimulai," kataku sambil meminum cola dengan mata terus memandangi langit malam itu. Sangat indah dan cantik.
Tidak lama kemudian suara pembawa acara pesta perayaan itu memberikan pemberitahuan jika semua tamu undangan untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disediakan. Aku pun menuju tempat itu sambil mencari kursi yang strategis agar bisa melihat dengan jelas tuan rumah acara itu. Kuambil kursi yang berada di tempat agak samping panggung. Namun aku bisa jelas melihatnya nanti.
"Terima kasih atas kerjasamanya para tamu undangan. Kita mulai saja acara ini agar tidak menunggu lama-lama. Mari kita panggil dan sambut dengan meriah Bapak Karan Kurama sebagai Pengusaha Terbaik kembali tahun ini. Untuk beliau kami silakan!" seru pembawa acara itu memanggil lelaki paruh baya itu dengan begitu hormatnya.
Kemudian datang lelaki dengan setelan jas hitam dan dipadupadankan dengan warna kemeja serta celana pun sama. Tak lupa dasi bercorak garis kotak-kotak putih tergantung di lehernya pula. Bukan itu saja dihiasi sedikit uban yang ada di kepala. Mengenai parasnya masih cukup tampan tampan dan seperti awet muda.
Hingga kuperhatikan ia mirip sekali denganku. Namun yang membedakan aku tidak berlesung pipi seperti lelaki itu. Aku berkacamata sedangkan ia tidak. Tapi mata kami sama-sama sipit.
"Terima kasih atas kedatangan semua para rekan bisnis dan para pengusaha serta para pelanggan yang selama ini menjalin kerjasama dengan baik pada saya. Kiranya malam ini saya mengadakan pesta perayaan ada sebuah alasan. Pertama, saya ingin merayakan pesta untuk berucap syukur karena saya terpilih sebagai pengusaha terbaik kembali, kedua saya ingin mengajukan diri di pilkada tahun ini dan ketiga saya ingin memperkenalkan orang yang selama ini saya cari-cari untuk saya berikan kursi untuknya, yang sudah lama sekali saya buatkan," ucap Pak Karan Kurama memberitahukan para undangan yang hadir.
Aku pun yang mendengarkan ucapannya itu bertanya-tanya. Siapa yang dimaksud lelaki bermata sipit itu?
"Dan ini dia saya panggilkan....Yash Kurama...!"
Aku kaget. Tiba-tiba jantungku berdenyut kencang. Dadaku makin tak karuan. Makin kencang berdetak. "Be-benarkan dia memanggilku?"
"Pak Yash! Pak, bangun! Bangun, Pak!" seru suara yang mengagetku tertidur meja kerjaku.
"I-iya, saya. Yash Kurama!" ucap terbata-bata sambil memincingkan mata.
Sial. Ternyata aku bermimpi.
"Bapak bermimpi ya! Soalnya saya ingin membangun Bapak tadi sungkan. Karena Bapak begitu lelah," Pulkit akhirnya memberitahukanku.
"Ma-maaf saya tertidur tadi. Baiklah saya pulang saja! Kamu jika mau pulang ya pulang saja. Lagi pula sudah sore sekali. Soal laporan keuangan besok saja. Oke, saya balik dulu ya," kataku sambil melangkah keluar dari ruang kerja
Saat itu kurasakan seusai keluar dari ruang kerja aku kembali ingat mimpi itu tapi begitu nyata! Apakah itu mungkin terjadi?
Dan tidak lama kemudian, setiba di rumah aku dikagetkan suara ibu. Saat aku baru menjatuhkan pantat di sofa ruang tamu.
"Tadi kedatangan paket besar mengatasnamakan namamu. Tapi ibu suruh para pengirim paket untuk menaruh di ruang kerja kamu. Ibu tidak tahu apa dalam paket itu," ibu pun langsung memberitahukannya. Walaupun saat itu aku sangat lelah sekali.
"Baik, Bu!" aku pun langsung menuju tempat kerjaku.
Kini sebuah benda yang terbungkus dengan rapi ada di hadapan padaku. Aku semakin penasaran.
Akhirnya kubukalah bungkusannya itu. Dengan hati-hati kubuka benda yang terbungkus dengan kain. Dan ternyata...sebuah kursi terbuat dari emas bertuliskan namaku, YASH KURAMA.
Anehnya kursi itu sama persis dalam mimpi dan di album poto tua yang pernah kulihat. Seketika di mataku kursi itu melambai-lambaikan seperti tangan untuk segera aku duduki. Dan haruskah aku terima?
Dilema saat itu kurasakan. Karena selama ini aku selalu mengutuk lelaki yang selalu kusebut pecundang atau mungkin ibu pun merasakan hal yang sama. Ya, sekalipun ia tidak bersuara.
Tapi kursi yang dikirimkan untukku ini. Apakah sebagai bentuk untuk menembus kesalahan lelaki itu selama ini? Atau, ada sesuatu yang terselubung?
Peduli setan terpenting kursi ini sudah pada diriku. Siapa tahu dengan kursi yang aku milikmu ini sekarang. Aku bisa menggulingkan siapa pun yang mencoba-mencoba mengganggu kehidupan kami. Balas dendamku pada lelaki yang selalu dianggap dewa bagi ibu tinggal selangkah lagi.
Kak Ian,
Penulis, pengajar dan penikmat sastra. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Lahir di Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di koran nasional dan lokal serta media online. Karya terbarunya Kumpulan Cerpen “Jika di Antara Kita Lebih Dulu Dipanggil Tuhan” penerbit Bejavu Tim, terbit 2024.