Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai ‘Ketika Puisi Ditulis’

Esai ‘Ketika Puisi Ditulis’

Catatan Membaca Buku “Lacrimosa” karya Iswadi Pratama

Puisiku bukan pagi yang dilimpahi kicau burung dan
matahari. Bukanlah mimpi belia yang hibuk mengetuk
pintu bilik terkunci. Tajk jua malam berkening hening
atau gemerincing kaki penari
(Iswadi Pratama, Puisi “Mimikri Puisi”, hal. 41)

Masih perlukah puisi hari ini? Adakah pembaca yang tetap setia; katakanlah untuk mengikuti perkembangannya? Lalu membacanya lagi dan lagi. Berharap menemukan tafsir atau pintu yang berbeda. Tentunya dengan mengarifi “kerja” puisi yang menyentuh salah satu sisi terdalam dari batin. Mungkin bekerja dengan perlahan, namun tak jarang pula menghentak dengan seketika. Bahkan saat kita kembali pada realitas, menghadapi kehidupan sehari-hari.

Kerja kepenyairan membutuhkan kesabaran yang panjang. Setiap puisi yang ditulis adalah pengendapan dari daya ingat, pengetahuan, keseharian. Usaha yang penuh dan seluruh. Hasil dari pergumulan yang tak kunjung lelah terhadap kata. Sebagaimana yang pernah dilakukan Chairil Anwar, jika dirinya menulis puisi dengan mengorek sampai ke akar kata.

Dan apa yang dilakukan Iswadi Pratama salah satunya. Dengan tekun ia menyisir objek-objek puisinya. Betapa pergumulan dirinya yang begitu masif dan intens terhadap diksi-diksi dalam puisi meninggalkan gaung yang dalam, sehingga menciptakan celah-celah juga tafsiran lain dari puisi itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Iswadi sendiri dalam pengantar buku ini: jika dirinya bersusah payah menuliskannya dan sangat tidak produktif.

Lebih lanjut, ia memaparkan jika pergaulan dirinya dengan puisi adalah pergaulan yang penuh dendam kesumat dan hantaman. Ia tak bisa menunduukan puisi-puisinya dalam satu kategori atau tema tertentu saja, namun ada garis tebal yang diyakini Iswadi, ia hanya bisa menandai dengan nada lirih. Barangkali pula, lewat serpihan kata-kata dalam puisinya, justru menciptakan kekuatan baru dari bangunan puisinya.

Sebuah momen saat menulis puisi, ternyata baginya tak pernah dengan mudah untuk diselesaikan. Ia mencoba dengan kesabaran untuk bisa menyelesaikannya, meskipun  ia sendiri curiga apakah yang telah dihasilkannya adalah sebuah puisi yang telah utuh dan selesai? Suatu hal yang mengingatkan saya pada pernyataan seorang teman, jika puisi yang sempurna sesungguhnya berada di dalam kepala penyair tak pernah bisa lengkap dituangkan menjadi puisi yang kelak dibaca.

Akhirnya kita mendapati kumpulan puisi ini, Lacrimosa (penerbit Dyandra, Yogyakarta),  berjumlah 52 puisi yang dituliskan Iswadi dengan kurun waktu 2000-2023. Pergumulan yang cukup panjang—artinya dalam setahun rata-rata Iswadi hanya menulis 2-3 puisi. Namun saat membaca puisi-puisinya, didapati kenyataan yang berbeda, segala ihwal, sejarah, kesedihan, pergulatan realitas, kenyataan yang sungsang, kesendirian, seperti merebut berbalut jadi satu dengan sentuhan dirinya. Pun Iswadi juga menyuguhkan Sebagian mitos atau pergulatannya dengan sejumlah puisi penyair dunia atau di Indonesia sendiri.

Bahasa yang hadir dalam puisi-puisinya seperti sebuah tempat singgah yang baru. Di mana kita bisa mengalir mengikutinya. Sebagian besar puisi-puisi itu mengalir, membentuk kisah-kisah. Meskipun demikian, ia tetap menjaga irama, aura bunyi, sehingga terasa begitu rapat setiap kata yang digunakan. Seperti tak ada yang tersia-si atayu mubazir.

Ketakjuban dirinya merakit dan menyusun setiap kepingan kata seperti merekatkan puzzle, menjadi sebuah lanskap tak terperi. Iswadi seperti tak menorehkan kata yang tersia-sia satupun. Puisi yang menjelma sebuah tema besar dan ingin disadap berulang kali. Ia tidak seperti dalam puisi pembuka dalam buku ini “Seorang yang Tergesa”:

Ia selalu tergesa merasa mencintai/ dan terlalu cepat membenci// Dengan gampang menganggap menemukan/ lalu kecewa karena kehilangan//Terlampau pasti menyebut hutan sebagai pohonan/ maka keliru dan menganggapnya jebakan// Ia acap gegabah menduga kedalaman/ dengan bangga berenang di permukaan// Ia tak pernah sedikit bersabar menafsir itibar/ mendaki terjal gunjung seolah padang datar// Ia hanya gemar menyigi tubir/ dengan tergesa menyebut diri penyair// (hal. 11)

Kiranya apa yang pernah diungkapkan Ignas Kleden, apabila puisi ditulis untuk dua alasan: pertama adalah dorongan hati dari penyair itu sendiri, ihwal bagaimana dirinya memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan. Yang kedua ialah sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, bagi saya Iswadi dalam puisi-puisinya melingkpi dua hal tersebut. Ia mengejawantahkan semua hal yang ”sublim” bagi setiap renungan, bagaimana ia menjembatani setiap karsa yang ada hingga puisi-puisinya dapat berbicara ke banyak sisi.

Sejarah

Ihwal sejarah banyak bertaburan dalam puisi-puisi Iswadi di buku ini. Dengan piawai ia melenting dari sisi benua ke benua lain. Ia seperti ingin merangkum, memberikan bercak jejak kemudian berbagi dalam kisah pedih yang perih. Ia berkisah tentang Mesopotamia: Tigris dan Efrat, menepi ke Lumbini, berkisah tentang Paz, Don Quixote, kemudian berdiam di Orangerie Theatre.

Ia juga menjabarkan sebuah lagu dari Pink Floyd. Bagaiman dengan lirih yang terjaga, ia menulis kesedihan yang “sengit”:

Di antara dengkur tubuh-tubuh Makmur//Sambil bersandar di sisa dinding mizbah yang basah//Lelaki itu lirih berdoa://”Tuhan, p;intu-Mu telah terbuka, tapi suara-Mu, di mana?”// Lalu pipi kisut itu basah//lalu dada rentanya, merah// Seorang serdadu menyemprotkan butiran peluru// (Puisi “ Efrat: sebuah Fiksi Tentang Perang Suriah” , hal. 24)

Bagaimana ia memekik tentang pembantaian, perang atau ketersiaan yang gemanya terasa sampai hari ini:

Di Babilonia, kudengar pekik Hammurabi.// Di antara puing bangunan, di Timur dan Selatan.// Sebuah peradaban dibangun di atas genangan darah// dari pedang pemberontakan Elam.// Tanah yang kini terbengkaia dan gersang, di sanalah// kukenang lagi Samsuiluna, Venus yang terbit dan terbenam,// orang-orang Hitti yang tertindas dan meradang// (Puisi “Tersebab Sunyi”, hal. 36)

Sebagaimana juga puisi yang menjadi judul buku ini, berdasarkan hasil penelurusan dapat berupa judul lagu dari Mozart yang dibuat tahun 1791. Proses pembuatan lagu yang tetap dikerjakan oleh Mozart meskipun dirinya telah sekarat dan merupakan permintaan khusus dari tamu misterius. Pada akhirnya memang Mozart hanya sempat menulis bar pertama dari lagu itu, dan selebihnya diselesaikan oleh Salieri dan murid Mozart. Secara latin Lacrimosa bermakna penuh air mata/menangis.

Dalam puisi “Lacrimosa” justru Iswadi menyigi ihwal puisi itu sendiri. Ia menjabarkan nama-nama penyair dan mendedahkan kata-kata dari puisi. Ia menulis:

Duhai, sudah kaureguk khusyuk dendang Fanshuri,// gumam gurindam, pantun di dusun-dusun, hingga mabuk// dalam mantera Tardji, mangkir sejalang Chairil, hanyut// di lirih Sapardi, lalu absen dari kenangan//Kwatrin Sebuah Poci.// Duhai…//Kalaulah bisa kutebus ketersianmu dengan nafasku// Kalaulah mungkin huruf-hurufmu kuhapus// dari setiap kata yang pernah kuutus// Betapa aku ingin seluruh kalimat tamat dari setiap lembar// kitab, dari semua kisah yang tak mendapat tempat// (hal. 57)

Akhirnya memang, Iswadi menyerahkan segalanya kepada pembaca puisi-puisinya. Ia telah meyakini bila puisi-puisi telah “mengembara” ke pelbagai hal. Ia telah melepaskannya, bahkan untuk perihal yang tak indah sekalipun. Membiarkan puisi-puisinya terus mengembara dan membuka khazanah lain di benak para pembacanya.

Dengan membacanya, mungkin kita tak terjebak dalam tuna bahasa:

Dan di sajak lasak ini// Kau mengelak dari tiap diksi// tata Bahasa hanya tuna// Kau tuang yang tetap sabah// (Puisi “Tuna Bahasa”, hal. 17).

Akhirnya memang, hemat saya, puisi kerap memunculkan banyak pintu. Kita bebas memasukinya dari pintu mana saja. Bahagia bila tetap berada di sana dan tidak kesasar, menelusup ke labirin kata-kata yang menggoda untuk dikuliti lebih jauh lagi.

Alexander Robert Nainggolan
Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Universitas Lampung (Unila) jurusan Manajemen. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi LPM PILAR FE Unila.

Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023).

Sastra Terkini