Resensi ‘Ragam Jalan Menuju Kediktatoran’
Judul: Kiat Menjadi Diktator: Pelajaran dari Pemimpin Edan
Penulis: Mikal Hem
Penerjemah dari Bahasa Norwegia: Irwan Syahrir
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 196 halaman
Tahun Terbit: Pertama, September 2023
“Hampir tidak ada yang menempatkan kerabat dalam berbagai posisi penting. Dengan demikian kau bisa memastikan kesetiaan orang-orang dalam posisi kunci. ”--Mikal Hem
Barangkali apa yang dilakukan Rafael Trujillo, diktator Republik Dominikan, akan dianggap sebagai orang yang pantas masuk rumah sakit jiw saat memasang plan neon besar bertuliskan “Dios y Trujillo” (“Tuhan” dan “Trujillo”) di ibukota Ciudad Trujillo. Tak jadi soal bagi sang diktator menyejajarkan dirinya dengan Tuhan. Begitupula dengan negara tetangganya, Haiti. Sang diktator Francois Duavalier menunjuk dirinya sebagai sosok ilahi tertinggi dalam agama voodo negara. Kepulauan Comoros yang diperintah Ali Soilih tahun 1970-an juga bernasib serupa. Ali Soilih mendaku dirinya sebagai Tuhan, “Aku adalah Tuhan guru kalian, aku adalah jalan ketuhanan, aku adalah obor penerang dalam kegelapan. Tidak ada Tuhan selain Ali Soilih”.
Bagi seorang diktator, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Seorang diktator bebas melakukan apapun, dari hal yang tak masuk akal hingga ide-ide gila yang sama sekali tak terpikirkan banyak orang sebelumnya. Seorang diktator, misalnya, sah-sah saja menjadikan hari kelahirannya sebagai hari libur nasional. Termasuk pula mengubah urutan nama bulan dan hari di kalender dengan nama dirinya. Seperti yang dilakukan Saparmurat Atayevich Niyazov, Pemimpin Soviet Tertinggi di Republik Soviet Turkmenistan pada 1990. Cara ini ampuh untuk memengaruhi kesadaran publik bahwa ia lah satu-satunya orang paling berkuasa di negerinya.
Tak Hanya Sekadar Kiat
Kiat Menjadi Diktator seyogianya hanya siasat Mikal membeberkan kelakuan rakus diktator. Melalui pengamatannya terhadap ragam sepak terjang diktator dunia, Mikal Hem mencoba memerikan kiat-kiat bagaimana menjadi sosok yang super otoriter itu. Buku satire politik ini diawali dengan upaya Mikal dalam meyakinkan pembaca: Keuntungan Menjadi Diktator. Ia gambarkan keuntungan menjadi seorang diktator tanpa berpretensi melebih-lebihkan. Mulai dari kesempatan meraup kekayaan sesuka hati hingga hal konyol menyejajarkan diri dengan Tuhan untuk mempengaruhi kejiwaan publik. Mikal memerikan bagaimana cara menjadi dan bertingkah laku sebagai diktator melalui ragam contoh dari rezim terbaik di bidangnya.
Dari awal pembuka, buku ini cukup konsisten sebagai buku kiat. Pembaca disuguhi kiat dalam 10 bab yang tak henti-hentinya memuat deskripsi soal langkah menjadi diktator dengan gaya tutur khas buku pengembangan diri. Tidak menjemukan. Pembaca hendak diajak bertualang lintas bangsa sembari melihat kedigdayaan para diktator masyhur. Dari Amerika Latin hingga Afrika, dari Eropa hingga Asia, termasuk Indonesia meskipun cuma sekali disinggung sejarah politik negeri kita.
Selayaknya buku pengembangan diri, Mikal mencoba mengemas hampir tiap babakan buku ini dengan kalimat-kalimat motivasional, “kalau kau tidak sanggup meraih posisi setara Tuhan di mata rakyat, maka rakyat punya kemungkinan untuk meragukan ketakbercelaanmu. Tak boleh ada sedikit pun keraguan itu” (hal-50). Selain kalimat motivasional, juga teknikal, “ciptakan sebuah filsafat negara, beri nama yang bagus” (hal-52).
Kalimat teknikal digunakan sebagai cara paling tepat menggambarkan kelakuan beringas dalam mempertahankan kekuasaan, menjadi kaya dan memanfaatkan kekayaan, dan kapan saatnya berhenti pada waktu yang tepat. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk melanggengkan kekuasaan, di antaranya: menjauhkan rakyat dari pihak oposisi, memanipulasi pemilu, dan menghasut rakyat melawan musuh dari luar.
Dalam negara demokratis, tuntutan untuk selalu diselenggarakan pemilu akan selalu ada. Iktikad menyelenggarakan pemilu menunjukkan adanya reformasi yang demokratis. Upaya ini pula yang kerap jadi landasan untuk membantah pihak pengkritik sekaligus menjadi legitimasi bahwa kekuasaan diraih dengan cara yang demokratis. Di balik itu semua, seorang diktator akan memanipulasi perolehan suara agar menguntungkan dirinya; mengendalikan media sepenuhnya; membentuk aturan lisensi yang membuat saluran independen dapat dibredel saat terlalu kritis; mempersulit para pendukung oposisi untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih, dan masih banyak lagi.
Semua itu merupakan hal yang mudah dilakukan bagi seorang diktator. Selain pemilu, propaganda adalah salah satu contoh strategi jitu yang sering dilakukan diktator manapun. Propaganda bisa beragam bentuknya. Mikal mencontohkan di banyak negara yang menggunakan spanduk-spanduk berisi anjuran untuk rakyat atau kata-kata bijak dari sang diktator. Tidak hanya itu, buku-buku pelajaran disesuaikan, sehingga aspek-aspek rezim ditonjolkan dan prestasi sang diktator mendapat banyak tempat (hal-40).
“Memperluas Diri” juga menjadi bagian menakjubkan soal keditaktoran. Ini bertujuan supaya sang diktator meresap ke seluruh lapisan masyarakat. Itulah mengapa kecakapan merangkak ke bawah kulit rakyatnya hingga ke sudut kecil negeri menjadi satu hal yang mesti dipertaruhkan. Seorang diktator bisa saja bikin kultus individu untuk menciptakan ketakutan serta menciptakan perasaan tak terkalahkan dengan memasang foto dan patung di mana-mana; menggelari diri dengan asosiasi kenegarawanan, kebapakan, serta kecintaan; menulis buku visioner yang memuat aturan moral kebangsaan seperti yang dilakukan Mao Zedong; atau menciptakan sebuah filsafat negara dengan nama yang bagus seperti yang dilakukan Muammar Gaddafi yang menciptakan ideologi “Teori Internasional Ketiga” yang merupakan kombinasi antara Islam, tradisi kesukuan Libya, sosialisme, dan nasionalisme pan-Arabia, dan masih banyak lagi cara yang dapat dilakukan untuk memperluas diri.
Hasrat untuk memperkaya diri bagaimanapun selamanya jadi watak dasar seorang diktator. Ini pula yang jadi alasan mengapa berbagai upaya mengeruk kekayaan negara mutlak dilakukan. Korupsi adalah salah satu contohnya. Hampir semua diktator adalah seorang koruptor. Ragam jalan ditempuh agar supaya perilaku korupnya itu tidak diketahui kebanyakan. Mikal membeberkan sederet negara terkorup selama beberapa dekade sebagai percontohan yang baik. Ada rezim Orde Baru (Orba) di daftar teratas.
Rezim Orba yang memerintah Indonesia selama 32 tahun telah meraup kekayaan negara antara 15 sampai 35 miliar dolar. Semangat berbagi tampaknya jadi kunci sukses langgengnya jalan keditaktoran. Itulah yang dilakukan Pak Harto. Ia bagikan kekayaan negara ke kroni-kroninya, orang-orang terdekatnya. Mikal menyebut hampir tidak ada diktator yang tidak menempatkan kerabat dan teman dalam berbagai posisi penting. Suatu langkah yang cukup jitu untuk memastikan kesetiaan orang-orang yang ada dalam posisi kunci. Kesetiaan tidak boleh dianggap remeh oleh seorang diktator. Karena itu, semangat membagi-bagikan kue kekuasaan ke orang-orang yang berada dalam posisi kunci menjadi keharusan supaya perilaku korup tetap melaju.
Bagaimanapun, hasrat untuk terus berkuasa akan tetap ada, tidak terkecuali di negara paling demokratis sekalipun. Karena itu cara-cara tak masuk akal yang menyalahi konsensus umum akan terus dilakukan. Tak peduli soal aturan ketatanegaraan, bagi seorang diktator itu tidak terlalu berlaku. Sebab otoritas seorang diktator melampaui kekuatan aturan-aturan kenegaraan paling baku sekalipun. Untuk itu memiliki preferensi politik keditaktoran sangat penting untuk dilakukan.
Satire Politik untuk Membaca Tanda Kediktatoran
Buku satire politik yang jenaka ini pada akhirnya jadi bacaan penting membaca tanda-tanda keditaktoran suatu rezim. Detail perilaku yang menunjukkan tanda-tanda keditaktoran itu dikemas dengan bahasa yang jenaka dan satire, detail serta kaya data, tanpa mengaburkan sublimasi isi. Beberapa ada yang relevan dengan kondisi bangsa kita hari ini. Pembaca tentu akan paham soal ini saat membaca Kiat Memperkaya Diri; Memanfaatkan Kekayaan; dan Berbagi (dengan Orang-orang Dekat). Ketiga bab ini layak dibaca tanpa harus terlewati sedikitpun.
Kehadiran buku ini selamanya akan terus kontekstual dalam sebuah bangsa yang berasaskan spirit demokrasi. Meskipun tajuk buku ini Kiat Menjadi Koruptor, bukan berarti kita hendak diajak bertingkah selayaknya diktator. Sebaliknya buku ini sekadar memberi pemahaman bagaimana diktator masyhur dunia bertingkah sesukanya. Bisa jadi buku ini semacam panduan yang tak biasa: pembaca akan lebih kritis melihat rekam jejak para pemimpinnya dalam menakhkodai bangsanya. Karena itu buku ini jadi petunjuk penting bagi siapapun yang hendak mengontrol kekuasaan suatu rezim.
Muhammad Ghufron,
Pegiat Sastra di Komunitas Kutub Yogyakarta.