Esai ‘Perihal Tema Sosial dan Tema Individual dalam Kesusastraan Kita’
MASIH relevankah membahas tema sosial versus tema individual di dalam kesusastraan kita? Tentu saja masih relevan, sekalipun mungkin akan dianggap usang. Tapi yang pasti, bukan ahistoris. Kita bisa melihat misalnya era 60-an ketika Lekra vs Manikebu bersitegang. Dinamika ini melahirkan karya sastra hasil “turba” bercorak massal kerakyatan versus karya sastra humanisme universal; yang satu lantang dan artikulatif, satu lagi liris dan reflektif.
Bisa juga kita lihat lebih jauh ke belakang, ketika muncul penamaan Angkatan 45 sebagaimana dicatat HB Jassin dalam Kesusasteraan Indonesia Modern (1962/1985). Sebagian orang rikuh karena nama itu terlalu mentereng dan takut terkesan membonceng. Mereka menyadari sikap individualisme Chairil Anwar, sinisme Idrus dan aristokratnya Asrul Sani—yang kesemuanya dipersepsi bersifat soliter.
Tapi sebagian menganggap penamaan itu tepat belaka sebab para pionernya hidup dan berbuat dalam masa krusial, justru dengan menghidupkan suaka individual. Sikap ini penting di tengah berkecamuknya api revolusi, di mana hampir setiap orang lebur ke dalam gerakan massal yang menenggelamkan potensi personal. Dalam keadaan demikian, layak bagi sastrawan untuk tetap kritis, dan menjaga jarak dengan ruang-ruang komando.
Tentu perdebatan tema sosial vs tema individual muncul juga tahun-tahun berikutnya. Terutama masa represifitas Orde Baru dan transisi Reformasi yang tak kalah krusial. Termasuk masa mutakhir di mana kehidupan berbangsa tidak sedang baik-baik saja. Situasi itu tampaknya mendorong orang merasa tetap perlu membicarakan isu lama ini. Salah satunya pihak Borubudur Writers & Cultural Festival (BWCF) akhir tahun lalu di Malang, tentu sembari memberinya sentuhan baru.
Hibrid
Salah seorang penyair paling gigih mengangkat tema sosial dalam masa Orde Baru hingga transisi Reformasi adalah W.S. Rendra. Ia terutama diingat karena secara sadar memilih menulis sajak pamlet untuk mengkritik ideologi “pembangunanisme” yang timpang. Sajak-sajak itu kemudian terbit dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi (1975), dan sisanya termaktub dalam Doa untuk Anak Cucu (2013).
Demi sajak pamflet, Rendra sengaja meninggalkan fase romantiknya dengan renda-renda percintaan dan melankolia, sebagaimana Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972). Ia bahkan mencibir “para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan”.
Bagaimanakah menempatkan puisi-puisi Rendra dalam periode kepenyairannya yang panjang? Puisi awalnya yang individual berubah ketika ada panggilan moral menyuarakan situasi sosial secara terbuka. Dan itu bukan ujug-ujug (seketika). Ada proses peralihan bahkan ulang-alik, sebagaimana dalam Empat Kumpulan Sajak (1961) yang merupakan campuran tema individual dan sosial dengan kecenderungan masing-masing bagian.
Bagian “Kakawin Kawin” lebih merupakan cerita dan pengalaman empirik Rendra saat pernikahannya dengan Sunarti. Bagian “Malam Stanza” mulai membaurkan pengalaman individual dengan kesan-kesan sekitar; campuran naluriah dengan rangsangan peristiwa.
Bagian ketiga, “Nyanyian dari Jalanan” sebagaimana judulnya, memunculkan amatan sekitar bukan lagi sekedar kesan emotif. Namun menajam pada sikap empati, semacam keberpihakan, terutama di subjudul ‘Jakarta’. Bagian keempat, “Sajak-Sajak Dua Belas Perak”, antara individual dan yang sosial kembali saling kelindan.
Begitu pula Sitor Situmorang. Ada masa sajaknya sangat individual, merapat ke gaya Chairil Anwar, lalu mulai memunggah suara-suara kolektif dalam masa berjuang. Ia beralih mempersetankan Chairil ketika menjadi corong Manipol Soekarno dan mengetuai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).
Sutardji Calzoum Bachri yang ekspresinya sangat individual (ekslusif), juga punya sajak inklusif seperti “David Cooperfield”, “Jembatan” dan “Tanah Air Mata”. Sajak-sajak dalam O Amuk Kapak (1981) pun tetap mencuatkan nuansa sosial. Yang tertusuk padamu berdarah padaku, tulisnya, sebagai contoh.
Sapardi Djoko Damono yang identik dengan sajak liris-imajis, toh punya sajak sosial dalam Ayat-Ayat Api (2000) antara lain tentang Marsinah. Sajak lainnya, “Selamat Pagi Indonesia” justru sangat piawai memunculkan situasi sosial masyarakat kita.
Sajak-sajak domestik dan kiasan badan Joko Pinurbo tetap menjenguk ruang dan tubuh publik, seperti dalam Celana (1999) atau Di Bawah Kibaran Sarung (2001). Jokpin kembali pada hal-hal individual seperti hujan dan kopi di sebagian sajak mutakhir, sembari menyuarakan fenomena sosial dari ranah individual dalam sejumlah sajak terakhir. Misalnya, analogi agama dan air, atau diksi “pemeluk” yang bermakna badaniah dan batiniah sekaligus.
Kadang dalam sebuah sajak kita dapati bait individual atau sosial berkelabat jika bukan saling ikat, semacam “sampiran” dan “isi”. Contoh “Manusia Pertama di Angkasa Luar” Subagio Sastrowardoyo. Gaya personalnya merepresentasikan situasi kolektif efek alienasi teknologi. Beri aku satu puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji, tulisnya.
Subagio juga menulis tema-tema kecil individual, seperti “Dua Sejoli”, “Lima Sajak Tentang Perempuan” atau sekuel sajak luar negeri. Namun saat lain—bisa juga berbarengan; perperiodik—ia menulis “Afrika Selatan”,“Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi” atau “Paskah di Kentucky Fried Chicken” yang empati sosialnya tak terperikan.
Cum Suis
Bicara tentang Chairil Anwar, orang cuma ingat sajak “Aku” dan tidak ingat pada “Diponegoro”, “Beta Pattirajawane”, “Kenanglah Kami” (Krawang-Bekasi), tulis Jassin, setengah mengeluh (1985: 2). Itu untuk menunjukkan bahwa di balik pernyataan, jika bukan tuduhan sebagai penyair “individualisme”, Chairil juga punya sajak “berjoang”.
Tapi terlepas dari itu, Jassin pun tahu, beberapa waktu kemudian banyak orang meletakkan sajak Chairil dalam “dua dimensi”: sajak kamar dan sajak mimbar.
Karena karya sastra bersifat polifonik, niscaya tema apa pun lebur dalam realitas teks yang tak mungkin dipilah “jenis kelaminnya”—apakah sosial atau individual. Melalui pelbagai strategi literer seperti fakta-fiksi, ekletik dan hibrid, sampai kepada unsur ekstrinsik kreator (proses kreatif dan latar belakang) tema sosial dan individual ulang-alik, berpilin-kait.
Ketimbang mempertentangkan (versus), rasanya lebih cocok digunakan diksi “versi” atau “variasi”. Ia bisa berbunyi “tema sosial versi individual”, atau sebaliknya, “tema individual versi sosial”. Atau lebih baik vs (versus) itu diganti saja dengan cs (cum suis)—artinya dan kawan-kawan—sehingga menjadi “tema individual cs tema sosial”. Ini menjadikannya sejajar, setara dan seekologi.
Selama ini tema sosial terlalu general, merengkuh apa saja. Ibarat diksi ‘kebudayaan’ berisi banyak hal, dari politik hingga kuliner. Atau istilah ‘negara’ identik dengan pemerintah, padahal ia memuat aneka elemen. Sebaliknya, tema individual terlalu diartikan sempit, seolah tak punya ruang lingkup memadai. Padahal ia bisa ada dalam tema kemanusiaan atau kebangsaan, hanya cara dan sudut pandangnya yang berbeda.
Untuk itu, mesti dibuka ruang ketiga dalam melihat tema sosial-individual: hibrid. Lewat hibriditas, dimensi tema lebih dapat. Novel Bumi Manusia bukan hanya “seksi” dengan tema sosial nasionalisme atau (pasca)kolonial, tapi juga mengandung variasi tema atau sub-tema individual yang menghidupkan novel. Sebut saja percintaan Minke-Annelis atau hubungan kakak Annelis dengan pembantu rumah tangganya. Sebaliknya, kita tak bisa hanya melihat persoalan pribadi Guru Isa yang goncang dalam Jalan Tak Ada Ujung, tanpa mengaitkannya dengan situasi sosial Jakarta yang chaos pada masa Jepang.
Blora
Ada contoh menarik lain diceritakan HB Jassin dan saya kira berkorelasi dengan gejala hibriditas tematik lebih lanjut. Adalah cerpen “Blora” karya Pramoedya Ananta Toer (dimuat dalam Subuh, 1950), yang bercerita tentang keluarga besar Pram sendiri.
Tokoh utamanya, Muk, pulang dari Jakarta ke Blora. Muk menemukan kehancuran akibat revolusi di mana-mana. Ia mendapati gadis remajanya berada dalam cengkraman serdadu pendudukan. Ia melihat pengemis tua berkain karung dan kuduk kudisan. Adiknya, Cuk, pincang karena borokan. Ibunya tewas di tangan Jepang. Ayahnya putus asa dan apatis.
Di rumah, Muk menemukan adik laki-lakinya, Wit, bersembunyi dengan kedua kaki buntung sebagai korban revolusi. Namun pakaian tentaranya masih dikenakan sambil menunggu Belanda yang akan menangkapnya. Wit menyiapkan perlawanan terakhir.
Tapi sangat mengejutkan, Wit memerintahkan Muk supaya membunuh adiknya paling kecil, si bocah pincang. Alasannya, anak itu mudah mengatakan apa saja yang dilihatnya sehingga dikhawatirkan dapat membuyarkan rencana perlawanan mereka. Muk memenuhi permintaan Wit; si adik ia bunuh dengan pisau belati!
Alangkah kerasnya keadaan! Alangkah beratnya tema sosial yang dipikul tokoh-tokoh “Blora”! Apalagi patroli Belanda datang ke rumah mereka dan bersiap menangkapi atau membunuh siapa saja.
Saat itulah Muk terbangun dari lamunan, dan semua cerita ternyata hanya berlangsung dalam lamunan di siang hari belaka!
Bagaimanakah kita menempatkan cerita ini? Tema sosialkah itu, sedang pada kenyataannya itu hanya lamunan yang tak pernah terjadi?
Menurut Jassin, banyak orang kecewa karena cerita mengerikan itu hanya lamunan. Orang menuduh Pram tidak berani melihat kenyataan revolusi yang sebenarnya. Seolah ia terikat dengan lakon semi-biografis yang nasibnya harus ia jaga dari kejadian buruk. Padahal kejadian-kejadian lebih hebat pernah terjadi dalam revolusi Indonesia.
Konon, lantaran itulah Pram menulis roman Keluarga Gerilya, demi menjawab tuduhan yang beredar. Roman itu benar-benar menggambarkan situasi sosial manusia revolusi. Mereka mau melakukan apa saja demi membela bangsa yang lama terjajah.
Itulah upaya konkrit Pramoedya membayar lunas tema individual yang dituduhkan, dengan tema sosial yang dalam konteks itu sangat dibutuhkan. Dan tentu juga ini sesuai dengan orientasi ideologis pilihan Pram.
Jadi, apakah kita menutup mata pada kecenderungan tematik seseorang? Atau biarkan kecenderungan itu longgar demi efek “dua-dimensi”?
Saya ingin mengatakan bahwa karya sastra kita dari dulu hingga sekarang sebenarnya berada dalam semesta tema sosial dan individual. Seseorang tetap akan muncul dengan sidik jarinya, dengan tema usungannya. Semakin banyak dan produktif ia mencipta dalam tema tertentu—tentu dengan kepaduan estetis dan ideologis—maka semakin mendekatlah ia ke grand-tema yang menjadi kecenderungannya.
Berdasarkan ini, jangan khawatir, Wiji Thukul tetaplah penyair dengan tema-tema sosial yang artikulatif, sedangkan Acep Zamzam Noor tetaplah penghayat tema-tema individual yang kuat. Tentu saja di dalam karya mereka terkandung spirit kedua tema itu, hanya saja kadarnya berbeda-beda; ada yang kental ada yang samar.
Semua itu dapat dilihat dengan perspektif representasi. Bahwa yang individual dapat merepresentasikan soal-soal sosial, dan yang sosial bisa saja merepresentasikan hal-hal yang bersifat individual. Tentu jika adukannya paten dan proporsional.
Raudal Tanjung Banua,
Sastrawan, anggota Grup Kuncen Pantai Barat, tinggal di Yogyakarta.