Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Di Sini, di Lempuyangan yang Dingin Ini’

Cerpen ‘Di Sini, di Lempuyangan yang Dingin Ini’

TEPAT sampai di pintu keluar stasiun, aku mendengar pemberitahuan bahwa kereta Gajah Wong relasi Lempuyangan-Pasar Senen akan segera masuk di jalur dua, begitu pas dengan kedatanganku. Setengah jam yang lalu aku berangkat dari rumah menuju Stasiun Lempuyangan. Aku salut dengan kereta yang hampir selalu datang tepat waktu. Namun, meski tepat waktu, aku masih harus menunggu beberapa menit lagi dari kedatangan kereta, menunggu di pintu keluar stasiun.

Semboyan 35 terdengar. Dari pintu keluar aku dapat menyaksikan kereta Gajah Wong yang mulai memasuki jalur dua dan perlahan melambat hingga benar-benar berhenti. Pintu-pintu kereta terbuka dan penumpang segera memenuhi peron jalur dua. Aku masih harus menunggu, bukan hanya hingga penumpang-penumpang itu benar-benar bersih dari peron jalur dua, namun hingga kereta dilangsir ke jalur rel peristirahatannya.

Sekitar dua puluh menit aku menunggu dari kedatangan kereta Gajah Wong, tampak seorang perempuan mengenakan seragam berwarna biru dengan motif batik berjalan ke arahku. Dan seperti biasanya, aku menyerahkan rantang makanan yang kubawa juga botol minuman yang berisi wedang sere. Ia tersenyum padaku menerima rantang dan botol minuman.

“Hari ini tidak usah mencari tempat untuk makan,” katanya.
“Lalu mau makan di mana?”
“Di dalam stasiun saja.”

Awalnya aku mempertanyakan apa yang diucapkannya. Setahuku orang yang berada di kursi-kursi untuk menunggu datangnya kereta, mereka sudah mempunyai tiket. Perempuan itu berkata, kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Dengan sedikit lelucon sombongnya, ia menyampaikan padaku kalau ia seorang pramugari. Jadi sangatlah tidak mungkin diusir. Akhirnya aku mengekor. Ia berjalan ke arah barat, menuju kursi-kursi yang tampak kosong.

Dengan penuh ketidaksabaran, ia langsung membuka rantang itu begitu kami duduk. Hari ini aku membawakannya nasi pecel, lengkap beserta kerupuknya. Ia tampak begitu riang, mengambil sendok, dan langsung menyantapnya. Sambil mengamatinya, aku membuka tutup botol minum. Kuletakkan botol itu di sampingnya.

“Sudah lama, aku tidak makan pecel. Segar sekali. Besok aku mau dibawakan lagi. Enak sekali ini,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ia juga memuji isi botol minum. Sudah lama pula, ia tidak menikmati minuman tradisional wedang sere. Sembari mengunyah, ia mengatakan padaku kalau rasa lelahnya hilang begitu saja gara-gara menikmati hidangan yang kubawa. Ahh, pujian yang begitu klise sudah dapat menyejukkan hatiku.

Melihatnya makan seperti sekarang ini, aku terkadang tidak habis pikir. Begitu cepatnya perubahan, saat ia menikmati setiap hidangan yang kubawakan, ia selalu terkesan menjadi kekanak-kanakan. Sementara ketika ia turun dari kereta, ia tampak anggun dan berwibawa. Kesan kekanak-kanakan itu sama sekali tidak ada. Apakah perempuan selalu demikian, kala dihadapkan pada laki-laki? Bagiku, ini fenomena menakjubkan.

Sudah menjadi rutinitasku mengantarkan hidangan untuknya, pramugari itu pada setiap kepulangannya setelah dinas. Sudah dua tahun aku melakukan hal ini. Anehnya, setiap perjumpaan yang terjadi, tidak pernah diawali dengan percakapan di telepon. Ia selalu memberitahuku pada kesempatan berikutnya akan berdinas di kereta apa. Jika kereta yang dinaiki tidak berakhir di Stasiun Lempuyangan, ia hanya akan turun dan menyambangiku untuk mengambil makanan yang kubawa. Jika seperti sekarang ini, aku akan menemani ia yang menikmati hidangan yang kubawa.

 

Perjumpaanku dengannya tidak pernah lama. Paling tidak, tidak pernah lebih dari tiga jam. Aku menghargai dirinya yang sudah lelah dan membutuhkan pemulihan tenaga setelah berjam-jam berada di atas kereta. Paling mentok aku hanya mengajaknya ke tempat ngopi yang tidak jauh dari stasiun. Ia pun tidak pernah meminta untuk diajak ke suatu tempat. Di perjumpaan yang tidak lama itu, tidak banyak yang dapat dibicarakan. Paling-paling ia hanya membagikan kisahnya selama berdinas atau rutinitasnya setelah berdinas.

Perjumpaan yang ada selalu diakhiri dengan perpisahan di pintu keluar stasiun. Ia selalu mengucapkan supaya aku hati-hati dalam berkendara dan melambaikan tangannya, sementara aku seolah tidak peduli dengannya setelah berada di luar stasiun. Aku pergi begitu saja.

“Setelah ini mau ke mana?”
“Ke mana?”
“Mau ke mana setelah ini?”

Tumben sekali pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Ia memang pernah menceritakan rutinitasnya kepadaku selepas dari stasiun, tapi bertanya seperti itu, tidak pernah sama sekali dilakukannya. Sebagai seorang laki-laki, aku tahu ke mana arah pertanyaan itu. Aku menjawabnya dengan mengatakan kalau aku belum tahu. Aku memperhatikan kursi-kursi di sebelah timur semakin dipenuhi dengan para penumpang. Mungkin mereka menunggu kedatangan kereta Logawa relasi Purwokerto – Jember.

Beberapa menit di antara kami kosong, tak ada percakapan. Aku tidak menyangka dengan pertanyaan itu. Aku memutuskan kemudian untuk mengajaknya jalan-jalan di Malioboro, tapi sepertinya sudah terlambat. Salahku juga, sedari awal tidak langsung memberinya kepastian. Wajahnya tampak berubah, keriangan saat menikmati hidangan tidak tersisa. Akhirnya kami saling berpamitan di pintu keluar stasiun.

***

Aku masih ingat, bagaimana pertama kali kami bertemu, hingga aku menjadi rutin membawakannya hidangan yang diletakkan dalam rantang, hingga kami begitu akrab meski sebenarnya tidak pernah benar-benar saling kenal. Ya, semua ini begitu lucu, tapi inilah kenyataannya. Aku tidak pernah tahu namanya, dalam artian aku bertanya langsung padanya. Aku hanya mengetahui namanya dari pin yang tertempel di dada kanannya. Sementara ia tidak pernah tahu namaku. Aku tidak pernah memperkenalkan diriku padanya, ia tidak pernah memastikan siapa namaku.

Barangkali jika ada sayembara kisah paling aneh, kisahku ini sudah pasti masuk menjadi pemenangnya, sekalipun tidak nangkring di posisi nomor satu. Ya, semuanya berawal dari Stasiun Lempuyangan ini. Stasiun yang menurutku lebih mempunyai kesan romantis ketimbang saudaranya, Stasiun Tugu.

Ingatanku tentangnya saat pertama kali bertemu masih utuh di kepala. Pramugari itu berlari ke arah tempat duduk paling belakang di kereta—di gerbong paling belakang. Aku duduk di dekat pintu yang menghubungkan antar gerbong dan perempuan itu kulihat menangis sesenggrukan. Beruntungnya belum ada penumpang selain diriku, pada awalnya aku tidak mempedulikan. Namun, melihatnya yang terus menguras air mata. Aku memberanikan diri untuk mendekat.

“Sembilan tahun,” katanya. Tangisnya mengeras. Belum sempat kutanya apa-apa, ia sudah berkata demikian.

Aku memberanikan diri duduk di dekatnya. Tanpa peduli siapa yang datang, kepalanya langsung tenggelam di dadaku. Di titik itu, aku bungkam. Bingung. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Situasinya begitu mendadak. Aku yang biasanya tahu apa yang harus kulakukan saat sedang menghadapi perempuan yang diliputi sedih, tak berlaku saat menghadapinya. Tanganku tak mengambil inisiatif untuk sekadar merangkulnya. Tidak. Aneh memang.

Dari perjumpaan itulah, aku menjadi tahu, mengapa ia berlari ke tempat duduk paling belakang dan menangis. Seumur-umur, baru kali ini aku mengetahui hubungan yang begitu lama, lebih lama daripada yang kuketahui. Kupikir hubungan temanku yang usianya enam tahun bakal menjadi hubungan terlama yang pernah kuketahui.

Dari perjumpaan itulah, kemudian menciptakan perjumpaan-perjumpaan selanjutnya. Aku selalu membawakannya rantang berisi makanan beserta minumnya. Ia begitu menikmati setiap hidangan yang kubawakan. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dari perjumpaan itu, kesedihan itu masih tampak menggantung di wajahnya. Aku mewajarkan. Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Adakah yang lebih menyakitkan daripada hubungan yang sudah terjalin begitu lama dan kemudian berakhir dengan sia-sia?

Akhir-akhir ini aku gelisah. Ada perubahan kecil dalam diri pramugari itu. Seperti ada sesuatu dari balik wajahnya yang ingin dikatakan. Samar-samar aku bisa membacanya. Itulah yang membuatku sering bimbang akhir-akhir ini sebelum berangkat dari rumah, membawakannya rantang makanan dan minuman untuknya. Aku mencoba mengingat-ingat kembali, peristiwa pada awal perjumpaanku dengannya. Perjumpaan-perjumpaan yang ada, bisa dibilang bukan seratus persen karena kemauanku. Bahkan di awal-awal dulu.

Hari ini ia memaksaku, aku harus membawanya pergi. Perkara ke mana perginya, ia menyerahkan sepenuhnya dirinya kepadaku. Aku menjadi semakin yakin. Dan mendadak aku menjadi menyesal telah mengiyakan kemauannya. Aku menyesalkan semuanya.

Aku tidak pernah mengharapkan ini terjadi. Perempuan itu kini menikmati makanan dan setelah ini, kami akan pergi. Ingin rasanya aku enyah dari hadapannya, apakah aku cukup mempunyai nyali untuk melakukannya? Dan ternyata aku tidak punya nyali. Betapa bodohnya aku, seharusnya aku tidak pernah mempunyai rasa iba terhadapnya. Hingga tanpa kusadari, ritualku datang ke Stasiun Lempuyangan yang hampir setiap hari, sesungguhnya telah menjadi penawar luka untuknya.

“Untuk hari ini, aku tidak mau tahu!” ucapnya.

Aku tak menanggapi. Ia menyerahkan rantang dan botol minum kepadaku. Aku masih menyesali semuanya. Seharusnya aku mengatakan sejak awal, sehingga keganjilan yang sudah muncul pada pramugari itu, tidak akan pernah ada. Seharusnya. Mengatakan sekarang, tentunya sudah terlambat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Namun, jika tidak kukatakan, juga bukan pilihan yang baik.

Langit tiba-tiba menggelap. Bres. Hujan deras. Dari tempat duduk, aku memandang hujan. Di kepalaku sekarang hanya ada sebuah pertanyaan, bagaimana caranya aku mengatakannya kalau aku sudah mempunyai keluarga? Dan aku harus segera mendapatkan jawabannya, di sini, di Stasiun Lempuyangan yang dingin ini.

Pleret, 16 Juli 2024

Risen Dhawuh Abdullah,
Lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM angkatan 2023. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.

Sastra Terkini