Puisi-Puisi Wail Arrifqi
Tiket Terakhir
Di joglo pada suatu malam
kita datang sebagai pemesan terakhir
sebelum kedai itu tutup
Kau memilih teh manis
aku kopi pahit
sebagai awal perpisahan kita yang rumit.
Aku menatap pekat yang menancap
pada kedua bola matamu
sehabis gerimis deras
dan kau mengambil peta
lalu berusaha pulang
menyisakan kenangan.
“Ini tiket terakhir kita, malam ini” ucapmu.
bila mana maut benar-benar datang
adakah yang lebih hidup daripada redup lampu-lampu?
Nafas hanyalah batu-batu cadas
tempat segala harap terlepas
dan penantian hanyalah waktu
yang terpisah dari jarum jam,
serta tanggal yang gugur sebelum almanak terkubur
Kita gagal meredam suara “selamat tinggal”
dalam selokan, kasir, kursi, dan juga meja panjang
di mana semua alamat dirahasiakan
kecuali kehilangan
Jogja 2024
Peta Perjalanan
Dulu aku permah melihat
perahu itu hanya menjadi kayu tua
yang terparkir di tepi pantai
tempat anak-anak kecil berfoto mengabadikan kenangan masa kanak-kanaknya.
Angin yang sakal, laut yang pasang, debur yang semakin subur
membentur ingatan menjelajahi pikir mengukur segala bentuk ketiadaan.
Arah mana paling pantas menuju pulang?
Peta-peta terlipat rapat, gelap terus menuntunku untuk lelap
amis ikan semakin tercium, memaksaku sampai
meski banyak kenangan yang harus di tuntaskan.
Lalu untuk apa kita pulang
jika kembali dipertemukan pada kehilangan?
Jogja 2024
Perjalanan
Di dermaga
bangkai perahu merahasiakan kesedihan
dari balik bin, batu-batu, juga tenang air
yang menyimpan hangat tubuhmu.
Barangkali kita adalah sepasang debur
yang melebur pada harapan-harapan luntur
tempat kenangan mengukur rindu yang semakin subur.
Kemana kita malam ini?
kapal yang kita tumpangi menuju ke timur
melewati pulau-pulau kecil, gelap yang kalap
menetap menjadi atap tempat ciuman hinggap.
Sebelum angin melahirkan matahari
ciuman bergegas lepas hanya menyisakan ampas
dan bau amis yang menyengat di pasar ikan
Ini akhir dari pertemuan
yang sebentar lagi kesepian akan datang
menjelma hantu-hantu pulau seberang.
Jogja 2024
Gang
Gelap yang selalu membawa sesat
mengikat semua jalan yang sudah ku tangkap
sapa demi sapa, tangis tanpa gerimis
tumpah sepanjang malam yang kelam.
Aku duduk merunduk
takluk pada kisah-kisah suram
sesekali merangkak menafakuri masa lalu
dari sisa anggur yang membuat tersungkur
Di mana Tuhan, di mana Tuhan
ketika langkahku semakin menjurang
dan lupa pada siapa aku akan pulang
Jogja 2024
Monolog Sebuah Nama
Fajar kutemukan mengendap perlahan di matamu
aku tergelincir memilih tinggal dan menolak telanjang dari angin dingin
runcing tatapanmu mengiris sadis mataku
antara menyimpan dendam dan kerinduan
dari sisa pertemuan yang tak pernah kita rencanakan
ingin rasanya aku melarikan jarak
lalu merebahkan kepalaku di pahamu dari sunyi ke sunyi
atau bahkan sesekali mengecup keningmu yang hening.
Perpisahan seumpama adalah jalan menuju pintu rumahmu
untuk itu, biarkan aku berlama-lama memandang wajahmu
tanpa ketakutan juga kehilangan yang menjelma kenangan
rahasiakan segala bentuk kecemasan yang kau rasakan
ini hanya sepetak ladang yang menunggu benih tumbuh tanpa temu.
Jogja 2024
Wail Arrifqi,
Pemuda kelahiran Sumenep, Madura. Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta Program Studi Agribisnis. Beberapa tulisannya berupa Esai, Puisi dimuat di pelbagai media online maupun cetak.