Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai - Refleksi Ekologis dalam Cerpen ‘Maut di Ladang Jagung’: Benih Keserakahan, Panen Kehancuran

Esai - Refleksi Ekologis dalam Cerpen ‘Maut di Ladang Jagung’: Benih Keserakahan, Panen Kehancuran

SASTRA dengan segala keindahan dan kekuatannya mampu merefleksikan realitas dan menggugah kesadaran manusia. Salah satu cabang kritik sastra yang berupaya menggali hubungan erat antara manusia dan alam adalah ekokritik. Cheryll Glotfelty (1996) mendefinisikan ekokritik sebagai studi tentang keterkaitan antara sastra dan lingkungan fisik. Ekokritik bukan hanya sekadar analisis teks, tetapi juga sebuah bentuk aktivisme budaya yang kritis terhadap ketidakadilan ekologis dan menyerukan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.

Ekokritik, sebagai metode analisis sastra, muncul karena dua hal utama: pertama, keprihatinan akan kerusakan lingkungan yang semakin nyata dan kedua, kesenjangan antara isu lingkungan dengan dunia sastra. Pada masa itu (era sekitar 70-80 an), pandangan manusia yang menganggap diri sebagai penguasa alam, sementara alam sebagai obyek yang dapat dikendalikan, memicu keprihatinan. Di sisi lain, masalah lingkungan yang serius tampak terpisah dari kajian sastra, sehingga ekokritik hadir untuk menjembatani kesenjangan ini dan mengangkat isu lingkungan dalam konteks sastra.

Pada era 70 an dan 80 an, gerakan sosial terkait ras, kelas, dan gender berhasil menarik perhatian dunia sastra, melahirkan banyak studi dan karya. Namun, isu lingkungan seolah terlupakan. Padahal, berita-berita utama pada masa itu menunjukkan betapa pentingnya isu lingkungan. Peristiwa-peristiwa seperti kebocoran minyak, pencemaran air, kepunahan spesies, konflik lahan, limbah nuklir, penipisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam menunjukkan betapa kritisnya masalah lingkungan yang dihadapi saat itu.

Konsep ekokritik sastra pertama kali diperkenalkan oleh William H. Rueckert pada tahun 1970-an, sebagaimana ditulis dalam esainya yang berjudul “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism” (1978). Pendekatan Rueckert terhadap teks sastra adalah dengan melihatnya sebagai ekosistem, dengan fokus pada hubungan antara teks dan manusia (Rueckert 1996, 68). Namun, pendekatan Rueckert yang hanya berfokus pada aspek ilmiah dari ekologi dianggap terbatas atau restriktif (Glotfelty 1996).

Native 1 Banner

Ekokritik masa kini, yang dipelopori oleh Cheryll Glotfelty, tidak hanya fokus pada isu lingkungan, tetapi meneliti seluruh spektrum hubungan antara karya sastra dan lingkungan fisiknya. Ekokritik berkembang menjadi bidang kajian sastra yang luas, dengan banyak cabang dan perspektif. Glotfelty mendefinisikan ekokritik sebagai teori yang mengkaji hubungan antara karya sastra dengan lingkungan fisik, dengan fokus pada bumi dan lingkungan sekitar.

Secara sederhana, teori ekokritik sastra memfokuskan kajiannya pada hubungan antara makhluk hidup dan alam. Dalam praktiknya, ekokritik sastra sering meneliti bagaimana alam digambarkan dalam sebuah karya sastra. Tujuan utamanya adalah mengubah cara pandang atau ideologi dengan menggabungkan pengetahuan dari disiplin ilmu lain, terutama ilmu sains, untuk mendukung proses pembacaan karya sastra.

Ketika Ladang Jagung Menjadi Ironi Kematian
Relasi antara manusia dan alam bukanlah tema baru dalam khazanah sastra. Namun, kajian sastra konvensional cenderung terjebak dalam pembahasan relasi manusia dengan lingkungan sosialnya, mengesampingkan keterhubungan yang kompleks antara teks dengan dunia alam. Mengangkat teori ekokritik sastra yang didefinisikan oleh Cheryll sebagai studi tentang keterkaitan karya sastra dengan lingkungan fisik, esai ini akan menelaah bagaimana cerpen “Maut di Ladang Jagung” merepresentasikan alam dan problematika ekologis.

A. Muttaqin, melalui cerpen “Maut di Ladang Jagung”, yang dipublikasikan di koran Kompas tanggal 7 Agustus 2022, dengan cermat merangkai sebuah tragedi pedesaan yang sarat makna. Sejak judulnya dibentangkan, A. Muttaqin telah melempar ironi yang menohok: “Maut di Ladang Jagung”. Ladang jagung, simbol kesuburan, kehidupan, dan sumber pangan, justru menjadi ruang kematian. Ironi ini menjadi gerbang masuk untuk memahami pesan moral yang ingin disampaikan A. Muttaqin: bahwa eksploitasi alam yang berlebihan, yang didasari oleh keserakahan dan kebutaan manusia, akan berujung pada kehancuran, baik bagi alam maupun bagi manusia itu sendiri.

Matuwar, sang tokoh utama, adalah representasi dari manusia yang terjebak dalam pusaran antroposentrisme. Baginya, ladang jagung tak ubahnya aset yang harus dijaga dan dilindungi demi keuntungan pribadi. Kehadiran tikus, yang mengancam hasil panennya, memicu kepanikan yang berlebihan, memunculkan sisi gelap dalam dirinya. Ia mengutuk, ia marah, ia merasa berhak untuk menguasai dan menghancurkan apa pun yang dianggapnya sebagai ancaman.

Keputusannya untuk memanen seluruh jagung seorang diri di malam hari, mengabaikan peringatan samar dari sosok tua misterius, adalah puncak dari keserakahan dan kebutaannya. Ia tergesa-gesa, gelap mata, tak lagi peduli dengan bahaya yang mengintai dalam kegelapan. Alam, yang selama ini ia eksploitasi, membalas dengan cara yang tragis dan ironis. Ia mati di tengah ladangnya sendiri, dimangsa oleh anjing-anjing liar, dikelilingi oleh jagung-jagung yang ia perjuangkan mati-matian.

Alam Lebih dari Sekadar Latar
Di tangan A. Muttaqin, alam bukanlah sekedar latar yang statis. Alam di sini hadir sebagai entitas yang hidup, yang memiliki kehendaknya sendiri. Ia bisa memberi, ia bisa mengambil, dan ia bisa menghukum. Kemunculan tikus, ular, dan anjing-anjing liar, bukanlah kebetulan semata. Mereka adalah manifestasi dari kekuatan alam yang terusik, yang bangkit untuk menegakkan keseimbangannya yang telah dirusak.

Perhatikan bagaimana A. Muttaqin dengan detail menggambarkan suasana mencekam di ladang jagung: langit yang gelap, sinar cilik bebintang yang redup, dan kehadiran seekor ular yang mengerikan. Deskripsi ini membangun atmosfer tegang dan mengingatkan kita akan kekuatan alam yang tak terduga. Alam bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol sepenuhnya oleh manusia, tetapi merupakan kekuatan besar yang harus dihormati.

Kematian Matuwar, meskipun tragis, sebenarnya adalah sebuah bentuk ratapan untuk kemanusiaan yang telah kehilangan jati dirinya. Matuwar, dengan segala kecemasan, ketakutan, dan keserakahannya, merepresentasikan sisi gelap dari manusia modern yang terlalu fokus pada materi dan melupakan esensi kehidupannya.

Cerpen ini juga merupakan kritik sosial terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif, yang menempatkan profit di atas segalanya. Matuwar adalah korban dari sistem ini, di mana ia dipaksa untuk terus menerus mengejar hasil panen yang sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.

“Maut di Ladang Jagung” adalah sebuah cermin bagi kita semua. A. Muttaqin, dengan cerdas, menggunakan ladang jagung sebagai sebuah mikrokosmos untuk menggambarkan kondisi dunia yang kian rusak akibat keserakahan manusia.

Cerpen ini bukanlah sebuah seruan untuk kembali ke masa lalu, ketika manusia hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Melainkan sebuah ajakan untuk merefleksikan kembali relasi kita dengan alam, untuk mencari jalan tengah antara kebutuhan hidup dan kelestarian lingkungan. “Maut di Ladang Jagung” adalah sebuah peringatan keras, bahwa jika kita terus menerus mengisap bumi tanpa memberi kesempatan padanya untuk bernapas, maka kita sendirilah yang pada akhirnya akan terkubur dalam kerakusan kita sendiri.

Alih-alih mencari pemenang antara alam dan manusia, ekokritik sastra justru menitikberatkan pada jalinan ketergantungan, pengaruh timbal balik, dan hubungan dinamis antara keduanya. Mengkategorikan alam dan manusia dalam suatu hierarki bertentangan dengan prinsip dasar ekokritik. Meskipun alam sering dianggap sebagai entitas yang terpisah dari manusia, ekokritik sastra mengakui pengaruh signifikannya terhadap kehidupan manusia.

Kendati demikian, interpretasi terhadap alam dan budaya dalam kerangka ekokritik sastra memunculkan kompleksitas tersendiri. Penghormatan berlebihan terhadap alam dapat menjurus pada pandangan anti-humanis, sedangkan fokus yang terlampau besar pada manusia dan interaksinya dengan alam dapat mengarah pada antroposentrisme. Keseimbangan menjadi kunci dalam penerapan ekokritik sastra untuk mencapai koeksistensi yang harmonis antara seluruh makhluk hidup dengan lingkungannya.

Maka dari itu, “Maut di Ladang Jagung” bukan sekadar kisah tentang benturan antara alam dan peradaban manusia, tetapi juga sebuah undangan untuk merenungi kembali posisi kita di tengah tatanan ekologis. Dengan mengadopsi perspektif ekokritik, kita diingatkan akan pentingnya membina hubungan saling menghormati dengan alam, bukan sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia sendiri. Hanya dengan jalan itu, kita dapat berharap untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dan berkelanjutan bagi seluruh penghuni bumi.

Laboratorium THP UNU JOGJA, 2024

Amir Ma’ruf,
Pengarang kelahiran Temanggung yang berkegiatan rutin di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY), menempuh studi jurusan Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

Sastra Terkini