Esai ‘Matematika dalam Sastra’
SASTRAWAN terkemuka Indonesia Joko Pinurbo telah pergi meninggalkan kita pada 27 April 2024. Kini, orang-orang tak lagi berkesempatan bertemu lagi dengannya secara langsung. Mereka hanya bisa bertemu terhadap karya gubahannya. Puisi, cerita pendek, hingga novel. Banyak orang mudah mengingat bahwa Joko Pinurbo itu identik dengan puisi.
Kita sejenak ingin berpikir Joko Pinurbo adalah seorang pencerita. Kisah yang disajikannya beragam tema. Mulai dari sosial, pendidikan, politik, hingga religiositas. Ingat cerita, kita patut mengingat salah satu kumpulan ceritanya yang berjudul Tak Ada Asu di Antara Kita (Gramedia, 2023).
Di sana kita diberi hidangan sejumlah lima belas cerita. Salah satu cerita berjudul “Siraman Rohani”. Mengejutkannya, di sana Joko Pinurbo membentangkan persoalan matematika. Ini tak lazim, sebagaimana sastra pada garis besar di Indonesia. Isu matematika maupun sains terkadang masih sulit menjadi penakrifan dari para sastrawan dalam karya-karyanya.
Dalam cerita itu mengisahkan seorang bocah sekolah menengah pertama bernama Kasbulah, yang dalam hari-harinya mendapati kesulitan akan pelajaran matematika. Bocah itu dikenal nakal, suka memalak, hingga gemar mencoreti tembok rumah orang.
Pada suatu saat pelajaran matematika, Kasbulah diberi soal dari gurunya. Ia tak kunjung menjawab. Penjelasan ditulis oleh Joko Pinurbo: “Ketika akhirnya menjawab, jawabannya ngawur. Sembari membelai punggung Kasbulah, guru matematika yang suka puisi itu meledeknya dengan memelesetkan baris sajak Sapardi Djoko Damono “yang fana adalah waktu, kita abadi” menjadi “yang fana adalah Kasbulah, matematika abadi”. Seisi kelas tertawa.”
Kita mungkin lekas menuduh apa yang dikisahkan oleh Joko Pinurbo seakan memberi penegasan bahwa matematika itu senantiasa sulit dan tak menarik. Namun, agaknya kita perlu menilik tafsir lain: bahwa apa yang dikisahkan tersebut memberi satu garis bawah penting. Itu tiada lain di tengah klaim “sulit’ dan “menakutkan”, keberadaan matematika terus penting dalam peradaban kehidupan.
Pengisahan di atas kemudian mengingatkan sebuah novel garapan Hans Magnus Enzensberger yang di Indonesia pernah diterjemahkan oleh Nuurcholis dengan judul Setan Angka: Sebuah Petualangan Matematika (Transmedia, 2007). Di sana para pembaca bertemu dengan tokoh bernama Robert. Ia mengalami mimpi panjang selama dua belas malam.
Mimpi Robert penuh ketegangan. Ia mulanya sangat takut dan kewalahan urusan matematika dalam hidupnya. Galibnya, mimpi-mimpi yang dialaminya bertemu dengan setan angka yang secara terus-menerus mengajaknya untuk berpikir akan matematika. Dari petualangan dalam mimpi yang dilalui, akhirnya Robert mendapatkan pelajaran penting akan kehadiran matematika yang menakjubkan.
Robert menemui ragam pengalaman dalam mimpi mengenai matematika tersebut. Setan angka punya cara yang cerdik mengajaknya bermain dan berpikir akan matematika. Mulai melakukan hitungan sederhana, penggunaan kalkulator, studi kasus, deret bilangan, pengenalan angka romawi, bagun dua dan tiga dimensi, hingga bilangan prima.
Kejengkelan Robert terhadap matematika terbayar dengan kisah fantastis yang dialaminya. Sampai-sampai ibunya terheran akan perubahan dalam hidupnya yang mudah berbicara angka, angka, dan angka—tidak seperti biasanya. Kita agak paham bagaimana kenyataan yang terjadi dalam pemahaman umum akan matematika.
Agar mudah terserap sebagai konstruk kesadaran, kita kemudian menganggap pengisahan matematika dalam sastra menjadi hal yang penting. Itu tentu tak terlepas akan dimensi pembicaraan matematika di kalangan umum yang mudah memberi konotasi negatif akan matematika. Walhasil, di banyak keluarga Indonesia, kesadaran untuk tertarik mempelajari matematika begitu sulit, sebab sejak awal langsung dituduh “sulit” dan “ruwet”.
Joko Pinurbo dan Hans Magnus Enzensberger memberi pijakan penting akan peletakan matematika dalam kesusastraan. Kebudayaan bermatematika seiring perubahan dan perkembangan zaman terus butuh kolaborasi antara banyak pihak. Mengerti itu, kita ingat akan apa yang pernah diungkap oleh ahli matematika Inggris, Junaid Mubeen.
Salah satu bukunya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dedeh Sry Handayani, dengan judul Kecerdasan Matematis (Alvabet, 2022). Mubeen dengan teliti dan bernas menyajikan perubahan zaman yang ditandai dengan keberadaan kecerdasan buatan dan menegaskan pentingnya kemampuan maupun kecakapan mengenai matematika.
Penjelasan ia ungkapkan, “Pelajaran matematika sekolah jelas perlu ditinjau ulang, di mana seharusnya hal ini menjadi sumber kelegaan bagi banyak orang. Pelajaran matematika sekolah saat ini jauh dari membangkitkan rasa ingin tahu atau rasa keindahan seperti dialami para matematikawan, sebaliknya ia lebih sering dikaitkan dengan rasa takut.”
Pernyataan tersebut menjadikan kita sadar akan pentingnya sastra. Hal yang tak dapat dimungkiri adalah bahwa kemajuan teknologi memberi tantangan yang berarti, berupa dehumanisasi. Kita mesti paham, sastra menjadi penawar untuk bagaimana seseorang diajak untuk masuk dalam hamparan imajinasi, permenungan estetika, dan pengolahan batin.
Tak terkecuali pula pada lanskap upaya pengenalan perkembangan matematika. Tiada lain adalah agar dengan sendirinya keberjalanan sebuah keilmuan tidak sebatas menjalankan pada beban kebutuhan akan industri dan pasar. Namun, di sana ada upaya penyibakan untuk mengerti lebih jauh mengenai realitas yang ada di lingkungan sekitar. Itu kemudian mengukuhkan pada penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Joko Priyono,
Fisikawan partikelir dan budayawan kelahiran Boyolali, Jawa Tengah. Penulis buku ‘Bersandar pada Sains’.