Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai ‘Rekonstruksi Kekuasaan dalam Puisi’

Esai ‘Rekonstruksi Kekuasaan dalam Puisi’

DALAM puisi, ideologi penyair tersisip melalui diksi yang dipertaruhkannya. Bisa jadi, ideologi itu menyusup secara sadar dalam daya cipta untuk mengekspresikan perasaan integritas terhadap patron, tokoh kekuasaan yang menjadi atmosfer kecintaan rakyat. Dukungan penyair terhadap patron kekuasaan menjadi bagian integritas. Kecintaan penyair terhadap seorang patron berpeluang mengembangkan mitos sebagai pusat kekuasaan.     

Penyair lain berobsesi pada narasi perlawanan terhadap rezim kekuasaan yang dianggap mengalami pelapukan. Ideologi penyair menyusup ke dalam diksi dan larik-larik puisi, untuk membebaskan diri dari sebuah rezim kekuasaan. Meruntuhkan rezim kekuasaan merupakan obsesi penyair untuk menciptakan sebuah sejarah baru. Konfrontasi kekuasaan mengimajinasikan pembebaskan diri dari kekuasaan lama yang telah mengalami pelapukan budaya politik.   

Para penyair lain, yang memiliki kebebasan daya cipta dalam perkembangan demokrasi  mencipta puisi-puisi yang lebih kompleks dalam memberi makna kekuasaan.  Para penyair mutakhir menciptakan diksi untuk melancarkan satire, kritik, dan kesadaran merekonstruksi kekuasaan. Penyair tidak mengukuhkan mitos kekuasaan, tidak pula mendekonstruksi kekuasaan.

Penyair  melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan tatanan baru, tatanan yang berbeda dengan rezim sebelumnya. Puisi-puisi ini dicipta dengan sugesti terhadap pembaca dengan interpretasi untuk menciptakan budaya kekuasaan baru. Para  penyair melakukan pembelaan terhadap nasib rakyat, bangkitnya sebuah budaya kekuasaan yang lebih demokratis, dan membuka kesejahteraan bagi rakyat.       

                                                             ***

Dalam puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”, Chairil Anwar mengekspresikan integritas  kekuasaan, dan menyatakan dukungan yang utuh. Penyair menjadi bagian ideologi kekuasaan, bahkan menciptakan mitos terhadap tokoh kekuasaan.  Diharapkan rakyat menjadi bagian integritas terhadap Bung Karno, presiden pada saat puisi itu diciptakan. Pertautan hati penyair terhadap presiden memunculkan kesadaran dan gelora perjuangan untuk menciptakan sebuah bangsa yang besar:

Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu// Dari mulai tgl. 17 Agustus 1045/ Aku sekarang api aku sekarang laut//.

Konfrontasi terhadap kekuasaan dilancarkan penyair Taufiq Ismail dalam puisi “Surat Ini adalah Sebuah Sajak Terbuka”. Dengan bahasa lugas, penyair melancarkan konfrontasi ideologi terhadap penguasa yang tega membunuh warganya sendiri. Tak ada kecintaan, tak ada perlindungan terhadap warga negaranya sendiri, yang memunculkan gugatan tentang demokrasi. Negara telah mengukuhkan dominasi kekuasaan untuk menindas rakyatnya sendiri:

Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri/ Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi/ serta pajak kita semua/ Di jalan raya, di depan kampus atau di mana saja/ Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu yang /Melahirkannya. Jauh dari ayahnya/ yang juga mungkin sudah tiada/.   

Rekonstruksi kekuasaan dalam puisi-puisi para penyair, lebih banyak menawarkan penafsiran-penafsiran akan ideologi kekuasaan, yang tak lagi berpusat pada seorang patron. Pada puisi Joko Pinurbo, “Guyon Yogya” menampakkan pembelaannya pada rakyat yang mencintai tempat tinggalnya, tetapi para penguasa mengabaikan kesejahteraan rakyat dan harga tanah yang tinggi, tak terjangkau kemampuan ekonomi mereka. 

Joko Pinurbo selalu menemukan cara untuk melancarkan kritik yang terselubung humor terhadap penguasa, untuk melakukan rekonstruksi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat, seperti larik berikut ini:

UMR-nya rendan/ Harga tanahnya tinggi/ Harga kangennya lebih tinggi//.       

Begitu juga dengan penyair Ahda Imran, yang menulis puisi “Kerajaan Kata” yang mengisyaratkan akan perlunya rekonstruksi sikap dan perilaku para penguasa dan ulama untuk memperbaiki tindakan-tindakan mereka. Penyair memanfaatkan simbol, yang mesti ditafsir, untuk membuka tabir rekonstruksi kekuasaan yang diekspresikan melalui diksi dan imaji. Kepalsuan-kepalsuan di balik penampilan para penguasa dan orang suci perlu direkonstruksi untuk memperbaiki kekuasaan:

Di kerajaan kata: para ksatria dan orang suci/ berjubah ungu. Berkuda putih. Kuda-kuda putih/ yang menyerbu di bawah suara lonceng/ yang meneteskan darah. Di padang bayang/ kaki-kaki kuda menderu memercikkan api//.     

Satire dan paradoks menjadi pilihan penyair mutakhir untuk mencipta rekonstruksi kekuasaan. Hilmi Faiq memiliki intuisi yang tajam untuk mengolok-olok perilaku penguasa, agar melakukan rekonstruksi kekuasaan dalam puisi “Ada yang Pelan-Pelan Mati”. Kebenaran tak lagi dijalani para politisi ketika mereka berebut kekuasaan. Dusta dan muslihat menjadi perilaku keseharian politisi demi mencapai kekuasaan. Tak ada lagi hati nurani dan kemanusiaan dalam tindakan para politisi. Mereka  bertindak dengan kepalsuan-kepalsuan, tanpa hati nurani, tanpa kebenaran:

Kebenaran rela sendiri demi hakikat/ tak peduli tiada hari terpikat/ Katanya, lebih baik sendirian/ daripada kerumunan penuh kebohongan// Kebenaran mati di ujung lisan penjual kitab suci/ Pusaranya terendam bersama perebutan kekuasaan/ pusaranya bersanding di nurani/pusaranya hilang pelan-pelan dari ingatan//.  

                                                            ***

Rekonstruksi terhadap kekuasaan membangkitkan keberanian penyair untuk menyingkap segala perilaku tokoh yang menempatkan diri di pusat kekuasaan. Penyair melakukan pembelaan moral  terhadap rakyat. Mereka menyadari akan terjadinya krisis kekuasaan, ruang gerak rakyat sangat ditentukan penguasa. Inilah  hal yang ingin  dikonstruksi kembali para penyair. Kebangkitan  hati nurani, nilai, moral, bahkan kebenaran sangat dirindukan para penyair.

Mereka menuntut para penguasa untuk bertindak dengan hati nurani, nilai, moral, dan kebenaran itu, Para penyair tidak melakukan integritas ideologi terhadap para penguasa. Mereka tidak juga melakukan konfrontasi ideologi yang  dengan kekuasaan. Mereka menciptakan kontrol kekuasaan dengan kritik terselubung humor, satire, paradoks, dan bahkan pasemon yang memberi sugesti pada para pembaca untuk melakukan perenungan akan perkembangan demokrasi.

Pembaca puisi kadang tak memikirkan akan ketajaman satire dan kritik yang dilancarkan penyair, yang membuka ruang kesadaran baru, seperti yang diciptakan Joko Pinurbo dengan puisi “Guyon Yogya”. Terdapat realitas getir kehidupan sehari-hari, yang tak terpikirkan para penguasa, dan romantisme rakyat yang sangat mencintai kota tempat tinggalnya.

Secara paradoks penyair mengekspresikan kesetiaan rakyat  di tengah-tengah himpitan hidup dengan upah rendah dan harga-harga yang melambung tinggi. Otoritas kekuasaan   tak memberikan sebuah ruang pembebasan bagi tekanan ekonomi. Akan tetapi, integritas rakyat sebagai penduduk kota yang mesti menjalani hidup dengan susah payah tetaplah tinggi.     

Puisi-puisi yang menyuarakan rekonstruksi kekuasaan pada hakikatnya membuka tafsir baru, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijelajahi rakyat, yang selama ini tertindas pusat kekuasaan. Para penyair menyingkap kedok simulakra para pejabat, agar tercipta bentuk-bentuk kebijakan baru.

Orientasi kekuasaan yang selama ini diberikan pada penguasa mulai bergeser ke  arah obsesi pada rakyat yang memerlukan dinamika, produktivitas, kreativitas, dan kemungkinan-kemungkinan baru. Penyair melakukan upaya rekonstruksi kebenaran yang orisinal dan membebaskan diri dari kebenaran semu yang tampak di permukaan.

                                                             ***

S. Prasetyo Utomo,
Sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang (Unnes). 

Sastra Terkini