BERBICARA tentang “Sastra Masuk Kurikulum”, terutama soal kontroversi buku Panduan yang disinyalir disusun menggunakan ChatGPT, membuat kita berpikir ulang tentang apa hubungan antara sastra, pendidikan, dan AI.
Sastra menurut salah satu pandangan berarti tulisan yang bernilai, oleh sebab ia bernilai itulah maka sastra selalu bertahan lebih lama dari kekuasaan seorang raja atau presiden, dan selalu dipelajari kembali di masa depan. Di situlah mestinya kita memahami bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari pendidikan.
Terlepas dari apakah sastra masuk sebagai kurikulum atau tidak, sewajarnya dalam perkembangan suatu bangsa sastra mestilah dipelajari dengan saksama. Mengingat bahwa bahasa adalah satu tonggak penting adanya sebuah bangsa, maka sastra sebagai ruang berbahasa secara kreatif mestilah dipelajari masyarakat suatu bangsa itu.
“Sastra Masuk Kurikulum” sebagai program yang dicanangkan pemerintah dalam memasuki “era baru” pendidikan kita, yaitu Merdeka Belajar, apakah benar-benar akan memerdekakan proses belajar? Apakah kemerdekaan belajar itu akan benar-benar diraih oleh guru dan murid jika patokannya adalah sebatas kurikulum? Sebab, sudah menjadi rahasia umum, bahwa kurikulum itu seringkali membenani murid dan guru alih-alih membuat merdeka.
Melihat potret pendidikan kita sejak merdeka, agaknya tidak banyak berubah. Banyak sekali yang dicangkok dari model pendidikan kolonial, tetapi dalam hal sastra, agaknya lebih bermutu ketika masih zaman Belanda. Pengakuan ini pernah dilontarkan sastrawan Ahmad Tohari dalam suatu wawancara yang kemudian dijadikan tulisan pada suatu majalah.
Kurang lebih, Ahmad Tohari mengatakan bahwa kewajiban membaca buku sastra dulu sudah diterapkan di sekolah Belanda. Bahkan, kegiatan membaca buku sastra tidak terbatas pada sastra berbahasa Indonesia saja, melainkan bahasa asing lainnya, seperti German dan Inggris. Artinya, jika melihat daftar di buku Panduan, hampir tidak terdaftar buku sastra berbahasa Inggris, hampir semua berbahasa Indonesia. Dari sini saja sudah bisa dilihat pendidikan kita menurun dalam soal “kewajiban” dan kegemaran membaca buku.
Belum lagi soal ketersediaan buku-buku di perpustakaan, yang jika disurvei pasti akan mendapati bahwa daftar buku-buku di buku Panduan itu banyak tidak terdapat di perpustakaan. Apalagi buku-buku sastra lainnya yang mungkin penting untuk menunjang pengetahuan dan minat para murid terhadap kesusastraan, pastilah tidak cukup tersedia.
Bandingkan misalnya, pada zaman Orde Baru buku-buku sastra dicetak dan masuk ke perpustakaan sekolah-sekolah dan perpustakaan daerah. Jika kita sekarang masih menemukan buku, sebutlah terbitan Balai Pustaka misalnya, yang di pojok atas sebelah kanan bertuliskan disclaimer bahwa buku tidak diperjual-belikan, itu tandanya buku cetakan yang didanai pemerintah untuk sekolah-sekolah.
Apakah buku-buku dalam buku Panduan itu akan kembali dicetak ulang seperti pada zaman Orba, kemudian dimasukkan ke sekolah-sekolah? Atau buku-buku itu harus dibeli oleh fihak sekolah menggunakan dana BOS? Pertanyaannya, di mana menemukan buku-buku yang dalam daftar notabene adalah buku-buku lama bahkan langka? Entahlah.
Kondisi buku-buku Balai Pustaka itu pun sudah demikian memprihatinkan di perpustakaan daerah di banyak wilayah di Jawa (seperti di Banyumas, Yogyakarta, dsb, di luar Jawa tentu saja penulis tidak tahu bagaimana), dan di sekolah-sekolah bisa dipastikan sudah banyak yang rusak dan diloak. Oleh sebab itu, ketika murid ditanya soal buku-buku sastra yang kebetulan di buku pelajaran bahasa Indonesia dikutip, mereka tidak tahu karena di perpustakaan sudah tidak ada atau tidak pernah ada (karena belum mengajukan atau bagaimana).
Pada kasus di perpustakaan daerah, banyak juga yang numpuk di gudang karena penyortiran tetapi tak kunjung didigitalkan alias dibiarkan saja. Artinya, buku-buku yang didaftar di buku Panduan yang mestinya masih ada terawat di perpustakaan-perpustakaan menjadi barang yang langka dan tidak dikenal. Bagaimana akan dikenal, gurunya saja tidak membaca dan memperkenalkan.
Dari beberapa hal yang telah dipaparkan, agaknya pendidikan kita belumlah banyak beranjak dari masa lalu, malah semakin menurun. Kondisi perpustakaan yang kurang terawat, buku-buku yang rusak, dsb. Padahal perpustakaan adalah basis pendidikan sekolah yang tidak boleh tidak harus ada dan terjaga.
Belum lagi di zaman digital seperti sekarang, tantangan untuk membaca buku semakin berat dan rawan. Kerancuan informasi di mana-mana, yang mestinya untuk mencari informasi yang benar dapat ditemukan di buku-buku, kini tidak tersedia. Buku Panduan yang mestinya memandu kepada informasi yang benar, malah menjadi panduan menuju ketersesatan sejarah sastra. Buku yang katanya akan menjadi bahan belajar malah mesti “belajar” dulu menjadi buku yang benar-benar layak dibaca dan sahih.
Tempo telah merilis berita mengenai buku Panduan itu, yang menurut investigasi mereka disusun menggunakan AI. Bagaimana kita mesti bergembira menyambut kabar “Sastra Masuk Kurikulum” ketika buku yang menghimpun informasi sastra saja isinya salah kaprah?
Sastra dan pendidikan seolah tidak mampu menghadapi tantangan zaman, yaitu AI. Para sastrawan yang berperan sebagai tim kurator seperti tidak menggunakan keahlian bersastranya untuk mengawal buku Panduan itu, sehingga terjadi banyak kesalahan fatal di dalamnya. Belum lagi soal daftar buku di mana buku-buku mereka pun turut masuk, padahal banyak sastrawan Indonesia yang mungkin bagus tapi tidak masuk. Apakah sastra benar-benar masuk kurikulum atau kurikulumlah yang tengah menguasai sastra?
Para editor buku yang mestinya bekerja menggunakan otak untuk menyusun buku panduan yang benar, malah malas dan berpaku pada teknologi kecerdasan buatan. Bagaimana nanti ketika guru-guru mulai mengajar sastra di kelas-kelas? Padahal para guru itu tak pernah membaca satu pun buku sastra? Bisa jadi akan bertanya ke ChatGPT lagi, seperti kasus buku Panduan itu.
Agaknya kita perlu merenung kembali, bagaimana agar para guru benar-benar merdeka, para murid juga merdeka, sastrawan pun merdeka dalam menumpahkan pemikiran tentang pendidikan berbasis sastra itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu sulit dijawab sekarang.
Nampaknya, di hadapan pragmatisme dan oportunisme, semua upaya untuk tetap bersikap etis dan berintegritas seolah menjadi luntur. Tapi kita masih harus tetap berharap dengan terus membangun basis perpustakaan di mana-mana dan menghadirkan buku-buku bermutu. Walaupun buku-buku itu tidak masuk daftar kurikulum, tetapi siapa tahu dampaknya pada mental para pembaca yang notabene murid sekolahan itu bagus untuk masa depannya. Dengan menemukan buku-buku bermutu, mereka bisa menghadapi tantangan zaman, termasuk AI. Siapa tahu?
Khanafi,
Editor lepas, penerjemah bebas, perancang sampul buku dan penjual buku-buku lawas juga baru yang tinggal di Yogyakarta. Tulisannya berupa puisi, esai dan prosa tersiar dan tersebar di media online maupun cetak. Beberapa kali memenangi lomba puisi dan esai. Saat ini ia sedang menyelesaikan novel pertamanya dan sedang mengulik satu buku terjemahan. Di sela-sela kegiataan mengedit naskah bakal buku dari beberapa penerbit, ia sesekali melukis di atas kanvas.
Buku yang terbit:
- Akar Hening di Kota Kering (2021)
- Bunga Bengkok di Dadamu (2023)