Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Puisi-Puisi Syafiq Rahman

Puisi-Puisi Syafiq Rahman

Rubaiyat Jarak

Udara dari jendela membuat padam lilin membawa rintih seruling rindu.
Lima gema huruf-huruf indah namamu melambaikan tangan
seperti membawa debar kabar pada purba darah kerak jarak menapaki jejak renung kesepian diiris-iris tubuhnya.

Kau kah itu yang menyamar menjadi utusan kesunyian?
hingga seluruh tubuhku meriang,
lalu penuh khidmad kutelan kehangatan wajahmu ke dalam denyut jantungku

Siapakah malam ini yang nyalakan bulan berwarna merah pucat?
Bibir laut gemetar membaca do’a membuka cadar alam
yang menyimpan segala rumpun takbir dan takdir,
di antara keheningan sayup-sayup angin membikin rindu ini meleleh
mencium bara api di sekeliling.

Native 1 Banner

Kemudian hari-hari tersusun dari gelisah.
Kenang di keningmu waktu membasah di mana-mana,
membentuk riak cairan air mata, Kinta.

Kita tinggal memilih,
tolong kemari,
topanglah tulang rusuk ini,
atau kau ingin bersaksi akan tinggal di dadaku hingga kekal.

Yogyakarta, Juni 2024

Surah Quentha

Ketika bulan rebah ke pundakku sebagai bangkai percintaan
Pisau bibirmu gemetar muncrat darah
Membelah langit menunggu utusan malaikat menyerahkan sayapnya
Juga kedua matamu menatap ratap langit baja yang berlapis
Menggulung doa-doa paling nadir ke puncak takdir

Langit berarak selembut sutra
Nyaris menyamar suaramu di tengah malam
Ketika seluruh penjaga rindu lelap
Kau menghitung detak
Dan aku memangkas jarak.

Yogyakarta, Juni 2024

Suatu Hari di Kotamu Pemalang
; Kinta Dewanty Noor Rochma

Menjelang matahari terbenam ke dalam,
kupersiapkan koper sendu yang berisi lipatan sesak.
Memesan tiket keberangkatan di terminal tua jogja itu,
lalu biar kutampung kesepian dalam kereta menuju kotamu
dengan rindu yang amat penuh.

Hari-hari kubayangkan seperti lonceng yang di bunyikan tangan pertemuan,
menyeret lenganku membuat kisah tanpa basah air mata.

Demi suatu masa, ku rangkum bunga-bunga mekar mahkota yang berceceran di halaman
seperti kupungut sendiri rasa nyeri di dada ini,
meski setiap bentuknya menjerit di atas gumpal darah

Mungkin saja kau tak akan mendatangiku,
membiarkanku terlantar mencari segala arah,
atau aku akan sekarat di tepi laut,
memandang burung-burung mencericitkan namamu.

Jika pada akhirnya aku sampai menujumu,
yakinlah telah kulewati peta panjang yang kau buat,
juga uadara kereta sore hari yang membikin aku mual dan gelisah,
membikin kata-kata cinta tercekat di leherku.
Maka, ingin kuhabiskan sisa-sisa nafas jarak ini yang tak sanggup menahan segala kutukannya.

Yogyakarta, Juni 2024

Risalah Gelora

Badai membikin gulungan daun-daun luruh
masihkah kau pertanyakan pucat kemarau
pada gundakan tanah juni ini yang retak

Sebelum gelora dalam tubuhku
menyembah segala berhala kesepian
ada yang lebih pedih dari kesedihan
ialah ia yang tabah menahan batu api neraka ditangannya
agar kau selamat, dari nyala panasnya

Di manakah sebenarnya puncak jarak
aku tidak menemukan garis penghujung
ketika semua jalan kerap membawaku menujumu, Kinta

Malam itu kau melukis matahari ke dalam mimpiku
juga menulis rentetan peta panjang masa depan
dan meninggalkan sepasang surat cinta
di bawah bantal empuk itu

Setelah terbangun dari kefanaan yang menenangkan
aku melihat awan melipat tikar
bulan patah dan senyummu melingkar di udara
mewariskan segala bentuk-bentuk madah.

Yogyakarta, Juni 2024

Prahara Tanggal Merah

Hendak kemana kita pada tanggal merah
kau membuat dua pilihan
ke laut air mata atau bertamasya ke kota-kata
kita sama-sama bingung
menafsir wujud kalender pada angka-anggka gelap jurang itu
sedang kau terlalu khawatir untuk menanggung kesedihan

Sekarang kau bisa lukiskan,
jarak paling jauh sekalipun
aku tak akan tumbang
meski tuhan kirimkan ledakan
karena mencintaimu membuatku bertahan dalam segala prahara

Kalau benar kau bukan kecintaanku
bagaimana nasib mimpiku yang senantiasa
kau peluk mesra pada malamku?
akankah diri ini kuasa menggugurkan kembang mawar
di bibirmu yang aku tanam sendiri?

Tidak Kinta, setiap skon waktu kerap kubunyikan lonceng do'a di Menara
berdering keras hingga seisi langit membuka pandang
memberi keputusan lembar surat cacatan takdir
kau puisi dan masa depanku

Yogyakarta, Juni 2024

Syafiq Rahman,
Lahir di Sumenep 22 Agustus 2002. Mahasiswa UIN Yogyakarta Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI), bergiat di Majelis Sastra Mata Pena (MSMP). Karya-karyanya di siarkan di berbagai media dan koran.

Sastra Terkini