Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai Sastra ‘Beras: Puisi dan Biografi’

Esai Sastra ‘Beras: Puisi dan Biografi’

BERAS terkandung dalam puisi. Di pasar dan toko, harga beras mahal. Di puisi, kita menemukan beras dengan kesilaman Indonesia. Wiji Thukul (1997) memberi kesaksian berlatar Orde Baru, menjelang krisis makin rumit dan kejatuhan penguasa. Di puisi berjudul “Gentong Kosong”, ia mengerti nasib: gentong kosong/ beras segelas cuma/ masak apa kita hari ini. Puisi menguak kemiskinan dan pembiaran oleh negara. Beras untuk hidup tapi tinggal segelas. Pengharapan masih ada.

Pengisahan beras dan sosok di Indonesia disajikan berbeda oleh F Rahardi (1997). Sosok nenek dihadirkan dalam kebutuhan beras: mengingatkan pekerjaan, religiositas, pengabdian, dan kekuasaan. Puisi berjudul “Sepanci Biji Kana untuk Maria” mengajak kita memiliki pengharapan.

Nenek di Kulonprogo mencari biji-biji kana untuk menjadi tasbih. Pembuatan dengan ketulusan dan doa-doa. Rahardi menulis: seminggu sekali/ kadang dua minggu sekali/ rosario itu disetornya/ ke sebuah kios dekat gereja/ dan nenek itu menerima/ beberapa lembar uang ribuan/ untuk membeli beras/ membeli sabun/ dan membayar uang sekolah/ salah seorang cucunya. Hasil dari kebiasaan memungut biji-biji kana di lereng pegunungan Menoreh. Nenek tanpa lelah. Panci dibawa untuk wadah biji-biji kana dan doa-doa menetes bersama keringat saat raga itu menanggungkan kemarau.

Peristiwa biasa bagi si miskin berlatar masa Orde Baru. Ia mengerti hidup. Ia sadar kuasa Tuhan. Kerja dan terima kasih diwujudkan tanpa keluhan atau kemarahan. Nenek itu dalam kepasrahan. Pada setiap adegan mengambil dan menaruh biji-biji kana dalam panci jelek dan bocor, nenek berkata: “biji-biji untuk Dewi Mariah.” Kita merasakan keakraban religius. Kemiskinan bukan derita. Nenek menunaikan hidup dengan kesederhanaan meski tak berkecukupan di tatapan kekuasaan.

Nenek itu berharap: mudah-mudahan/ tahun depan cucunya naik kelas/ mudah-mudahan harga beras/ dan sabun tidak naik. Pengharapan berkaitan kebijakan pemerintah dan situasi ekonomi. Di akhir, kita membaca kebijaksanaan: mudah-mudahan/ makin banyak anak-anak/ yang tahu bahwa Maria/ telah melahirkan/ dan membesarkan Jesus/ dengan penuh kesederhanaan. Kita tak cukup berpikir beras. Di situ, ada doa dan laku hidup di bawah terang religius. Nenek tak mengalami keributan harga beras dalam jalinan hajatan demokrasi (2024) dan situasi menjelang bulan suci bagi umat Islam di seantero Indonesia. Puisi memang masih terbaca tapi beras telanjur mahal.

Beras itu hidup. Kita sejenak mundur ke masa kolonial. Kita mengingat dua nama tokoh pergerakan politik dan pemikir: Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka diceritakan oleh Des Alwi (2002). Hatta dan Sjahrir diasingkan di Banda Naira. Di sana, mereka bergaul dan mengajar anak-anak. Pada 1936. Des Alwi ikut di rumah Oom Hatta-Oom Rir. Ia melihat kebiasaan dua tokoh terhormat itu dalam memenuhi kebutuhan makan. Mereka menanak nasi sendiri.

Des Alwi belajar dan menggantikan peran di dapur: “Tak lama kemudian, saya sudah bisa menanak nasi, hasil didikan kedua oom yang memang sudah biasa melakukan itu ketika di Digul.” Bocah itu memiliki kebanggaan bisa ambil peran dan tanggung jawab. “Akhirnya, saya menjadi ahli masak nasi sehingga kedua oom selalu membiarkan saya yang memasak nasi,” kenang Des Alwi. Di sana, ia belajar tentang penghidupan Hatta-Sjahrir pernah mengalami hukuman  di Digul berlanjut di Banda Neira. Beras sangat penting dalam melakoni hidup keseharian. Mereka berhitung tunjangan dan pendapatan dari tulisan. Mereka pun berbagi untuk penduduk dan para tawanan politik. Beras dalam biografi di pengasingan.

Beras selalu teringat dalam babak-babak sejarah di Indonesia. Kita pun mendapat ingatan beras berlatar Buru. Malapetaka 1965 mengakibatkan orang-orang dicap komunis atau kiri dikirim ke Buru. Di sana, mereka membuka lahan pertanian, diharapkan bisa menghasilkan pangan. Kaum intelektual, pengarang, dan wartawan memegang cangkul dan berlumpur demi beras. Penghukuman bersifat agraris meski agak absurd. Impian muluk: melihat tanaman padi di Buru. Usaha mula-mula menanam singkong berisiko kegagalan.

Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mengenang masa-masa awal di Buru. Ia mencatat masalah raga, pangan dan tanah. Kehidupan di Buru sering rawan dalam pangan. Mereka menantikan kedatangan beras untuk tetap bisa makan berpengaruh dalam kewarasan. Pram mencatat: “Keadaan makanan dengan cepat semakin memburuk…. Sedangkan pengangkutan pertama dari dermaga unit III sampai ke gudangnya sendiri sudah terasa berat. Delapan orang mengangkut satu kwintal beras masih merupakan avontur yang menghabiskan keringat, nafas, dan tenaga. Jarak itu hanya 150 meter. Apa pula 3,5 km. Pada umumnya, kami terdiri dari orang kota yang tidak bekerja angkat-mengangkat.” Peristiwa-peristiwa demi ketersediaan pangan sebelum mereka berhasil menaklukkan alam di Buru.

Pada abad XXI, Indonesia masih bertema beras. Kita tak perlu membuat ribuan puisi agar terjaga ketersediaan beras atau harga beras turun. Pemerintah dan pelbagai tokoh memberi kata-kata bermaksud menjelaskan beras dan Indonesia. Kita tak terlalu mengerti segala debat dan tumpukan argumentasi. Situasi demokrasi dan beras justru membuat biografi jutaan orang hampir tak puitis.

Kita teringat puisi mengisahkan nenek, beras, dan religiositas. Kita menghormati keberanian dan risiko ditanggungkan Hatta dan Sjahrir pada masa kolonial. Mereka tetap makan beras dan berharapan Indonesia mulia berpijak pangan. Pada masa berbeda, gagasan pangan ditentukan politik setelah malapetaka 1965. Beras dalam penghukuman menjelaskan raga, ideologi, dan identitas. Begitu.  

Bandung Mawardi,
Esais dan pedagang buku bekas asal Karanganyar, Jawa Tengah.

Sastra Terkini