Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Poh Agung’

Cerpen ‘Poh Agung’

DI saat-saat terakhirnya, Mbah Kletho ingat betul bagaimana keponakannya itu terus mengerang, menggeliat, meronta-ronta, seolah ada ikatan kencang di lehernya. Kedua tangannya berusaha melepas lilitan benda yang tak terlihat. Ustaz Kamri datang lalu membaca doa-doa tahlil dan Yasin. Sejenak perlahan keponakannya meredakan gerakan kedua tangannya di leher. Namun, setelah itu segalanya berakhir. Itu adalah hari terakhir bagi Arwan mengakhiri kisah hidupnya.

Seminggu berlalu setelah dibujuk oleh adik kakekku Mbah Kletho, aku akhirnya pulang. Satu-satunya cucu lelaki yang tersisa dari trah Jumenggolo. Trah balung gedhe, yang kata orang dulu kami semua dari keluarga terpandang. Semua usaha kakek buyut dan saudara bapakku memang tidak ada yang gagal. Kakek hanya berjualan warangka keris. Barang aneh yang terkadang masih saja ada yang mencari di toko daring. Lalu ibu dan bapak menyadap mayang kelapa untuk pembuatan gula jawa. Beliau sampai mempekerjakan tujuh orang luar daerah, datang ke rumahku, menginap, lalu pulang seminggu sekali.

Telepon dari Pak Ustaz Kamri bilang bapak baru saja meninggal. Padahal tiga hari lagi aku akan sidang skripsi. Aku tak begitu kaget. Sejak ibu meninggal sebulan lalu, tubuh bapak yang kulihat sering sakit-sakitan, terlihat layu mirip klaras, dedaunan pisang kering yang tanpa daya dan upaya. Jika merunut kejadian lalu dengan kematian ibu yang mendadak, bapak seolah tak terima dengan takdir ibu. Terpeleset di kamar mandi dengan kepala pecah.

Cukup lama aku menimbang keputusan. Jalan tengah harus kuambil. Kuliahku penting, melihat wajah bapak untuk terakhir kali juga penting. Bimbang bergolak di dada. Apalagi skedul sidang skripsi telah ditentukan jauh-jauh hari oleh dosen pembimbing. Aku bisa saja melakukan panggilan daring telepon, melihat wajah bapak untuk terakhir kali, tetapi itu seolah melukai rasa baktiku sebagai anak. Maka, ketika Pak Ustaz Kamri memberikan pengarahan untuk fokus dulu di kuliah, begitu leganya aku. Nanti saat acara tujuh hari aku juga masih bisa bertemu keluarga dan berkumpul bersama.

Aku manut saja. Pada akhirnya, selesai sidang skripsi, aku pulang. Ades, sepupu perempuanku mengirim foto bapak. Dalam laju kereta arah pulang, pikiranku mulai tak tenang ketika melihat leher bapak membiru. Melingkar. Alisku mengerjit. Beribu pertanyaan mengambang di kepala.

Sampai di gerbang rumah bercat biru muda, aku disambut orang-orang yang sedang membersihkan sampah plastik dan daun di halaman sisa tahlil semalam. Aku tergugu di depan pintu ketika Bulik Mina memelukku. Dia adik ibu. Ia menangis sesenggukan. Di umurku yang sedang mekar-mekarnya, aku yatim piatu. Bulik Mina terus menguatkanku. Berharap aku tidak sedih berlarut-larut, walau dalam kenyataannya, aku memang sudah belajar dari yang pertama bagaimana aku kehilangan ibu secara mendadak.

Selepas malam ketujuh itu, aku tidur sendiri di rumah joglo maha luas peninggalan bapak. Mbah Kletho tetiba datang ketika samar tubuhnya yang bungkuk berjalan dalam kepayahan dengan tongkat kayu sono keling di halaman menuju pendopo rumahku. Aku memapahnya, menggandeng tangannya, berusaha menaiki tiga undakan tangga secara perlahan. Lalu menyilakan duduk.

“Mau minum apa Mbah?”
Ora. Tidak usah Le. Cuma mau titip pesan.”
“Pesan?”
“Mungkin ini terlalu mengada-ada untukmu. Apalagi kamu orang berpendidikan. Barangkali terdengar aneh. Mbah hanya mau menyampaikan apa yang Mbah tahu. Ini juga demi kebaikanmu. Sebuah rahasia yang barangkali kamu tak tahu.”
“Tentang apa Mbah?” Aku makin bingung.

Baru saja mulut Mbah Kletho akan membuka lagi, Bulik Mina tetiba datang bersama suaminya. Ia khawatir dengan keadaanku. Sebenarnya ia mau saja menemaniku barang semalam dua malam. Namun, Ades sepupuku meriang. Ia tak bisa meninggalkanya sendirian. Dan sampai jam sebelas malam berdentang, Bulik Mina dan suaminya belum juga pulang. Mbah Kletho akhirnya pulang karena kasihan istrinya sendirian.

Jam dua belas kurang lima menit rumahku kembali sepi setelah mereka semua pulang. Aku melihat pendopo rumah yang begitu luas dengan nyala lampu di kanan kiri. Aku menggeleng, desa dan kota sangat kontras. Teringat jika jam dua belas malam masih main gim bersama teman hingga subuh tiba, lalu suara motor berseliweran di depan kamar kos dengan suara genjreng gitar yang kadang terdengar cempreng di sebelah kamar. Di desa, suara berisik itu diganti dengan denging gangsir, orkestra jangkrik, dan suara burung hantu yang syahdu.

Aku melangkah masuk ke kamar bapak. Kamar yang seminggu lalu telah dirapikan. Sejujurnya pun aku ingin menangis. Namun, untuk apa? Kepergian ini adalah kepastian yang digariskan Tuhan. Terus menangis juga tak akan membuat mereka kembali. Maka, yang kulakukan hanya mengambil sarungnya di lemari, menciumnya, lalu berjalan pelan menuju kamarku sendiri di pojok belakang dekat kamar mandi bersebelahan dengan dapur.

Kamar yang sering kutempati dua bulan sekali jika aku sempat pulang. Jika tugas kuliah sedang padat-padatnya, aku bisa empat bulan baru pulang ke rumah. Tetapi malam itu, tidurku adalah tidur teraneh yang pernah kurasakan. Suara-suara berisik terdengar di dapur. Benda-benda saling berbenturan.

Sebuah barang terdengar dibanting. Kaget, aku terbangun dan segera beranjak. Aku segera bangkit dari kamar dan melangkah ke dapur, berusaha melihat sekeliling. Namun, tak ada siapa-siapa. Hanya panci di dapur yang tiba-tiba telah tergeletak di tengah-tengah. Kupikir, itu ulah tikus yang menghabiskan sisa gurih di pinggirnya yang barangkali, ibu-ibu kemarin saat mencuci kurang bersih. Kuletakkan kembali panci tadi di bawah deretan piring yang rapi. Lalu kembali ke kamar. Tetapi, sejak kapan tikus bisa membanting barang?

Sebuah piring kembali dibanting. Bunyi prang terdengar nyaring membentur lantai. Kali ini, bulu halus tanganku mulai berdiri. Baru kali ini aku merasakan hal aneh begini. Kamarku yang bersebelahan dengan dapur membuatku takut untuk membuka pintu. Kutahan rasa penasaran dan marah. Aku sengaja mengintip di lubang kunci pintu. Di kejauhan, dalam keremangan karena hanya lampu kamar mandi yang menyala, betapa makhluk aneh terlihat di sana.

Ular besar dengan mata merah menyala. Sisiknya kuning keemasan dengan belang-belang hitam putih di perutnya. Dan bapak bersimpuh ketakutan tepat di depannya. Aku begidik. Kembali ke kasur lalu menyelimuti seluruh tubuh dalam gigil ketakutan. Bingung dengan pemandangan yang baru saja kulihat. Namun, mataku malah tetiba terbuka. Semua mimpi. Aku segera beranjak perlahan ke dapur. Semua rapi. Tak ada siapa-siapa.

Esoknya aku gegas menuju rumah Mbah Kletho. Ingin bertanya tentang mimpi aneh semalam. Sayang, rumahnya suwung, kosong. Istrinya pun sedang pergi ke hajatan di kampung sebelah. Namun, sekembalinya dari rumah Mbah Kletho, tanganku tetiba ditarik orang tak dikenal. Dibawanya aku, memaksa aku ikut dengannya. Mulut dan tubuhku seolah terkunci untuk mengikuti seluruh kemauannya. Lalu, tepat ketika di depan pohon besar, pohon Poh Agung tempat bersemayam siluman ular yang pernah diceritakan Mbah Kletho, orang itu menunjukkan sesuatu.

“Bapakmu telah melanggar perjanjian. Dia memang harus menanggung akibatnya.” Ia melilitkan akar pohon Poh Agung yang masih kerabat dekat dengan beringin laut itu ke lehernya. Lalu, kucuran darah mengalir di mulutnya. “Harus seperti ini bapakmu mati!”

Aku terbangun dengan sengal napas yang tidak tertahan. Membayangkan wajah bapak yang kesakitan sambil memegangi leher. Lagi-lagi, semua minpi. Aku terduduk cukup lama. Lalu rapalan doa-doa yang pernah diajarkan Ustaz Kamri mengambang di udara.

“Bapakmu ingkar janji Le.”

Mbah Kletho tetiba datang sendiri ke rumahku di sore hari. Beliau bilang baru pulang dari kampung sebelah. Urat wajahnya yang mulai kisut tak menyurutkan semangatnya untuk terus menyembuhkan orang-orang. Kata warga sekitar, semburan dari mulut kakekku ini manjur untuk menyembuhkan segala penyakit dan meriang. Sayangnya, ia tak bisa mencegah kemauan keponakannya yang salah langkah. Semuanya sudah telanjur. Perjanjian dengan ular Poh Agung telah dibuat.

“Sayang, bapakmu tak bisa melunasi janji itu. Kamu lelaki satu-satunya dalam trah Jumenggolo yang tersisa dan harus diasingkan. Itulah kenapa bapakmu selalu meminta tidur di kamarmu jika kamu pulang agar tidak kecolongan.”

“Bapak janji apa Mbah?”

Mbah Kletho menghela napas panjang. Seolah kejujuran ini terasa menyakitkan kudengar. Aku memaksa. Penasaran kenapa bapak dan ibu meninggal dalam waktu berdekatan dan dalam kondisi yang aneh. Maka, ketika perlahan mulut Mbah Kletho terbuka, makin percaya jika memang bapak telah membuat perjanjian dengan penunggu pohon Poh Agung di selatan desa, dengan ular siluman Poh Agung yang dipercaya masyarakat bisa mendatangkan banyak uang.

Dulu, di antara trah Jumenggolo, memang hanya bapak dan ibu yang hidup sengsara. Aku ingat betul kapan terakhir kali makan nasi dan garam, kadang hanya dengan kerupuk dan kecap. Beliau sering tidak dianggap jika sedang berkumpul bersama keluarga besarnya karena miskin. Usahanya selalu gagal. Hingga kemudian segalanya berbalik seratus delapan puluh derajat. Bapak tetiba bisa membeli lima mobil pikap sekaligus untuk usaha. Bapak bisa membeli sawah dan pekarangan ratusan hektar. Runutan peristiwa itu membuatku paham, menuju ke mana arah cerita Mbah Kletho bermuara.

“Ular Poh Agung bisa menjelma apa pun untuk menipu daya manusia. Terakhir, ia menjelma wanita cantik yang merayu bapakmu. Perjanjian telah dibuat. Bapakmu disumpah tak boleh lagi berdekatan dengan ibumu di kamar. Namun, beberapa orang tak akan bisa menahan nafsu jika laki dan perempuan bersama dalam satu ruangan.”

“Besok bersama penebang pohon dan Pak Ustaz Kamri, aku akan ke sana. Kita izin warga, Pak RT, dan Pak Kades.”
“Bukan begitu Le. Biar Mbah cari cara lain. Malam ini Mbah tidur di rumah ini.”

Maka, setelah kabut pekat malam jatuh di pelataran dan menelusup menuju kamarku, sehari sebelum pohon Poh Agung ditebang, seorang wanita cantik datang kepadaku. Dengan kemban jarit sedada dan sanggul cunduk mentul bunga melati di kepala. Harum wangi pandan menguar dari tubuhnya. Tetiba ada yang membara di dada. Dengus napasku mulai tak bernada. Aku tak kuasa menolak ketika tiba-tiba jemarinya merayap lembut di dadaku yang telanjang dada. Sedang untuk berteriak minta tolong pada Mbah Kletho yang tidur di sebelahku aku tak mampu, ketika tiba-tiba perempuan itu menindihku dan menggigit leherku dengan mesra.

Pagi hari, bendera kuning berkibar di depan rumah. Masih terbayang di kepala Mbah Kletho bagaimana jiwanya semalam jumpalitan di pendopo dan memohon keringanan, sebagai wujud pengganti janji. Namun, ular Poh Agung tak akan pernah terima. Hingga orang-orang ramai berdatangan, ia masih sesenggukan di kamar melihat tubuh yang terbujur kaku di atas ranjang.

Dody Widianto,
Lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.

Sastra Terkini