Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai ‘Motif di Dalam Sastra’

Esai ‘Motif di Dalam Sastra’

BENARKAH sastra harus dipisahkan dari kebencian? Pertanyaan klise ini memang layak dibeber. Kebencian, sebenarnya adalah satu paket yang tak bisa dipisah, lantaran merupakan sisi sebelah dari sumber penciptanya sendiri. Cinta kasih bisa disebut kasih jika ada yang disebut benci. Memang, tak semua karya sastra murni berangkat dari kebencian. Tetapi, kebencian adalah alat penggerak agar cerita sang tokoh yang dimainkan menemui tegangan dan kemudian mendaki klimaks.

Hampir sepanjang jalan sejarahnya, sastra bahkan tak bisa dipisahkan dari kebencian-kebencian yang menelikung penulisnya. Kebencian akan ketidakadilan, kecurangan, penindasan, dan kebencian akan kejahatan-kejahatan lainnya—tentu saja dari kacamata penulis. Kebencian itu mengisi ceruk kegelisahan, menjadi daya dorong untuk mengungkapkannya dalam sebuah karya.

Bahkan, sastra tradisional pun jika ditelisik muatannya banyak yang mengajari kebencian terhadap perbuatan-perbuatan, atau ideologi yang tak sesuai dengan adat dan nilai-nilai yang diyakini masyarakat setempat. Sebut saja kisah-kisah dalam mitos Yunani kuno, atau dongeng-dongeng tanah air yang coraknya hitam putih. Tokoh-tokohnya digambarkan hitam putih agar mudah dibedakan mana antagonis dan mana protagonis. Pembaca kemudian “diajari” untuk membenci dan meyakini bahwa si antagonis layak mati, menemui akhir cerita tragis, atau minimal terkena hukuman.

Kita mengenalnya sebagai karma. Penjelasan layak tentang mengapa dia melakukan kesalahan, atau faktor-faktor penyebab hancurnya mental kurang mendapatkan ruang, sehingga  dia hanya sekadar wayang yang dimanfaatkan pengarang untuk menggerakkan dan menggenapi cerita.

Berjalan ke masa yang lebih dekat, akan kita temui juga karya-karya sastra yang menyembunyikan kebencian penulisnya. Sebut saja Uncle Tom’s Cabin yang membungkus kebencian Harriet Beecher Stowe yang penganut ajaran abolisionis, atas lakon perbudakan di AS bagian Selatan. Abraham Lincoln memuji karya rekaan tersebut lantaran menjadi pangkal Perang Saudara Amerika dan membuka pintu ke arah zaman baru.

Meski apokrif, tetapi sentimen kuat penulisnya yang menggambarkan buruknya perbudakan atas ras kulit hitam, membuat pembacanya menaruh simpati hingga kemudian menyambutnya penuh emosi. Apokrif atau realis, hanyalah persoalan gaya yang membuat penulisnya nyaman mengeluarkan kemarahan, kegelisahan, kebencian, dan suara-suara yang memenuhi kepala. Orang yang senang akan bernyanyi, sementara orang yang marah akan berteriak. Lantang tidaknya teriakan itu bergantung pada faktor kedalaman tema, gaya yang tepat, masa yang tepat, serta kondisi sosial politik yang mendukung.

Sebagai contoh tentang gaya, saya ambilkan dua model puisi untuk perbandingan; “Penjahat Berdasi” karya  Joko Pinurbo, dengan “Peringatan” karya Wiji Thukul. Meski yang satu memakai gaya pasemon yang memanfaatkan simbol, sementara yang satunya realis murni dan blak-blakan, keduanya memiliki ruh yang sama dalam menembak kelakuan jahat penguasa. Gaya, hanyalah persoalan kecondongan pribadi dalam berkarya, sementara tema yang dibidik adalah persoalan umum yang menjadi bahan bidik bersama. Dan selamanya, korupsi, kecurangan, kerusakan lingkungan, pembunuhan, iri, dan keburukan-keburukan lainnya adalah sasaran bersama karya sastra.

Atau yang terbaru, Minor Detail yang menyebabkan Adania Shibli gagal menerima penghargaan LiBeraturpreis lantaran sentimen kuatnya atas kekejaman Israel. Keberpihakan Panitia Farnkfurt Book Fair atas sentimen yang dikandung novel tersebut menandakan bahwa kebencian itu nyata adanya dalam sastra—lepas dari apakah tindakan mereka itu benar atau salah. Antara kelompok yang mendukung Shibli dengan pendukung Panitia FBF tentu memiliki kebenaran versi sendiri-sendiri, betapa pun kita ngotot bahwa Shibli telah diperlakukan tidak adil.

Power dalam hal modal dan pasar perbukuan menjadikan mereka merasa punya kuasa untuk menahan kebencian Shibli. Dan itu semua, hanyalah semata simbol yang bahkan andai penulis memendam kebencian terhadap tetangganya pun bisa menjadi daya dorong kekaryaan.

Sekarang mari kita bayangkan andai Uncle Tom’s Cabin atau Minor Detail tak mau memuat sentimen-sentimen buruk yang memenuhi kepala penulisnya. Mungkin HB. Jassin juga takkan pernah bilang bahwa karya berkualitas harus mengusung tema yang menimbulkan pertikaian pendapat. Sebab pembaca kemudian diajak kreatif, berpikir, merasa (tersindir), ragu-ragu, penuh harapan, kecewa, hingga kemudian mengemukakan bantahan, serta mengajukan kesimpulan tersendiri.

Karya yang sekadar mengisahkan kejadian-kejadian dan gagasan-gagasan yang biasa, dan semua orang sudah tahu, tak akan pernah bisa memicu daya kritis. Apalagi karya tanpa konflik, yang jelas gagal secara penyusunan plot. Plot adalah jantung cerita. Yang patut disadari, justru dari konflik antarkepentingan itulah kita bisa mendapatkan aneka pelajaran. Dari kebencian yang diramu pengarang dalam karya sastra, kita kemudian bisa bercermin untuk melihat bayang wajah sendiri. Dan inilah yang jadi sebab mengapa orang lain bisa terganggu, tersengat, atau marah setelah menamatkan sebuah karya sastra.

Lantas, mengapa dalam lomba sastra sering kita jumpai pasal yang melarang pengiriman karya yang berbau kebencian khususnya terhadap SARA?

Beberapa media juga kita ketahui bersama amat menghindari karya semacam itu. Di samping persoalan SARA adalah hal sensitif, kita bisa menafsir bahwa apa yang dituju oleh pasal itu adalah karya yang hanya memuat kebencian-kebencian yang berupa fitnah. Penulis tak mampu menghadirkan akar permasalahan komprehensif dan imbang perihal persoalan yang mengganggu rasa keadilannya. Sastra adalah tempat mengaji kasih sayang dari kebencian. Begitu.

Adi Zam-Zam,
Nama pena dari Nur Hadi, lahir di Jepara pada 1982. Aktif menulis puisi, prosa, cerpen  novel dan karya lainnya. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa sejak tahun 2002.

Sejumlah buku yang diterbitkan: Kumpulan Cerpen Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya  (2016), Novel Remaja ‘Persembahan Teruntuk Bapak (2017), Novel MELIHAT (2017), Kumpulan Cerpen ‘Menunggu Musim Kupu-kupu (2018), Kumpulan Cerpen ‘Hanya Firman Tuhan  (2021), Kumpulan Puisi Rumah Cinta (2022), Novel MLANGUN (2023).

Sastra Terkini