Esai ‘Sastra, Politik dan Keberpihakan’
ACAPKALI sastra dipandang sebagai sesuatu yang ruwet, tak jelas tujuannya, unfaedah. Tak jarang pula orang mempertanyakan posisi dan peran sastra di hadapan sebuah problem yang krusial. Seolah-olah sastra adalah entitas moralis yang berkewajiban untuk turut bertanggungjawab atas terjadinya suatu perkara, dengan memberi solusi atau menyelesaikan langsung perkara itu.
Pandangan tersebut tak lebih dari sinisme belaka, untuk tidak mengasumsikannya sebagai ekspresi kedengkian. Ini salah satu bukti bahwa sastra belum mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat. Padahal, sebagai cabang kesenian, secara umum ia punya fungsi yang sama dengan musik, lukisan, tari, teater, dan bidang seni lainnya: merangsang pancaindra. Lebih daripada itu, sastra juga dapat merangsang pemikiran dan perasaan penikmatnya, yang kemudian penikmat itu bisa tergerak untuk mengaplikasikan hasil pengolahan batinnya dalam bentuk sikap, perbuatan, ucapan, hingga prinsip hidup.
Dengan caranya sendiri, sastra merekam hiruk-pikuk kehidupan, merespons berbagai macam peristiwa, dan menjadi penanda perguliran zaman. Ia memang bisa dijadikan sarana untuk mewakili beragam gejolak jiwa penulisnya, disetir dan diarahkan ke mana pun sesuai orientasi si penulis, tetapi kita tidak bisa meminta lebih dan berharap banyak. Kalaupun ia mampu mengabulkan ekspektasi tertinggi kita, sungguh itu merupakan ma’unah kepengarangan.
Pablo Picasso (1881-1973) menyatakan bahwa seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran. Lalu, bagaimana mungkin kita menuntut tanggungjawab besar kepada sesuatu yang fiktif? Namun, seni—dalam hal ini sastra—tidak pernah menyajikan ruang hampa. Sefiktif-fiktifnya sebuah karya sastra, pastilah ia mengandung kebenaran, sekecil apa pun wujud kebenaran itu. Sebab, pada dasarnya, sastra selalu bertumpu pada pengalaman pribadi seorang pengarang, pengetahuan yang dimiliki, serta peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Budi Darma menyebutnya mimesis realita.
Lantas seberapa pentingkah sastra di hadapan suatu persoalan, dan bagaimana ia menanggapinya? Hemat saya, jawabannya tergantung pada seberapa luas kita memandang sastra, dan seberapa dalam kita menganalisis atau memaknai sebuah karya sastra yang merefleksikan persoalan itu. Tapi yang perlu diingat, sastra tidak punya kewajiban untuk selalu aktif menanggapi persoalan yang ada, yang silih-berganti. Ia tidak terikat perjanjian atau aturan apa pun.
Sastra di Tengah Keriuhan Politik
Setahun terakhir, bangsa kita digaduhkan oleh perbincangan dan pemberitaan tentang politik praktis. Mudah sekali kita temukan orang-orang berbusa-busa membicarakan isu politik di banyak tempat, baik di alam nyata maupun di jagat maya. Media juga begitu gencar menyiarkan hal yang sama dengan bermacam pernak-perniknya, yang kemudian dibanjiri perdebatan tak sehat antar kubu. Kehebohan, ketegangan, kemuraman, adalah situasi yang timbul dari pergolakan dunia politik kita sehari-hari.
Melihat situasi tersebut, sastra rupanya tidak mau tinggal diam. Mungkin sudah seharusnya ia angkat bicara lantaran menangkap adanya ketidakberesan yang sangat genting. Ia akan menjalankan ‘wasiat’ John F. Kennedy (1917-1963) dalam pidato inaugurasinya sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-35: Jika politik kotor, puisi membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra meluruskannya.
Dalam pembacaan saya, beberapa bulan belakangan, setidaknya ada tiga cerpen mutakhir terbit di media, mengungkapkan keresahannya terkait kebisingan politik yang mendera. Pertama, cerpen Tu(h)an yang Pantas untuk Paman Coki karya Linggar Rimbawati. Kedua, cerpen Tukang Sulih Suara dan Presiden yang Kehilangan Suaranya karya Hasan Aspahani. Ketiga, cerpen Baliho karya Gde Aryantha Soethama.
Cerpen Tu(h)an yang Pantas untuk Paman Coki sebenarnya tidak mengangkat tema politik. Ia mengisahkan kehidupan tokoh Paman Coki yang digambarkan sebagai seorang filsuf. Selain tidak beragama, tidak mau menikah, dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas, Paman Coki kerap mengkritisi bahkan tak segan mengumpati kebijakan-kebijakan Pak Lurah.
Di sinilah penulis cerpen menyenggol politik yang timpang dengan penceritaan yang lugas: ...Pak Lurah membuat peraturan konyol yang meloloskan anaknya untuk maju pada pemilihan kepala desa mendatang.// Ketua Dewan Adat yang masih sepupu jauh Pak Lurah membuat aturan baru yang membolehkan calon kepala desa berusia kurang dari 21 tahun asal sudah menikah. “Anggap saja pengalaman memimpin rumah tangga itu jadi bekal untuk memimpin desa,” katanya.
Meski hanya disinggung dalam beberapa paragraf, keculasan politik dalam cerpen itu terasa begitu kental dan kentara. Sebagaimana yang tampak di dunia nyata, seperti biasa, cara apa pun akan ditempuh oleh seorang politisi demi mencapai orgasme kekuasaan, kendatipun harus merudapaksa undang-undang.
Sementara dalam cerpen Tukang Sulih Suara dan Presiden yang Kehilangan Suaranya, bercerita tentang seorang yang pandai menirukan suara orang lain. Tokoh utama ini bernama Yaumil. Melalui seleksi yang sifatnya rahasia, ia terpilih sebagai pengisi suara Presiden dalam pidato-pidato resmi. Ia bahkan semakin sering mengisi suara Presiden saat jumpa pers dan rapat kabinet setelah Presiden kehilangan suaranya menjelang pilpres.
Elektabilitas Presiden terancam. Rahasia negara pun terancam karena Yaumil banyak mengetahui keputusan penting. Termasuk bagaimana memenangkan pemilihan presiden dengan cara-cara yang lancung. Akhirnya, Presiden melakukan operasi penukaran suara dengan Yaumil, usai membuat dokumen persetujuan dengan uang ‘ganti rugi’ yang amat besar jumlahnya. Penutup cerita yang dilukiskan secara metaforis itu, menunjukkan betapa tidak ada yang mustahil bagi penguasa. Dengan uang, ia dapat membungkam kebenaran dan mengatasi apa saja yang menghalangi hasrat otoritasnya.
Beda lagi dengan cerpen Baliho. Sejak paragraf pembuka, subjek yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini mengungkapkan rasa muaknya akan ribuan baliho yang mengepung kota kecil di mana ia tinggal. Tak kalah terusiknya ia ketika melihat potret sosok pendeta yang sangat berpengaruh dan dimuliakan di kota itu, terpampang di baliho salah satu parpol. Baginya politik itu culas, tak bisa dipegang. Apalagi yang mencampur-adukkan politik dengan agama, memperalat tradisi dan nilai leluhur.
Namun, lelaki yang anti-politik itu ujung-ujungnya terjerat juga dalam simpul politik yang pelik, gara-gara merusak baliho-baliho seorang caleg yang mukanya mirip sekali dengan dirinya. Hal ini membuat istri dari lelaki itu sangat murung dan cemas. Si istri paham, politik tak pernah enteng dan sederhana, selalu bergolak cekcok, riuh dan gaduh.
Dari ketiga cerpen di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sastra akan selalu berpihak kepada kebenaran sebagai bagian dari asas seni, yakni keindahan. Sedangkan politik yang sarat kepentingan personal akan senantiasa berkiblat pada kekuasaan. Andaipun masih ada yang bersikeras bertanya, apakah sastra bakal berhasil mengubah keadaan yang buruk? Saya kira afirmasi Seno Gumira Ajidarma ini bisa dijadikan jawaban, “Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri.”
Kendati demikian, tulis Jatmika Nurhadi, peran sastra dalam konteks politik dan sosial tidak selalu positif. Sastra juga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik atau sosial tertentu untuk mempengaruhi opini publik dan menciptakan propaganda. Oleh karena itu, penting untuk selalu membaca karya sastra secara kritis dan mempertanyakan pesan yang terkandung di dalamnya.
Daviatul Umam,
Lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Menulis puisi dan prosa. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah ini kini bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagramnya: @daviatul.umam.