Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai Sastra ‘Di dalam Sebuah Sajak’

Esai Sastra ‘Di dalam Sebuah Sajak’

DALAM sajak-sajak Sapardi Djoko Damono saya seperti dihadapkan dengan sebuah naratif panjang. Meski, tidak pada semua sajak. Setiap sajak, rata-rata terdiri dari beberapa bagian (part), yang antara satu dengan lain bertautan. Saling mengabarkan dan menegaskan sudut penginderaan yang coba dideskripsikan oleh Sapardi.

Ini merupakan perombakan total yang dilakukan, menilik sajak-sajak yang pernah ditulisnya pada periode awal kepenyairan. Sajak-sajak terdahulu Sapardi lebih ringkas dan pendek. Napasnya seperti sudah berhenti, begitu saja. Simak saja dalam ‘Sajak Desember’—perenungan yang dibangun dari larik-lariknya begitu dalam. Terasa denyut dan kesegarannya, percakapannya dengan Tuhan, menimbulkan efek religius tersendiri—meski tidak sesufistik sajak-sajak Abdul Hadi W.M. Sajak ini ditulis pada periode kepenyairannya yang masih muda:

SAJAK DESEMBER

kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur:
lewat tengah malam. Kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu

Native 1 Banner

mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring
di kursi, letih sekali

masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu: taram-
temaram bayang bialala itu

1961

Sajak tersebut termuat dalam kumpulan puisi Mata Jendela, di usianya ke-21, Sapardi telah merenung begitu sufi, menerjemahkan kemiskinan dirinya terhadap Tuhan. Begitu tanggalan dan peristiwa dunia berguguran, dengan hitungan tahun, pada akhir bulan. Mendadak ia merasa harus menghitung kembali dosa-dosanya. Hingga ia merasa begitu letih untuk membayarnya (mungkinkah akan terbayar?).

Sebagai perbandingan dengan sajak-sajak lainnya, yang lebih tepat mencela berita—sesuai dengan tajuknya “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”. Sapardi lebih menekankan kekayaan pengalamannya,  memandang kehidupan yang serba absurd, mencoba pelan-pelan menghayati setiap kejadian yang masih tertangkap.

Sajak ini dibuka dengan perkataan:Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Siapa yang bertanya? Ada kursi goyang dan koran pagi, di samping kopi. Huruf, seperti biasanya, bertebaran di halaman-halaman di bawah matamu, kaukumpulkan dengan sabar, kausulap jadi berita. Dingin pagi memungut berita demi berita, menyebarkannya di ruang duduk rumahmu dan meluap sampai jalan raya…

Ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun. Menggugah sebuah kesadaran diri. Semacam partikel yang terus mengapung, perpaduan antara keputusasaan dan kegairahan seseorang dalam mewarnai sebuah kehidupan. Dunia yang hiruk-pikuk, memang selalu mendedahkan ruang tersendiri, menepikan kita, dan memaksa kita kerap terperosok ke dalamnya. Sebuah ruangan tertutup, yang dipenuhi dimensi-dimensi, memaksa untuk mengetuk—berharap ada tangan yang membukanya.

Pun, kita telah lama tahu, betapa setiap hari kita disuguhi berita-berita, dari yang penting ataupun tidak. Bahkan, ketika kali membuka mata, andaikata kita tak membaca koran atau informasi di gawai, mendengarkan berita di radio, atau menonton televisi. Sebuah berita bisa saja melayang dengan tiba-tiba. Bagai sebuah daun yang luruh tiba-tiba, jatuh ke tanah. Bahkan, sebuah berita dapat dengan segera menyeret kita, dari hal yang remeh-temeh, semacam bisik-bisik orang di sekitar: bukankah itu layak digolongkan sebagai berita?

Berita-berita itulah, yang terasa mengganggu dalam sajak-sajak Sapardi, terutama dalam sajaknya “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”. Meski, bila ditafsirkan ke segala aspek, bisa saja—sajak tersebut memang untuk dirinya sendiri, di saat memasuki usia senja, senantiasa bergelut dengan kata-kata. Simak dalam kata-katanya:Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Kau masih bergoyang di kursimu antara tidur dan jaga, antara cerita yang menyusuri lorong-lorong otakmu dan berita yang kaukumpulkan dari huruf-huruf yang berserakan itu.

Atau juga: sebuah penafsiran lain. Bisa saja, Sapardi—sedang menganalogikan kehidupan mantan presiden kedua kita, H. Muhammad Soeharto, tidak dengan mencerca, pasca runtuhnya rezim Orba—melainkan dengan memaparkannya secara perlahan—tentang keseharian Soeharto.

Soeharto, di usia senjanya, sebagai pelambang seorang yang mandeg pandhito, setelah turun tahta—lebih menyepikan diri. Sebab, ketika saya mencoba mengganti kata Den Sastro=Soeharto. Keadaan itu terasa pas. Simak dalam bagian ke-9 sajaknya: tiba-tiba suara ribut dibenakmu. Sejumlah orang memestakan hari pensiunmu, mengucapkan selamat kepadamu. Minuman, makanan, nyanyian—seolah-olah selesailah sudah tugasmu. Seolah-olah sekarang inilah saatnya kaupadamkan inderamu…

Sebagaimana juga dalam satu sajak yang ditulis Sapardi—terdiri dari  24 bagian, “Surah Penghujan (Ayat 1-24), termasuk “Ada Berita Apa, Den Sastro?” (9 bagian). Dalam sajak “Tiga Percakapan Telepon”, lebih mengena pada suasana berita yang wajar dan mungkin sekali terjadi di sekitar kita. Terdiri dari percakapan dua orang, antara kehilangan kekasih, orang yang pernah dekat, atau juga orang disayangi. Keadaan sosial-politik pun tak luput digambarkan. Lihat dalam “Percakapan Telepon /1/”:

“Jadi kau tak akan kembali? Kenapa tidak dulu-dulu bilang bahwa kau…”
“Aku capek.”
“akan meninggalkanku, karena aku tak mampu memberimu…”
“Aku bosan.”
“anak. Jadi kau tak akan kembali? Rumah kita akan menjelma…”
“Aku kecewa.”
“kuburan. Kau akan kutanam di sudut selatan pekarangan…”
“Aku benci.”
“di tempat kita biasanya menguburkan tikus yang tak habis…”
“Aku…”
“dimakan kucing kesayanganmu.”

Sebuah percakapan dua orang (mantan) kekasih. Suasana ego antara satu lainnya yang terus berkelanjutan. Tanpa hirauan sama sekali. Yang satu asik mempercakapkan satu bidang, yang lain juga. Sebuah komunikasi yang buntu, meski pada akhirnya menyambung. Komunikasi yang hanya dilakukan searah saja—Sapardi lebih mengangkat efek psikologis, dari dua orang yang berbicara—meski satu lainnya saling mengabaikan.

Berita yang berserak seakan dikumpulkan kembali oleh Sapardi. Dimamah-biak, dikunci kemudian dijabarkan kembali dan memerasnya menjadi diksi-diksi yang lembut dan tenang. Tak tergambar makian yang bernada pukimak, namun lebih dekat pada penjabaran yang wajar. Lihat sajaknya dalam Percakapan Telepon /3/

“Ya, lantas?”
“Ya dibawa polisi. Itu lho, waktu ada bakar-bakaran.”
“Oke, lantas?”
“Kau tahu, Amin kerja di restoran yang dibakar orang kampung; ia membawa pulang beberapa panci.”
“Lantas?’
“Ya itu, ia dijemput polisi. Katanya ikut njarah.”
“Lantas, kenapa nelpon?”

“Ya itu adiknya bunting. Tidak mau ngaku siapa. Kepala sekolah bilang, Bubut, gadis hamil tidak pantas mengikuti pelajaran. Maaf, anak Ibu pindah sekolah saja—kalau ada yang mau menerima.” Begitu katanya. Ya, Wati sekarang di rumah, tak sekolah.”
“Tapi, untuk apa kau nelpon?”
“Ya itu, suamiku kena phk. Taukenya lari menyelamatkan diri. Katanya, Di sini kagak aman, usaha di tempat lain saja.”

“Memangnya kenapa?”
“Ya bagaimana? Apa yang harus ku-&^#(0&8%)?”
“Apa?”
“&^*%2-5=!”
“Halo! Narti! Halo! Apa yang bisa kukerjakan untuk menolongmu?”
“&*^%$*&*klk!”
“Halo! Halo! Jangan!”

Ihwal Sajak

Fungsi sajak memang hanya sekadar alat, bisa saja berupa media. Dan alat untuk membentuk sajak ialah: kata-kata. Walau, alat itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para seniman lainnya.  Seperti para pelukis, dengan cat airnya untuk membentuk lukisan, namun sajak berbeda. Sajak cenderung lebih abstrak, seklumit penat kehidupan dengan pernak-perniknya akan menjelma medan tafsir tersendiri.

Sajak yang baik, tentunya dapat memberi “pencerahan” tersendiri bagi pembacanya. Meski, terlepas dari itu, sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmadun Yossi Herfanda, hal itu tergantung dari kekayaan intelektual para pembacanya sendiri. Semakin  kaya para pembaca, maka akan semakin luas dan terbuka untuk menerjemahkan hakikat yang tergantung dari sebuah sajak.

Kematian sajak yang ditulis akhir-akhir ini, antara lain disebabkan—tidak bisanya seorang penyair memilah antara berita dan imajinasi. Meminjam bahasa Sutardji Calzoum Bachri, lingkup persoalan yang terjadi di sekitar kita sebenarnya sudah melampau batas imajinasi, sehingga sudah tidak bisa terperikan. Namun, oleh Sapardi, posisi antara berita dan imajinasi dipisahkan dengan lembut, sehingga dapat ditemukan kejernihan dari kata-kata itu sendiri.

Pada mulanya adalah kata, tulis Sutardji Calzoum Bachri, suatu ketika. Kemudian aura kata-kata itu bersusun dengan sistematis, melengkapi setiap ruang kosong. Memadat. Mencairkan semua suara-suara yang tak pernah selesai ditangkap oleh relung telinga. Setiap tabir.

Seorang penyair, barangkali dapat diibaratkan sebagai pemancing yang selalu membawa umpan agar kata-kata tertangkap kailnya. Ia, mungkin hanya menunggu, menjelajah, tidur-tiduran, kemudian berharap segera umpannya kena oleh sambaran yang ingin menyantapnya. Maka kata-kata yang terdapat dalam sajak, memang merupakan bauran warna, sepotong riwayat, kata-kata yang asing, kalimat yang tak pernah selesai—untuk segera dibuka tafsirnya.

Di hadapan pembaca, sajak menjadi kalimat yang dirangkaikan kembali, dibaca perlahan-lahan, satu per satu. Diksi demi diksi coba dicerna kembali, menghamburkan—atau sekadar menghubungkan jejak-jejak yang pernah terekam oleh sejarah sebelumnya.

Pun sajak selalu memiliki bentuknya sendiri. Tergantung pada individu yang menulisnya, tidak lagi membawa komunitas yang digelutinya. Sajak telah membuka medan yang baru, memaknai kejadian-kejadian yang baru. Seluruh sejarah yang terangkum, barangkali hanya sekadar penjelasan-penjelasan semu. Jika memang sajak tetap ditulis, maka memang itu kewajibannya.

Sajak  bertindak sebagai the other voice—meminjam ucapan Oktavio Paz. Si penyair sebagai pengolah kata, tentu tidak mengerti mengapa sajak yang ditulis dapat berubah jadi seperti itu. Sebagai sebentuk aura suara, yang bisa menyuarakan keinginan-keinginan di masa mendatang.

Seseorang duduk termenung, mencari sesuatu. Mencari dirinya, di antara bayangan-bayangan yang selalu menyergap dirinya, bisa saja menipu sajak. Bisa saja menuliskan imaji-imaji yang dipenuhi dengan ‘kebohongan’. Tetapi setidaknya, seseorang tersebut—telah membacanya, melihatnya, mendengarkannya, sehingga memulai untuk menuliskannya.

Pengertian ini—dirujuk pula oleh Goenawan Mohammad, “jika sesungguhnya penyair adalah seseorang yang bersedia dan memasrahkan dirinya menjadi orang yang tak memiliki batas. Menjadi orang tanpa warga negara,” keidentikan sajak akan membulat, hingga kerap dihubungkan pada—prinsip yang dipegang teguh H.B. Jassin, sebagai humanisme universal.

Prinsip kemanusiaan secara menyeluruh yang mungkin telah lama menghilang dari kehidupan manusia. Membuat begitu mudah kekerasan diciptakan, yang kerap membuat kita trauma, mengelus dada. Atau bisa pula, berpura-pura tak sedih, sembari melenggang ke mall-mall, tertawa dalam pesta sekeras-kerasnya—melupakan apabila di belahan dunia lain telah terjadi suatu tragedi kemanusiaan, yang menyebabkan hilangnya nyawa, darah tumpah, pembunuhan massal. Atau juga jerit kemiskinan ketika kita keluar dari pusat perbelanjaan di sebuah daerah, dengan para gelandangan yang bertubuh dekil, dengan kuku-kuku kehitaman—yang menyodorkan mangkuk plastik, dengan mata yang penuh harap meminta sekeping uang logam.

Bisakah sajak menerjang batas-batas semacam itu? Dapatkan sajak menjadi cermin realitas, atau apa hanya sekadar menelingkup sebatas sakit hati, frustasi, pencarian yang tak kunjung habis—yang membuat sajak menjadi sekadar metafora. Semacam kulit manusia yang busuk di perempatan jalan, di sebuah pusat perbelanjaan?

Dengan rendahnya tingkat baca-tulis, yang membuat masyarakat lebih suka menghamburkan waktunya dengan tertawa keras-keras, menonton film-film asing, menonton sinetron. Pembaca sastra kita, saya pikir, tak pernah menampakkan dirinya secara utuh. Pembaca kita hanya segelintir orang, yang mungkin jumlahnya terus menurun sepanjang tahun. Padahal, jumlah karya sastra tetap saja ditulis.

Sajak masih juga ditulis. Ini yang membuat saya takjub; di tengah realitas semacam ini ternyata masih banyak orang yang menulis sajak. Bagaimana tidak? Seorang yang memulai untuk mencoba-coba menulis, kebanyakan memulainya dari sajak. Sebagaimana ketika pertama kali menuliskan suatu ihwal dalam diary-nya.

Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Seorang teman pernah berujar, wajar—jika sajak merupakan salah satu karya sastra yang paling banyak ditulis. Dengan kata lain, wilayah kreatif penciptaan sajak selalu mengalami reproduksi kata, di mana semua parodi, keseriusan, intrik, intip-mengintip, pengaruh dari sajak-sajak lain, kekesalan—segala yang bermuara pada perasaan, senantiasa mudah diungkapkan dalam kata-kata sajak.

Bahkan, sajak  yang hanya kesamaan bunyi, hanya berupa pertautan iklim, atau kegilaan dalam melakukan penjelajahan kata-kata, sudah sedemikian banyak ditemukan. Tetapi, seperti apakah sajak yang baik? Benarkah sajak hanya sekadar ucapan igau seseorang bagi para penulis sajak untuk menjadi penyair?

Ini pertanyaan yang tidak mudah, kata-kata terkadang memang begitu terasa sombong, untuk secepat mungkin dicatatkan. Atau setidaknya, direkam dalam ingatan. Tetapi, seberapa panjang ingatan manusia? Adakah sebuah ingatan akan (dapat) pula bercakap sesuatu dengan utuh perihal apa yang diingini oleh penyair.

Dunia sajak kita, bangunannya—mungkin sudah tidak begitu rekat. Terlampau banyak penghamburan kata, seperti yang kerap terjadi pada sebuah berita. Yang justru menyebabkan, ketika sajak selesai ditulis, maka dengan sekejap dibuang kembali. Semacam tissue, yang tak lagi meninggalkan kesan dalam hati.

Begitu banyak sajak yang lahir, namun tetap saja ketika hari-hari berganti dan kita menyaksikan realitas baru yang didapati dari realitas keseharian, membuat kita lebih takjub pada realitas. Sajak terus saja datang, menghimpit di lembar-lembar budaya, terus saja direproduksi melalui citraan-citraan yang pernah hadir sebelumnya. Kerap berulang.

Alexander Robert Nainggolan,
Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online.

Bukunya yang telah terbit:
- Kumpulan Cerpen ‘Rumah Malam di Mata Ibu’ (2012),
- Kumpulan Puisi ‘Sajak yang Tak Selesai’(2012),
- Kumpulan Cerpen ‘Kitab Kemungkinan’ (2012),
- Kumpulan Puisi ‘Silsilah Kata’ (2016),
- Kumpulan Puisi ‘Dua Pekan Kesunyian’ (2023).

Sastra Terkini