Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai ‘Sastra: Buku dan Kucing’

Esai ‘Sastra: Buku dan Kucing’

BUKU menentukan nasib kekuasaan dan peradaban. Kita membaca cuilan pesan dalam novel berjudul Sultan Shalahuddin (2021) gubahan Tariq Ali. Kita membaca masalah dinasti-dinasti masa lalu memerlukan perpustakaan. Para penguasa pun memerintah penulisan sejarah dan kisah demi kehormatan diharapkan teringat sepanjang masa. Di perang-perang, para prajurit tak sekadar mengurusi harta rampasan. Penguasa meminta mereka berurusan dengan ribuan koleksi buku atau naskah di perpustakaan-perpustakaan saat meraih kemenangan.

Buku terlalu penting dalam menguak dunia. Pada masa berbeda, buku-buku menghidupkan kota di Amerika Serikat. Kita tak lagi mengingat perang atau pembakaran perpustakaan. Buku atau perpustakaan tak melulu mengenalkan tokoh-tokoh besar: penguasa, penulis, atau pengusaha. Di buku berjudul Dewey (2008) susunan Vicki Myron dan Bret Witter, pembaca diajak menghormati perpustakaan dan perkembangan kota (Iowa) melalui peran kucing. Ia dalam derita dan diselamatkan para pustakawan. Kucing itu pulih, mendapatkan izin menghuni perpustakaan bersama ribuan buku.

Kucing dinamakan Dewey itu membahagiakan para pustakawan. Gairah bekerja makin meningkat. Para pengunjung memangku dan membelai kucing saat mereka membaca atau membuat acara di perpustakaan. Kita dijauhkan dari masalah sultan dan perpustakaan atau perang dan perpustakaan. Pada abad XX, perpustakaan di kota bertokoh utama kucing. Makhluk itu tak membaca buku. Ia tak menulis buku. Ia sekadar hadir di perpustakaan memberi girang dan pengharapan bagi orang-orang masih mengalami hidup bersama buku-buku.

Kucing itu diceritakan turut dalam mengiringi nasib perpustakaan menjelang dominasi digital. Kucing menjadi saksi perkembangan kota. Ia turut dalam biografi para pengelola perpustakaan dan publik masih menikmati buku-buku cetak. Kucing itu bukan sambungan dari cerita para sultan atau penguasa menentukan nasib perpustakaan-perpustakaan, sejak ratusan tahun lalu. Kucing mengingatkan buku dan dunia lekas berubah.

Pada abad XXI, kucing masih tokoh penting dalam pengisahan buku. Kucing itu terdapat dalam novel berjudul Kucing Penyelamat Buku (2023) gubahan Sosuke Natsukawa. Novel bercerita buku di Jepang. Kita menuju negara kondang dengan keranjingan membaca buku tapi melaju kencang dalam teknologi. Pada suatu masa, Jepang itu negara bergelimang buku. Masa-masa gemilang dipengaruhi buku. Pada abad XXI, Jepang menanggungkan masalah buku. Ikhtiar melakukan pemulihan dan meraih keselamatan dituntun keberanian kucing.

Remaja bernama Rintaro Natsuki berduka akibat kematian kakek. Ia diwarisi toko buku bekas. Di rumah, ia tinggal sendirian. Rintaro bermasalah dengan sekolah. Ia masih bingung dalam menentukan nasib toko bekas: dilanjutkan atau ditutup. Duka dan duka dijawab dengan keajaiban dan petualangan seru. Datang kucing bernama Tiger mengajak Rintaro dalam misi-misi pemuliaan buku setelah orang-orang meremehkan, mengabaikan, dan menghancurkan. Jepang sedang bermasalah dengan buku. Rintaro dan kucing menunaikan misi besar agar Jepang tetap “negara-buku”.

Novel itu mengandung kritik dan protes, tak sekadar berlaku di Jepang. Rintaro dan kucing melakukan pembebasan buku-buku “dipenjarakan” oleh orang-orang mengaku kolektor atau pemulia buku. Mereka melawan industri sinopsis atau ringkasan buku gara-gara zaman bergerak cepat. Para pembaca menikmati petualangan menantang Rintaro dan Tiger tapi disuguhi pesan-pesan perbukuan mutakhir. Di situ, kita membaca keberadaan buku-buku sastra dunia, membuktikan (orang-orang) Jepang dalam pergaulan besar meski sastra mereka terbukti moncer pada abad XX melalui pengarang-pengarang meraih Nobel Sastra.

Kritik keras atas godaan-godaan industrial dalam kemampuan membaca buku. Protes atas nafsu penerbit-penerbit cuma mau mengeruk laba dari buku-buku laris. Nasib buku sedang ruwet. Keberadaan toko buku bekas warisan kakek berisi buku-buku sastra dunia dan buku-buku klasik mengesankan perbedaan kubu lama dan kubu baru. Pada abad XXI, kenikmatan membaca buku (cetak) telah berubah. Perlakuan terhadap buku pun buruk.

Sosuke Natsukawa memuat perdebatan-perdebatan dilakukan Rintaro dengan tokoh-tokoh mengusung ilusi industri buku dan penghancuran adab keaksaraan. Kemenangan-kemenangan diraih Rintaro dipenuhi keajaiban. Di situ, Rintaro mengerti dilema-dilema birokrasi, kaum modaL, para intelektual, dan kaum kolektor dalam mengurusi buku. Mereka itu memuliakan dan menghinakan buku.

Pengarang mengajukan keangkuhan periset: “Ada banyak sekali buku di dunia ini, tetapi kita sangat sibuk sehingga tidak pernah punya waktu untuk membaca semuanya. Tetapi setelah risetku selesai, orang akan bisa membaca beberapa lusin buku tiap hari. Dan tidak hanya buku-buku laris yang populer – tetapi juga cerita-cerita yang rumit, bahkan buku-buku filsafat. Ini akan menjadi salah satu prestasi terbesar dalam sejarah umat manusia.” Peristiwa membaca berubah dengan agenda-agenda ambisius: “membaca cepat” atau “membaca kilat”.

Perbukuan abad XXI mengandung “perang” tapi tak sama dengan perang masa lalu. “Perang” itu berkaitan “teknologi-membaca”, laba, mutu intelektual, surut buku cetak, dan lain-lain. Kita mengetahui pasang-surut buku cetak melalui buku The Shallows (2011) susunan Nicholas Carr. Buku-buku cetak sedang bermasalah dengan tatanan hidup mutakhir melalui penemuan dan penerapan “teknologi-membaca”, berbeda jauh dari sejarah panjang membaca buku cetak. Predikat pembaca tak lagi baku jika menilik abad-abad silam.

Sosuke Natsukawa sengaja menghadirkan Rintaro sebagai remaja dalam garis batas perubahan besar. Di akhir cerita, Rintaro makin memuliakan buku-buku (bekas). Ia mengerti nasib toko buku bekas itu tak separah toko-toko buku besar di pelbagai kota di dunia. Ia memutuskan melanjutkan sekolah, tinggal di rumah, dan menjadi “sultan” bagi buku-buku bekas warisan kakek.

Rintaro tetap melihat buku dan dunia sedang bergolak. Kita di Indonesia membaca novel itu tanpa merasa asing. Situasi di Indonesia hampir sama. Kita mungkin mengeluh, meratap, dan marah atas nasib perbukuan dan perubahan corak hidup jutaan orang bergawai. Di Indonesia, kita tak perlu menantikan kehadiran kucing-kucing dalam mencipta bahagia dan keberpihakan atas buku-buku (cetak). Keajaiban sulit terjadi di Indonesia. Begitu.

Bandung Mawardi
Esais asal Karanganyar, Jawa Tengah

Sastra Terkini