Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai Sastra ‘Pesawat Terbang: Kisah dan Puisi’

Esai Sastra ‘Pesawat Terbang: Kisah dan Puisi’

PADA suatu masa, Hamka mengunjungi Amerika Serikat. Ia tak memiliki hasrat pamer foto dan kesenangan-kesenangan diperoleh di sana. Hamka tetap sosok santun. Ia justru membuat tulisan-tulisan agar perlawatan itu tetap teringat. Sejak mula, ia memang manusia-kata: menghasilkan tulisan-tulisan agar segala peristiwa tak sia-sia.

Di buku berjudul Empat Bulan di Amerika (1954), Hamka mengisahkan: “Maka, undangan pemerintah Amerika Serikat buat melawat dinegeri itu 4 bulan lamanja, telah saja sambut dengan segala  kegembiraan… Benua sebesar itu, negara sebesar dan seluas itu, mempunjai hal-hal jang patut dipeladjari dari seribu segi. Sedang masanja hanja empat bulan. Alangkah sedikit!” Ia tak sedang berpiknik atau berbelanja. Hamka sebagai pengarang dan ulama ingin mempelajari Amerika Serikat.

Ia ke Amerika Serikat bukan berjalan kaki. Peristiwa bersejarah: “Pada hari Ahad pukul 5 pagi, 24 Agustus 1952, berangkatlah saja dengan pesawat KLM Constellation dari lapangan Kemajoran.” Ia mampir dulu di pelbagai negara. Di Belanda, ia bertemu para tokoh, berlanjut terbang ke New York: 26 Agustus 1952. Pengalaman naik pesawat itu bukan pemicu untuk menulis novel. Hamka tetap terkenang sebagai pengarang tenar gara-gara kapal. Dulu, ia menggubah novel berjudul Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck. Ia belum ingin memberi novel mengenai pesawat terbang.

Pulang dari Amerika Serikat, ia diminta memberi kisah atau pengalaman. Jumlah foto bisa dipamerkan cuma sedikit. Jawaban untuk publik berupa buku. Melawat ke Amerika Serikat menghasilkan buku, bukan debat-debat bertema politik, agama, atau pelesiran.

Pada masa berbeda, kiai dan penggubah puisi asal Madura mengunjungi Jerman. Kedatangan atas nama sastra. Kiai itu bernama M Faizi. Sejak puluhan tahun lalu, ia rajin mengisahkan diri dan bus. Pada kunjungan ke Jerman, ia tak mungkin naik bus. Perjalanan bakal lama dan sulit.

Faizi berbagi cerita: “Gemar membaca buku tentang kereta api, juga angkutan massal, bukan berarti saya lalu antipati dan tidak mau membaca buku yang lain. Tidak, saya juga membaca buku tentang pesawat terbang. Dari buku inpres itulah saya tahu bahwa ide kapal terbang… “ Pada saat bocah, Faizi berimajinasi pesawat terbang. Pada saat dewasa, ia penumpang dalam pesawat terbang. Bacaan membekali pengalaman.

Pengisahan: “Hari itu, Jumat, 24 Juni 2011, pukul 19.30, saya berhasil menikmati hasil bacaan. Pesawat airbus Turkish Airlines membawa saya terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Istanbul, pintu Eropa…” Pesawat mampir dulu ke sekian negara, berlanjut tiba di Berlin, Jerman.” Penumpang mengaku dipengaruhi bacaan masa kecil. Pengalaman itu dituliskan dalam buku berjudul Merentang Sajak Madura-Jerman: Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (2012). Naik pesawat menghasilkan buku, bukan pamer foto atau oleh-oleh asal Jerman. Ia datang dan pergi sebagai pengarang. Kehormatan ada di tulisan.

Kita masih berurusan dengan kiai dan pesawat terbang. Kita beralih ke puisi-puisi gubahan kiai mbeling bernama Emha Ainun Nadjib. Ia memberi warisan penting mengenai pesawat terbang dalam arus kesusastraan di Indonesia. Pembaca bisa membuka buku berjudul Sesobek Buku Harian Indonesia (1993).

Pada 1984, ia menulis puisi berjudul “Pesawat Terbang.” Para pembaca masa 1980-an, belum atau jarang naik pesawat terbang. Puisi menjadi rujukan imajinasi dan pengalaman. Puisi mengandung lucu dan kritik. Emha Ainun Nadjib menulis: 

Pertama kali naik pesawat terbang, saya ingin/ memasang iklan di koran nasional bahwa saya/ benar-benar sudah pernah naik burung terbang ajaib/ yang dikagumi oleh seluruh kanak-kanak/ dan orang dewasa.

Kita menduga ia pernah membuat mainan pesawat terbang dari kertas saat menjadi murid di SD. Buku tulis bukan sekadar untuk belajar. Lembaran kertas justru menghasilkan pesawat terbang. Kertas itu terbang memberi kegembiraan. Anak-anak bersaing untuk kecepatan dan keindahan pesawat terbang meski cepat rusak. Pesawat dari kertas pasti tak kekal.

Emha Ainun Nadjib memiliki bacaan-bacaan membesarkan imajinasi pesawat terbang. Ia mungkin mengetahui pesawat terbang di koran, televisi, atau radio. Orang berhasil menjadi penumpang dalam pesawat terbang memiliki gengsi tinggi. Ia berada di ketinggian untuk pergi ke kota-kota atau negara-negara. Perjalanan berbeda di daratan dan lautan. Imajinasi turut berpengaruh saat Emha Ainun Nadjib berhasil naik pesawat terbang. Ia masih membahasakan “burung ajaib”.

Kritik diajukan gara-gara pesawat terbang: Sehingga tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh kali,/ di samping selalu disergap oleh ratusan/ pikiran murung: saya merasa pesawat terbang/ tak pernah membawa saya naik ke mana-mana/ Ada kemungkinan para teknolog, teknokrat serta/ para pemakai mereka, gagal melihat mana bawah/ yang sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya.

Pesawat terbang berfilsafat teknologi, manusia, dan dunia. Emha Ainun Nadjib sadar Indonesia sedang bermimpi maju dengan pesawat terbang. Kita ingat babak pembangunan nasional mengenalkan istilah “tinggal landas”. Pembahasaan kebijakan-kebijakan penguasa merujuk pesawat terbang.

Pesawat terbang tak rampung dengan gengsi dan girang. Emha Ainun Nadjib (1984) memberi peringatan nasib dalam pesawat terbang. Di puisi berjudul “Di Atas Crete”, ia memberi satire: 

Pilot pemandu hidup memberi peringatan tentang/ cuaca amat buruk, hingga kami harus menegakkan/ tempat duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkan untuk berdoa// Para penumpang langsung bermuka mendung, para suami/ istri dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan,/ semua tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil ke hadapan-Nya/ sebagai pengemis-pengemis yang malang// Supaya tidak mengganggu lingkungan, saya pun menunduk/ khusyuk, sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa lega/ bagaikan menerima lotre. Ia berkelakar mendapat lotre hidup-mati. Menang lotre berarti bisa menghadap Tuhan.

Kita mengerti pengalaman-pengalaman naik pesawat terbang menghasilkan puisi-puisi. Emha Ainun Nadjib tak ingin cuma mengenang dengan foto atau membual di hadapan teman-teman. Pesawat terbang itu puisi-puisi menerbangkan imajinasi. Puisi memberi renungan hidup-mati. Begitu.

Bandung Mawardi,
Esais dan pedagang buku bekas asal Karanganyar, Jawa Tengah.

Sastra Terkini