Esai Sastra ‘Kamera Saksi Realitas’
DARI Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Kata-kata itu terngiang kemudian nalar berimajinasi. Bagaimana luas dan indahnya negeri ini. Kita tak pernah tahu, aroma tanah dipagi hari atau semerbak rerumputan yang diterpa embun, apakah punya aroma yang sama dengan tanah yang sedang dipijak perenung.
Rasa ingin tahu membikin kita membolak-balik kertas untuk memuaskan penasaran. Orang-orang yang jauh dari haribaan, menilik sebuah cerita untuk mengetahui situasi yang berada di pulan nun jauh.
Bagaimana tidak menggiurkan, tanah permai nan subur, sebilah kayu ditancap tumbuh pohon duren nan rimbun. Jala yang ditebar merekah ikan berkecipak bergembira dan sebuah taman indah selalu diterpa matari yang membuat bebungaan merekah menyodorkan keindahannya. Sebuah ceritera yang dibalut aroma mistis oleh Maria Dermout membuat ribuan pasang mata dari tanah Eropa tertarik dengan karya Dermout.
Buku itu berjudul Taman Kate-Kate (Detienduizend dingen). Pustaka Jaya pada 1975 yang menerbitkan buku itu membuat pengakuan. Karya Dermout adalah karya yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Ribuan pasang mata yang digelitik rasa penasaran, berhadapan dengan buku. Rasa ingin tahu nampaknya membikin nuraninya gatal.
Maria Dermout lama singgah di Maluku dan Jawa. Karya itu baru diterbitkan ketika ia berusia enam puluh tahun. Umur yang bisa dibilang tak muda, Maria Dermout mampu menceritakan bagaimana negeri yang indah itu, tak luput menyoal realitas misitisisme. Tak sedikit berbeda dengan bangsa Eropa lawas yang menerka semesta.
Rasa ingin tahu mendorong sebuah tindakan. Karya semesta yang hampir sempurna dibuat tanpa kebetulan itu, beberapa orang berkeingingan untuk mengabadikannya. Begitu juga dengan penulis cum pelukis Rabindranath Tagore. Kepiawaiannya dalam berkisah namanya begitu harum dalam sastra dunia. Lukisannya pun tak dapat dianggap remeh.
Rabindranath Tagore sempat melawat ke Indonesia. Tempo merekam peristwa itu. Sebuah tinta cina dan kuas berukuran sedang, dicipratkan ke kertas kanvas merekam keindahan alam Indonesia. Pada 01 Juni 1985, Majalah Tempo merekam jejak lukisan Tagore di Indonesia. Karya-karya lukisannya yang didapat ketika melawati ke Indonesia di pamerkan di Museum Pusat, Jakarta 25-29 Mei 1985.
Mengenai lukisan, Tagore menyigi bahwa tugas lukisan itu adalah berkekspresi, bukan menjelaskan. Kendati demikian, lukisan memiliki kelemahan. Kamera muncul mencoba mengisi kelemahan itu. Kamera menaruh kejujuran dari setiap foto yang ditampilkan. Alat itu jadi opsi selain lukisan dan tulisan untuk memperkaya khasanah pengetahuan.
Negeri yang makmur itu sering disipkan dalam cerita sebelum tidur. Selisik keindihan yang nirkecacatan membikin siapapun tertarik. Keberadaan kamera semakin membuat kita semakin mudah menilik. Senang, sedih, bahagia, dan masam kamera mampu menangkap realitas itu menjadi untaian kisah.
Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002) menyiratkan kisah mengenai kamera dan realitas. Negeri yang kaya dihantam krisis. Gunung Merapi menyemburkan awan panas dan lahar yang merekah merah membikin sawah, ladang, dan ratusan rumah luluh lantah.
Sebuh foto milik Majalah St. Cleverband (1931) terselip dalam buku gubahannya yang berisi esai-esai. Salah satunya berjudul Zaman Meleset Diawali Amukan Merapi. Gunung Merapi yang megah membumbung asap tebal nan pekat. Letusan gunung tak dapat berkomporomi. Kurang lebih 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati. Kamera merekam dan mengingatkan. Isak tangis orang-orang terdekat pun membanjiri pipi. Kamera menyodorkan kejujuran.
Keberadaan kamera memapah peradaban. Setiap jepretannya mengisahkan sebuah peristiwa yang berada di garis waktu yang tak memiliki kompromi. Kendati demikian, keberadaan kamera menyokong proses sejarah kita. Sebuah adagium yang lawas berujar; “In het heden ligt het verleden, in het nu wa komen zal.” Di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan.”
Kamera menyiratkan sebuah kisah yang menembus waktu. Sebuah hasil jepretannya timbul sebuah pembicaraan yang menyangkut hasil dari kamera berupa foto. Mata berkisah, kamera merekamanya, sebuah karya menarik disuguhkan oleh Seno Gumira Adjidarma berjudul Kisah Mata (Galang Press, 2005) menelisik mata, kamera dan kisah dalam perspektif multiaspek.
Bagi Seno Gumira Adjidarma kamera dan proses kimiawi dalam pencetakan foto membentuk gambar obyektif, tetapi seubjectum tetap saja muncul, karena tanpa manusia dunia tidak bermaknakan. Sedangkan untuk foto ialah gambar –kali ini harfiah- tentang dunianya bukanlah dunia obyektif, karena adalah da-sein yang melakukan penduniaan itu.
Mafhum Seno menamai tesisnya itu dengan Kisah Mata. Mata terpantik, kamera merekamnya. Kisah menyelip dari guratan roll film yang diubah dalam proses kimiawi menjadi foto. Proses membidik kemudian mendapatkan obyek, tanpa keberadaan manusia, tak muncul sebuah pemaknaan seperti yang tersirat dalam majalah Cleverband tadi.
Kiwari, keberadaan kamera semakin ramai. Semua orang dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas kamera yang sudah berada di gawai masing-masing. Para pengguna dapat dengan mudah memotret dan berkisah. Namun, iklan dalam Majalah Tempo tahun 1980, mengajak kita untuk bernostalgia. Kamera Fujica MPF-105 X terpampang di atas keras bening berwarna.
Kamera itu bila dibandingkan dengan Canon 1300 D nampaknya terpaut jauh. Penggunaan kamera Fujica MPF-105 X masih sarat dengan ketelatenan. Ketelatenan untuk memasang baterai, roll film, dan menunggu untuk menikmati foto yang telah kita bidik. Kiwari, keinstanan membikin foto gampang menyeruak. Proses melihat dengan mudah dilalui dan dilakukan.
Mengenai melihat, Heidegger memberi petuah dengan tiga cara. Pertama, ketika aku melihat dunia sebagai lingkungan, aku menggunakan “kehati-hatian” (Umsicht). Kedua, ketika aku melihat dunia da-sein lain, aku menggunakan “ke-pertimbangan” (Ruksicht), dan ketika aku melihat kepada diriku sendiri, aku menggunakan “transparansi” (Durchsichtigkeit). Apapun kameranya, dan apapun caranya, manusia punya opsi untuk menerjemahkan dan merekam realitas. Sekian.
M Ghaniey Al Rasyid,
Esais dan Arsiparis yang tinggal di Kota Surakarta, Jawa Tengah.