Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Esai ‘Kepo, Ngiang dan Sarang Sastra’

Esai ‘Kepo, Ngiang dan Sarang Sastra’

Idealnya publikasi buku ‘Jenama dan Jemawa’ menjawab Sajak Satire ‘Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang’ Taufiq Ismail.

Keok. Keok dunia buku (sastra). Lelah membaca. Capek mengapresiasi. Males menulis. Ujung-ujungnya, tidak punya karya. Tak prestise. Tak ada jenama. Tak ada jemawa.

Kegaduhan spiritualitas hidup seperti ini melanda kaum intelektual muda. Gaya pikir medioker. Apakah Anda termasuk salah satu golongan ini atau justru dua atau tiga golongan sekaligus?

Zaman ini kita sebagai pribadi pemikir dapat dipilah menjadi figur manusiawi dan figur mesin. Homo digital adalah sarang manusia-manusia terkini. Sarang inilah harus diberdayakan. Mengapa satire penyair Taufiq Ismail yang dengan garang menampar sarang pendidikan bangsa tetaplah bungkam? Anak bangsa darurat literasi. Malas membaca. Miskin referensi. Rabun buku. Kini makin terpapar nyata.

Native 1 Banner

Taufiq Ismail merilis sajak “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” (1997) yang kemudian dibundel dalam buku Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (cetakan kedua, 2000). Hari ini terbukti: darurat literasi anak bangsa. Indonesia darurat buku: malas baca, miskin referensi, dan rabun buku. Betapa sarkastis. Literasi ramai di hulu pemerintahan, tetapi sepi di hilir konsumen para pembaca buku. Kritikan penyair menyata hingga hari ini. Sajak Taufiq sungguh kontekstual.

Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang

“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan

“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”

Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban

“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik

Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal

Mengeritik membangun itu asal boleh
​​​​​​​Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik​​​​​​​
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”

“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik

​​​​​​​Mengeritik membangun asal mengeritik

“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”

“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”

“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”

(1997)

Sajak ini adalah roh kritik. Akan tetapi, siapa dan di manakah kritisinya?

Langkah solutif terkini, rajin benihkan hobi literasi. Pilih dan pilah isu tematis. Ambillah contoh buku Jenama dan Jemawa, Selilit Esai dan Kritik Sastra (Beranda, 2023). Adakah daya jejak untuk para pembaca terkini, khususnya kaum kuliahan? Cungkillah kepo dan ngiang untuk dipaket menjadi roh penggerak tulisan-tulisan anyar.

Dengan bahasa khas, penulis membeberkan isi pemikiran untuk mengajak pembaca kembali "membaca" dengan kritis dan galau hasil sekaligus sari pati olah rasa dan pikiran tentang sastra, karya sastra dan hubungannya dengan masyarakat, sehingga galau pembaca menjadi bukti betapa buku ini perlu untuk dijadikan "teman berbincang" yang tepat.

Dengan bergaya, penulis memberikan "mentor" singkat mengenai pengolahan dan pemulasan karya sastra yang dituangkan dalam kritik dan pemikiran. Dalam segenap tulisannya, pembaca diajak untuk menerawang cita-cita kesusastraan bagi masyarakat Indonesia; apakah terlalu utopis untuk digapai atau justru cita-cita setinggi lima sentimeter yang menjadi pemacu semangat. Pemaknaan cita-cita pun mengajak pembaca untuk menelisik, apakah para penulis kawakan dan karya-karya sastra sudah menyajikan atau memiliki pemaknaan serupa, ataukah malahan keluar dari tapis cita-cita itu sendiri.

Dua paragraf ulasan tersebut ditaja Penerbit Beranda, grup Intrans Publishing, Malang. Ajakan jitu untuk bersama-sama menghindari rabun buku, rabun bacaan, rabun referensi. Ajakan positifnya, kita melek literasi, menuju bangsa yang berkaum literat. Jadikan galau, gundah, kepo itu ngiang pikiran sebelum kita lapuk pikiran dan "mati".

Galau ngiang sastra akan muncul ketika siapa pun dari kita mengelap-lap atau sudi memaknai kembali kiprah: Dami N Toda "mati", Soebagyo Sastrowardoyo "mati", Edi Sedyawati "mati", Th Sri Rahayu Prihatmi "mati", Korrie Layun Rampan "mati", Jacob Soemardjo "mati", Kuntowijoyo "mati", Y.B. Mangunwijaya "mati", Darmanto Yatman "mati", Sudiro Satoto "mati", Rachmat Djoko Pradopo "mati", Faruk HT "mati", Suminto A. Sayuti "mati", Maman S Mahayana "mati", Mahbub Junaedi "mati", Goenawan Mohamad "mati", Ajip Rosidi "mati", Sapardi Djoko Damono "mati", Budi Darma 'mati', Abdul Hadi WM ‘mati’. Bahkan, berderet diksi reputasi "mati" liyan.

Bodo amat ketika "kepakaran" di lini akademisi yang melek literasi sastra terkini pun "mati". Galau itu ngiang sastra! Inilah responsnya. Pernahkah galau sastra singgah di benak para pelaku dan pembaca sastra kita terkini? Pernahkah galau sastra menyergap aneka genre karya sastra kita yang kini meruah berkat gerilya penerbit indie hingga mayor? Galau, satu kata yang mampu membius ribuan penikmat sastra. Galau bukan semata-mata bius bahasa iklan. Galau menjadi buah bibir untuk bercanda. Galau meninabobokan telinga. Galau begitu komunikatif.

Galau berarti kacau, tidak karuan (tentang pikiran). Terjemahan bebasnya, galau berarti resah, gelisah hati dan pikiran. Nah, galaukah para pelaku dan pembaca sastra hari ini? Di tangan seorang pencandu yang suka utak-atik kata, galau menjadi umpan. Galau menjadi atraktif dan rekreatif. Galau diolah. Galau menumbuhkan inspirasi. Galau menjelma menjadi kata yang lembut sekaligus galak. Galau diapresiasi ke dalam bentuk rupa karya.

Galau menjadi modal! Penulis, sastrawan, orator, bahkan facebooker, youtuber, freelancer, tiktoker, kompasianer, atau sejenisnya, berbakat bergalau. Ya, mereka bisa bergalau ria. Gegaslah asah penamu berkat galau itu. Yakinilah bahwa orang hebat yang sudah menghasilkan mahakarya pun sering berangkat dari jejak galau. Yakinlah ketekunan lebih bernyali, punya roh, daripada kepintaran yang jemawa. Ketekunan memancarkan spiritualitas, belajar, dan berproses, sedangkan kepintaran memelintir seremonial.

Prof. Budi Darma, seorang kritikus sastra sekaligus sastrawan, pernah menuliskan olahan galau ini dalam sentilan cerdas dengan gaya lain, yaitu tentang negative capability. Arti bebasnya, ada semacam jaringan kecakapan-plus yang dimiliki setiap orang. Tak semata talenta. Jaringan kecakapan itu selalu menggoda dan menggelitik pikiran. Ngiang di angan. Akibat godaan, gelitikan, dan ngiang; pikiran menjadi terbujuk, terayu, mengawan, menerawang jauh, jauh nirbatas. Kapabilitas lebih penuh dan bulat ketimbang kompetensi, imbuh Prof. Djoko Saryono, literator kondang era digital dari Universitas Negeri Malang.

Ini menandakan mood sudah terperangkap. Tunggu apa lagi, segeralah tangkap, goreskan, dan tuangkan menjadi rupa karya. Inilah jejak-jejak kreatif mulai tunas. Tunas kreativitas tumbuh mengawali bakat.

Jadi, jangan heran jika nama-nama pengarang top seperti Andrea Hirata dengan seri Laskar Pelangi, Ahmad Fuadi dengan seri Negeri 5 Menara (N5M), Habiburrahman El Shirazy dengan seri spiritualitas mentor, Tere Liye dengan famili fiksi "tata surya," atau bahkan pengarang-pengarang cilik yang kini berjuang demi karya sering terpaku dengan galau. Ngiang sastra.

Galau, segalanya perlu proses. Galau di sastra perlu sarana dan media untuk belajar dan belajar, berlatih dan berlatih, praktik dan praktik. Caranya, belajar secara cerdas, cermat, dan smart berdasarkan empat pilar keterampilan berbahasa dan bersastra secara menyeluruh, tuntas, atau paripurna. Jadi, sempurnalah, holistik!

Curaian tulisan ini mengharap galau para pencandu sastra sehingga terjadi ngiang untuk bersastra. Biarkan remah-remah curaian berkecambah karena dari situlah tuah sastrawi sesungguhnya mulai berbuah.

***

Anton Suparyanta,
Esais dan manajer buku seni di penerbit PT Intan Pariwara Edukasi, Klaten-Jateng. Merilis karya ‘Buka Buku Baca Buku Cuan Resensi’ (Penerbit Diandra, 2022). Baru saja terbit buku ‘Jenama dan Jemawa’, selilit esai-kritik sastra (Penerbit Intrans Publishing, 2023). Alumnus FIB UGM Yogyakarta. Aktif berkontribusi naskah tentang pendidikan, seni, budaya, sastra di berbagai media cetak dan online.

Sastra Terkini