Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Itulah Wajah Ibu yang Kamu Kenal!’

Cerpen ‘Itulah Wajah Ibu yang Kamu Kenal!’

LIMA jam sebelum sumpah serapah melegakan itu terlempar dari bibirnya, kamu pulang dengan wajah tertunduk lesu. Kamu merasa tidak bersemangat sore itu. Kamu memang tidak pernah bersemangat setiap pulang kerja, seperti juga kamu tidak bersemangat setiap berangkat kerja, seperti juga kamu tidak bersemangat setiap harinya; namun, sore itu kamu bukan hanya tidak bersemangat, kamu merasa kehilangan gairah hidup. Istrimu baru saja memberi tahu kabar yang paling tidak kamu harapkan.

“Ada ibu datang,” kata istrimu. Kamu mengacuhkannya, menaruh sepatu di rak, dan menarik napas panjang. Mendadak kamu rasakan tubuhmu begitu lelah, jauh lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Ibu datang adalah sebuah frasa yang paling kamu takuti; sebuah frasa yang membuatmu ingin mengambil tali diam-diam di malam sunyi, untuk kamu lilitkan ke dahan pohon mangga di belakang rumah, kemudian kamu lilitkan ke batang lehermu.

“Ibu sepertinya sudah agak mendingan sekarang.”

Perkataan istrimu itu menyeretmu kembali ke tepi kesadaran. Kamu tidak percaya apa yang dikatakan istrimu. Pikirmu, itu tidak lebih dari hiburan kosong tak bermakna. Istrimu tahu betul sepulang kerja kamu masih harus bekerja lagi. Kamu hanya punya waktu sekitar satu sampai dua jam yang akan kamu gunakan untuk mandi, makan, mencari sedikit kesenangan dari menonton hiburan di Youtube atau membaca buku, sebelum melanjutkan pekerjaanmu menyunting atau memeriksa naskah dari penerbitan yang dikelola temanmu. Semua itu kamu lakukan demi membayar cicilan hidup yang tak pernah lunas.

Ibumu biasanya berkunjung setiap kali dia habis bertengkar dengan saudaranya, atau juga dengan ibunya sendiri, atau juga dengan tetangganya, atau juga dengan siapa saja. Setiap itu terjadi, dia akan mendatangimu, melampiaskan amarahnya ke kamu, ke istrimu, ke anak-anakmu—dan  jika kamu punya tamu—maka tamumu juga akan kena bagian.

Dengan malas kamu berjalan menuju kamar anakmu yang selalu menjadi kamar singgah ibumu setiap kali dia datang. Dari luar kamar kamu melihat ibumu duduk di tepi ranjang. Dengan tenang matanya memandang ke segala penjuru kamar, seolah sedang mengecek perbedaan kamar itu dari terakhir kali dia datang. Kamu segera masuk ke kamar mencium tangan wanita itu.

“Ibu datang naik apa?”
“Damri.”
“Berapa hari di sini?”
“Belum tahu.”

Ibumu tersenyum. Tiba-tiba kamu merasa merinding. Bulu halus di tengkukmu berdiri. Kamu hampir tidak pernah melihatnya tersenyum. Apalagi jika senyuman itu manis seperti yang kamu lihat sekarang.

Sekadar basa-basi, ibumu bertanya kabar. Kamu menjawab, kabar baik. Lalu kamu bertanya balik, yang dijawab kabar baik pula oleh ibumu. Tentu saja kamu tahu itu semua bohong belaka. Ibumu tidak pernah merasa baik dalam hidupnya. Hidup buatnya adalah ludah menempel di wajah, meluncur dari mulut orang yang paling dibencinya. Dia selalu ingin menghapusnya, tetapi menghapusnya sama dengan menghapus hidup itu sendiri.

Setelah basa-basi, kamu menuju ke kamar mandi. Tepat sebelum kamu meninggalkan kamar, kamu menoleh dan melihat wanita itu menatap tembok di seluruh penjuru kamar. Ibumu seperti mendapat penghiburan ketika pada dinding tembok yang catnya mulai pudar, dia melihat sebuah skenario alam: dua ekor cicak sedang berebut seekor laron bodoh yang nyasar masuk kamar. Tubuh laron itu tercabik dua dan sebagian jatuh ke lantai. Salah satu cicak tidak mendapatkan jatah makan malamnya.

Makan malam menjadi kikuk dengan kehadiran ibumu. Kecuali suara piring beradu dengan sendok, nyaris tidak ada suara lain di ruang tengah. Sesekali memang ada suara istrimu yang marah-marah menyuapi anak perempuanmu yang sedang rewel makan. Berkebalikan dengan si adik, si kakak justru makan kelewat lahap. Dia tak peduli situasi canggung di sekelilingnya.

Ibumu menyendok nasi ke mulutnya, lalu mengunyah dengan sangat lembut tanpa suara. Kamu merasa aneh melihat kelakuannya. Ibumu berubah kalem seperti baru saja disuntik Benzodiazepine dosis tinggi. Melihat ibumu bisa setenang dan sekalem itu merupakan pemandangan yang teramat ganjil buatmu.

Setelah selesai makan, kamu langsung melanjutkan pekerjaan menyunting naskah yang sebentar lagi memasuki masa tenggang. Kamu yang dulunya bercita-cita sebagai penulis, kini harus puas menyunting naskah dari para penulis yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Kamu yang telah lama terjun dalam dunia kepenulisan sejak zaman kuliah—yang mana karyanya telah berseliweran di pelbagai media—dipaksa menyerah oleh para pendatang baru yang lebih melek terhadap perubahan zaman. Kamu terpaksa meninggalkan mimpimu sebagai penulis dan kembali kerja kantoran: berangkat pagi, pulang sore.

Kamu berusaha fokus pada layar laptop. Namun, setiap kali kamu mencoba, fokusmu selalu buyar. Keanehan yang kamu lihat pada ibumu benar-benar mengganggu. Kamu merasa ada sesuatu yang salah, dan hal itu membuatmu semakin susah berkonsentrasi memperbaiki naskah buruk di hadapanmu.

Naskah itu benar-benar buruk. Tata bahasanya berantakan, kalimat-kalimatnya tanggung, dan logika bahasanya cacat. Membaca naskah itu membuatmu ingin marah. Naskah itu terlihat betul ditulis dengan terburu-buru oleh orang yang belum selesai belajar menulis. Bahkan jika penulisnya mati dan dihidupkan lagi untuk ikut kursus menulis dan belajar seumur hidupnya, kamu yakin dia tidak akan bisa memperbaiki naskahnya sampai layak dibaca.

Membaca naskah itu membuat keinginan untuk menulis datang lagi. Kamu pikir tidak ada salahnya mencoba. Jika yang seperti ini saja bisa menjadi penulis, harusnya tidak susah buatmu. Namun segera kamu gelengkan kepala mengingat cicilan rumah, cicilan motor, cicilan lemari, cicilan kasur, dan pinjaman untuk renovasi dapur yang tidak mungkin lunas dengan sendirinya. Tidak ada waktu untuk bermimpi. Kamu harus kerja, kerja, dan kerja mengejar penghasilan pasti.

Kepalamu berkedut-kedut nyeri. Kamu menjambak rambutmu demi menghilangkan rasa pusing di kepala. Mengedit naskah ini butuh konsentrasi tinggi dan pikiranmu malah terbagi.

“Kamu sedang sibuk?” tanya seseorang mengagetkanmu.

Kamu menoleh. Kamu tidak tahu sejak kapan ibumu berada di belakangmu. Dia pun menjelaskan maksudnya mengunjungimu. Ibumu bercerita kalau sudah lama, sejak setahun lalu, dia tidak lagi punya telepon genggam. Kamu seketika itu tahu ke mana arah mana pembicaraan itu.

“Jika kamu ada uang, tolong belikan Ibu hape baru.”
“Untuk apa hape, Bu? Tidak ada juga orang yang mau Ibu hubungi.”
“Mau juga sih Ibu pegang hape.”

Kamu bisa merasakan nada bicaranya mulai meninggi.

Kalau kamu mau pegang hape, buat apa dulu kamu banting hapemu!

Kamu hampir saja kelepasan mengatakan itu. Kamu kesal ketika mengingat telepon pintar yang dulu kamu belikan untuknya, telepon pintar yang belum juga lunas itu, malah dibanting oleh ibumu.

“Aku ada hape bekas kalau Ibu mau.” Kamu pergi mengambil Nokia tua milikmu.
“Bukan yang seperti itu. Ibu mau yang bisa kirim-kirim gambar dan video. Bisa nonton, bisa dengar lagu.”
“O, yang android maksud ibu?” Ibumu menangguk.
“Tapi yang android cepat rusak, Bu. Kalau ini biar jatuh berkali-kali juga tidak akan rusak.”

Sengaja kamu beri penekanan pada kata jatuh yang dulu dijadikan alasan ibumu ketika telepon pintar yang belum satu bulan kamu beli rusak dibanting ibumu. Kamu kenal betul dengan ibumu, setiap sakit hati dia akan merusak apa yang ada di dekatnya. Dan ibumu tidak pernah kurang sakit hatinya.

Senyum manis mulai pudar dari wajah ibumu. Kerutan di antara kedua belah alisnya terlihat semakin tegas. Hidungnya kembang kempis, dan rahangnya berkedut seperti insang ikan. Semua itu membuat wajahnya terlihat mengerikan. Namun, entah mengapa melihat wajah itu membuatmu tenang. Rasanya jauh lebih menenangkan daripada melihat dirinya tersenyum manis. Mungkin karena itulah wajah ibu yang kamu kenal.

Ya, itulah wajah ibu yang kamu kenal!
“Kamu tahu Ibu ini susah payah melahirkan kamu, membesarkan kamu sendirian setelah ayahmu yang bajingan itu kawin lagi, kamu...”
“Ibu juga meninggalkanku dan kawin lagi.”
“Babi! Anjing! Anak kurang ajar! Kamu tidak tahu betapa susahnya ibu mengurus kamu.”

Ibumu terus saja memuntahkan makiannya. Kamu bukannya marah, malah merasa lega. Hatimu sungguh tentram seperti seorang alim mendengar lantunan ayat suci. Kamu merasa imanmu bertambah mendengar makiannya. Kali ini kamu bisa lagi berkonsentrasi melanjutkan menyunting naskah amburadul di hadapanmu.

Blencong, 2021-2023

Aliurridha,
Pengajar di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Terpilih sebagai emerging writers dalam Makassar International Writers Festival 2023. Bergiat di komunitas Akarpohon. Novel terbarunya berjudul Teori Pernikahan Bahagia (Falcon Publishing, 2024)

Sastra Terkini