Cerpen ‘Januarisme 9.9'
AKU menamaimu Januarisme sebab di bulan itu sebuah paket raksasa berdiri di muka pintu. Sepuluh tahun yang lalu Profesor Antelove memintaku menguji-coba sistem cloud ganda, ingatan fotografik, dan selera imajiner yang ada dalam Biometa, robot humanoid yang ia klaim akan sulit ditandingi hingga tiga puluh lima tahun ke depan. Aku mulanya menolak, tapi laki-laki tujuh puluh tahun itu pintar sekali merayu. “Usiaku tak lama lagi. Aku harap kau bersedia membahagiakanku, Vania.”
Kami memang bersahabat. Agak aneh memang. Aku gadis dua puluh delapan tahun ketika bertemu dengan polimatik enam puluh tahun pengagum Ismail Al-jazari. Sepuluh tahun kemudian, ketika kami makin dekat karena pekerjaan, ia menyempurnakan penemuannya di Laboratorium Sibernetika 9.9. Satu tahun kemudian, laki-laki berambut uban itu memintaku melupakan proyek penulisan biografinya. Aku tak bisa berkata apa-apa, meski menyayangkannya. Secara profesional, ia telah membayarku lunas di awal. Bahkan menggajiku setiap bulan (dalam sepuluh tahun!) karena ia tak ingin aku tergesa-gesa menulis kiprah sibernetikanya—tentu saja sekaligus penghargaannya yang tinggi terhadap intelektualitas dan seni. “Selesaikan kapan-kapan. Terbitkan ketika aku sudah meninggal.”
Aku sedih sebenarnya. Januarisme seakan-akan kenang-kenangan buatku. O tidak, Profesor masih hidup. Meskipun lima bulan setelah merakit Januarisme, ia jatuh sakit. Ketika aku menjenguknya, ia sering menertawai diri sendiri. “Harusnya aku bisa membuat diriku panjang umur, sebagaimana kamu, Van.”
Aku tertawa. Orang yang sedang sakit, memang rawan ngawur. “Profesor akan hidup seratus tahun lagi,” aku mencoba menghiburnya.
“Aku hanya bisa mempersembahkan Biometa … apa?”
“Januarisme, Prof,” aku tersenyum.
Sejujurnya, Januarisme sangat tampan dan cekatan. Aku risi jadinya. Akan tetapi … aku tak mau mengecewakan Profesor.
“Aku takut dia rusak,” aku mulai merangkai kata.
“Jadi, dia banyak menghabiskan waktunya di kamar, Prof.”
“Sistem cloud-nya sudah kauaktifkan, ‘kan?” Aku mengangguk.
“Sebagaimana saran Prof.”
“Kau sudah menguji kemampuannya membaca biometrik?”Aku diam.
“Saranku, ujilah, Van.” Aku merasa bersalah.
“Dia kunamai Biometa karena kemampuan deteksi biometriknya!”
“Baik, Prof.”
“Kau tahu, karena kepresisian dan kompleksitasnya, Biometa akan mengalahkan robot mana pun di muka Bumi ini. Hati-hati nanti temanmu iri dan ingin memilikinya juga. Padahal itu barang limited. Nggak dijual!” Lalu dia tertawa lagi.
“Bukankah kalau Januarisme setahun ini tidak buat ulah, Laboratorium 9.9 akan bekerja sama dengan Jeunilastro. Perusahaan itu akan memproduksinya secara massal, ‘kan?”
“Aku senang kamu sudah mengaktifkan sensor algoritma atmosferiknya.”
Profesor tampaknya tak tertarik melayani konfirmasiku.
“Aku bisa mengontrolnya karena chip dalam Biometa, sinyalnya terbaca di sini.”
Lalu ia menunjuk ponsel di tangan kanannya.
Oh. “Bukalah kamarnya besok.” Aku diam.
“Biometa …”
“Januarisme, Prof.”
“… tidak akan berdebu atau rusak meskipun kautelantarkan di mana pun.”
“AC-nya kunyalakan tiap malam, Prof.”
Laki-laki bernama lengkap Antelove Sumargo itu menggeleng.
“Tanpa itu, ia tetap bisa menyejukkan diri sendiri.”
Aku terdiam.
“Kau sih,” Profesor terkekeh kecil, “tak pernah membaca berkas panduan mengoperasikan Biometa.”
Aku nyengir, merasa bersalah.
“Dia vegan, dan penyuka samyang.”
“Lalu …”
“Dia memesan makanan ketika kamu tidak di rumah. Dia bisa menggunakan toilet. Dia sempat ingin memproses plastik bungkus makanan dan minuman itu dengan recyclionik di perutnya. Namun aku melarangnya. Dia tak boleh berbohong. Kalau ingin hidup bersama manusia, dia harus terbuka. Meskipun aku juga katakan bahwa manusia banyak hipokrit.” Lalu laki-laki yang seluruh rambutnya beruban itu terkekeh lagi.
“Maafkan aku, Prof.”
“Harusnya, paling tidak sehari sekali, ruangannya kau buka, agar kau tidak terkejut melihat perkembangan fisiknya.”
“Oh.”
“Aku sudah bilang kepadamu, bahwa aku membuat Biometa setelah menganalisis algoritma futuristikmu. Biometa akan berubah fisiknya setelah bulan pertama.”
Perasaanku kacau.
Siang itu aku pamit dengan perasaan bersalah dan kesal. Aku merasa menjadi penerima hadiah yang tidak menghargai si pemberi. Dalam kasus Januarisme, aku bahkan merasa menjadi orang yang tidak amanah. Namun, di waktu yang sama aku juga kesal karena, lewat Biometa, Profesor Antelove tahu semua apa yang terjadi. Ya, aku yakin, Januarisme mengirim banyak pesan dan hal-hal privatku ke gawai ilmuwan sibernetika itu. Ah, sial!
Bismillah. Aku membuka pintu rumah dengan perasaan tak menentu. Aku bergegas ke kamar Januarisme. Aku menempelkan kuping kanan ke daun pintu yang tertutup. Sebagaimana biasa, aku mendengar tayangan di Viewgo, platform film OTT nomor satu saat ini. Ah, aku harusnya penasaran sejak awal. Bagaimana mungkin robot bisa menonton film dengan begitu intens? Tapi aku melewatkannya saja sebab aku pernah melihat Jamclock, robot ciptaan Profesor sebelum Januarisme, yang mampu mengulas film karena memiliki kemampuan menganalisis premis, plot, midpoint, twist, hingga coda sebuah cerita audiovisual dengan sangat presisi.
Aku memutuskan mengambil wudu. Aku mengerjakan Isya dan berdoa cukup lama. Tiba-tiba aku teringat beberapa temanku yang agnostis dan ateis. Omongan mereka selalu sama. “Tahun 99 kamu masih percaya ritual dan keajaiban?” Lalu mereka tertawa dan aku makin kebal karenanya. Untuk alasan keringkasan kami memang biasa menyebut dua angka di ujung tahun. Meskipun hal itu rentan terbaca oleh sejarah sebagai 99 atau 1999, bukan 2099, tahun yang membuat pekerjaanku, sebagaimana arstitek dan akuntan, kerap dicurigai kualitasnya.
Ya, sebagai penulis, sejak tiga puluh tahun lalu, banyak klien yang membuatku emosi. Mereka selalu memastikan kalau yang menulis adalah aku, bukan robot humanoid asistenku atau internet atau sistem cloud atau bank imajinasi portabel yang banyak dijual bebas di lokapasar atau teslametrik keluaran terbaru yang memiliki kemampuan membuat narasi prosaik dan puitik lebih cepat dan “diklaim” lebih estetik dalam waktu singkat. Kemajuan teknologi membuat manusia terpinggirkan dan kerap dicurigai kemampuannya.
Aku juga sering kesal ketika anak-anak di kafe kerap mengeluhkan lagak para versis, spesies robot humanoid yang menjadi teman sekelas mereka. Bagaimana mungkin mereka kalah dari mesin? Dan tak sekali-dua kali aku menjadi saksi keributan, atau bahkan tawuran, antara manusia dan versis karena salah satu pihak merasa tersinggung atau merasa dirundung. Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh tampilan para versis yang nyaris sama dengan manusia, sekaligus kemampuan (meskipun kami lebih sering menyebutnya “kenyinyiran”) mereka membaca riwayat emosi lewat peranti yang ditanam secara privat dan spesifik oleh pembuat mereka.
Cekrek. Pintu kamar Januarisme terbuka. Seorang pemuda dengan tinggi 180 cm, berkulit putih, dan bermata … ah benar saja, tak ada titik keperak-perakan—yang menjadi ciri benda humanoid—di sana.
“Maaf kalau aku merepotkanmu,” katanya tiba-tiba.
Entah mengapa, aku merasa kasihan dan …
“Profesor bilang, kau pasti kesepian.”
Aku ingin marah, tapi …
“Tolong jangan emosi dulu.”
Oh, aku lupa kalau dia bisa membaca emosiku bukan hanya dari gelagat, tapi juga pancaran retinaku.
“Di usiamu yang ke-39, kau masih perawan. Kau bahkan belum pernah masturbasi.”
“Kau? Kau?”
“Dunia ini sudah menjelma jadi rumah kaca, Vania. Tak ada lagi rahasia. Kita tak punya pilihan selain berdamai dengan keterbukaan. Sejak pertama kau membuka bungkusku, meskipun belum dalam rupa sempurnaku, aku sudah menangkap getaran tak biasa dalam dirimu. Kau boleh protes, tapi aku sudah tahu kalau kita …”
Kerongkonganku tercekat. Aku tak percaya dengan kelanjutan kata-katanya. Tapi ia malah terus mengulang-ulangnya. Lalu segalanya menjadi gelap.
“Maafkan aku, Van,” suara itu, suara Profesor Antelove, menyambar-nyambar gendang telingaku. “Aku tak tega mengatakan ini, tapi aku pikir kau harus tahu juga pada akhirnya.”
Aku perlahan-lahan membuka mata. Kepalaku masih pusing, tapi pandanganku sudah normal. Mataku menyapu ruangan bernuansa biru muda ini. Rupanya aku terbaring di dipan. Hologram di hadapanku menyala. Profesor tersenyum. Ia menanyakan keadaanku. Aku berusaha tersenyum, meski aku yakin kalau air mukaku lebih pas disebut menyeringai. O, rupanya Januarisme duduk di sebelah kanan dipanku.
“Kamu di bengkel robotku,” kata Profesor seperti menangkap kebingunganku.
O, aku di rumah sakitnya para robot. Aku, sungguh masih belum bisa menerima kenyataan yang menyesakkan ini.
“Setelah koma 9 hari, kau akhirnya sadar juga. Sepertinya lusa kamu sudah bisa pulang. Januarisme akan mengurusmu.”
“Prof …”
“Berilah aku kesempatan,” Januarisme menggamit tanganku.
Aku bergeming.
“Kita ini sama. Itu fakta. Itu …”
Aku benci kata-katanya.
“Buat apa kau membelakangi kenyataan?”
Aku manusia. Aku manusia! Aku bukan robot!!!
“Mau kucabut sensor imajinasi dari punggungmu?” kata Januarisme, seperti menantang. “Ketika kau masih tak sadar, beberapa kali aku mengeluarkannya atas perintah Profesor. Kami bisa menyaksikan mimpi-mimpimu.”
Dan aku …
“Kau menyukaiku, tapi tak mau mengakui. Kau membenci Profesor, tapi tak ingin jadi sahabat yang durhaka. Kau …”
“Cukup!” Aku meremas-remas rambutku.
Januarisme berjalan keluar ruangan. Profesor hologramik itu tersenyum lagi (atau … sedari tadi ia belum berhenti tersenyum?). “Kalau kau butuh apa-apa, aktifkan telesensorik,” katanya sebelum hologram itu padam.
“Tidak perlu,” Januarisme menggenggam tanganku yang satu lagi. “Kalau ada apa-apa, autofixing dalam diri kita akan menginstal ulang perangkat ingatan dan cita-cita. Hanya tentang waktu, kamu akan kembali seperti sedia kala. Mau pulang kapan? Besok atau lusa?”
***
Lubuklinggau, 2022—Luzern, 2023
Benny Arnas,
Menulis 31 buku. Novel mutakhirnya terbit di Malaysia di bawah tajuk Bulan Madu Matahari (RAI Arts, Mei 2023)