Search

Esai Sastra ‘Kasmaran: Biografi dan Puisi’

BUKU itu terbit pada 2000. Buku sudah sulit ditemukan. Dua tahun setelah kejatuhan rezim Orde Baru, buku berjudul Aku Ingin Jadi Peluru menghampiri para pembaca. Buku memuat puisi-puisi gubahan Wiji Thukul. Tokoh masih misterius dalam kepongahan kekuasaan dan ingatan keberanian bersastra di hadapan penguasa.

1998: rujukan reformasi dalam arus kekuasaan Indonesia. Di situ, tokoh-tokoh muncul dengan beragam cerita dan nasib: Soeharto, Amien Rais, Gus Dur, Budiman Sudjatmiko, Megawati, Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo, dan lain-lain. Album biografi mereka masih terbaca sampai sekarang dengan sengketa tafsir. Nasib pun sering mengejutkan sejak kejadian 1998. Kita belum selesai memahami para tokoh masih berada di arus kekuasaan.

Perkara tak terpula merujuk 1998: puisi. Babak penting dalam kesusastraan Indonesia memunculkan puisi-puisi mengandung protes, perlawanan, kritik, gugatan, atau cemooh. Nama-nama besar tercatat dalam album puisi berkaitan 1998. Mereka dalam peka dan pekat “politik”. Puisi-puisi di ceburan demokrasi berantakan.

1998 itu puisi. Kita mengingat nama penting: Wiji Thukul. Pada masa Orde Baru, ia menggubah ratusan puisi mengandung keberanian menggugat rezim Orde Baru. Ia penggerak satire-satire dan menaruh biografi dalam sandiwara penuh kebohongan dicipta Soeharto. Orang-orang sering mengingat dan mengutip puisi-puisi gubahan Wiji Thukul dalam jalinan perburuhan, perkotaan, kekuasaan, pendidikan, kapitalisme, dan kemiskinan.

Di buku berjudul Aku Ingin Jadi Peluru (2000), terbaca petikan komentar Arief Budiman: “Membaca puisi Wiji Thukul adalah membaca otobiografi kejiwaan penyair. Dia menceritakan nasib jutaan rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh proses pembangunan yang terlalu menguntungkan penyairnya.”  Di situ, kita pun menemukan larik-larik buatan Wiji Thukul (1988) dalam “Sajak”. Kita mengerti kemauan dan keberanian: sajakku/ adalah kebisuan/ yang sudah kuhancurkan / sehingga aku bisa mengucapkan/ dan engkau mendengarkan// sajakku melawan kebisuan.

Pada masa 1980-an, ia tak selalu menulis puisi dengan diksi-diksi keras, membara, dan lantang. Kita ingin mengenang sambil membuka majalah-majalah lama. Wiji Thukul, nama jarang berkaitan dengan koran atau majalah “besar” atau berderajat tinggi dalam perkembangan sastra di Indonesia. Di Solo, ia menggubah dan mengirim puisi ke pelbagai media di kota-kota. Nasib tak selalu beruntung. Konon, puisi-puisi jarang mendapat perhatian atau dimuat di media-media bergengsi. Ia tak kapok. Di Solo dan pelbagai kota, ia malah mencipta sastra dengan “mengamen” dan “pembacaan puisi”.

Kliping masih selamat bersumber majalah Nova edisi 12 Juni 1984. Nova itu majalah tengah bulanan, terbit di Jakarta. Majalah berslogan “bacaan enak untuk wanita dan keluarga.” Wiji Thukul berulang mengirim puisi-puisi ke alamat Nova melalui pos. Sebiji puisi terpilih dan dimuat dengan judul “Lirik-Lirik Pagi”. Nama tercantum di majalah: Wiji Thukul Wijaya.

Ia condong membuat lirik. Puisi terbaca lembut bila dibandingkan dengan puisi-puisi cap proter. Wiji Thukul menulis: kubuka atap pagi:/ kabut timur putih, biru puncak lawu/ biru bayangan pepohonan bukit/ kehangatan menjalari pelepah pisang/ dan kulit jati, waru di kampung/ ke sisi-sisi balik dedaunan, kisi rumah/ isi bilik hatiku penuh syukur.

Kita menduga orang-orang bakal sulit mengenai itu puisi gubahan Wiji Thukul jika nama tak dicantumkan di lembaran majalah. Orang-orang mungking paham itu bukan corak puisi biasa ditulis Sapardi Djoko Damono atau Hartojo Andandjaja meski memiliki pengalaman (pernah) tinggal di Solo. Bait itu dihadirkan Wiji Thukul dengan pengandaian ia berada dekat Gunung Lawu atau memandang dari Jagalan, Solo.

Kita berimajinasi Gunung Lawu masa lalu dan situasi perkampungan di Solo. Kini, perubahan-perubahan besar terjadi. Rasa dan pengalaman dicantumkan Wiji Thukul itu alamat nostalgia. Ia cermat melihat alam dan mengerti posisi diri: siapa memadamkan bintang malam/ hingga pucat dilanggar siang/ memasang lagi sore-sore/ membuat kantuk semak dan perdu. Kita mengerti Wiji Thukul masih muda, bergejolak alam setelah keseharian mengalami hidup di permukiman sesak di Solo. Ia merindukan dan menginginkan alam: indah, hening, sejuk, dan halus. Wiji Thukul kasmaran pada alam.

Pada 1984, ia rajin menggubah puisi dan “beruntung” mendapat pembaca. Di majalah Nova, 12 Juli 1984, tersaji dua puisi gubahan Wiji Thukul. Kita mengingat Juni dan Juli miliki Wiji Thukul. Ia berhak “gembira” dengan pemuatan puisi-puisi bakal mendapat perhatian dari teman-teman atau para pembaca. Dulu, pengakuan dalam sastra kadang ditentukan oleh pemuatan di media-media. Ia hadir sebagai penggubah puisi beralamat Solo. Ia tentu tak ingin berada di alur sudah dibuat oleh Rendra, Sapardi Djoko Damono, Mansur Samin, atau Hartojo Andangdjaja.

Kita membaca dengan rasa berbeda setelah mengenang Gunung Lawu. Puisi berjudul “Kukatakan Padamu” memiliki keterangan sasaran kepada “terkasih”. Ia dalam godaan renungan hidup: kubisiki kamu/ kalau hidup ini cerita/ aku adalah hurufnya/ aku adalah suaranya/ aku adalah penyusunnya. Ia tak bermaksud angkuh. Kesadaran sebagai sosok bergumul dalam sastra: memandang dan mengalami hidup di dunia tak terbahasakan biasa-biasa saja.  

Puisi itu terbaca masa sekarang sebagai babak pertaruhan estetika sedang ditanggung Wiji Thukul saat mengetahui geliat sastra di Solo atau sadar ada pusat-pusat sastra di Indonesia. Ia membaca sastra dan mencari tempat dalam sastra. Kemauan mengajukan renungan terasa mendekati klise. Kita membaca bait kedua: kubisiki kamu/ kalau hidup ini cerita yang segera selesai/ aku adalah ednyut darah penuh gairah susuri rimba misteri/ kalau aku berangkat tua/ biarlah renta dalam kembara. Jenis puisi itu sulit mendapat lanjutan saat Wiji Thukul mengerti Indonesia tak keruan pada masa 1990-an. Renungan justru bergerak jauh menuju olok-olok dan pemberian tanda seru terhadap kekuasaan.

Persembahan kedua dalam majalah Nova membuat pembaca agak malu-malu. Ia memberikan “Sajak Cinta”. Judul itu gamblang meski Wiji Thukul enggan jatuh dalam picisan. Kita membaca: roh sajak tentu saja bukan putus asa/ bukan pula kata sekedar beruntai/ tapi satu, cinta merdeka/ sajak bukan kamar sembunyi. Larik-larik mengesankan Wiji Thukul bermufakat sastar itu kekuatan. Ia tak merugi berpuisi. Di biografi, sajak atau puisi itu kadang keselamatan atau kehormatan meski mengetahui hidup bisa ambruk, kelam, dan keok.

Di bait terakhir, kita menunduk sejenak: sajak ini kutulis untukmu/ bukan berarti patah cintaku/ karena sebuah dunia lain terbuka/ tersenyum mengajak bicara. Bait menguak kasmaran, tak mutlak dalam jalinan lelaki dan perempuan. Kita diajak merenung “putus asa” dan “patah cinta”. Wiji Thukul dalam kemauan waras, selamat, dan bergerak dengan puisi-puisi. Ikhtiar tak mau terkapar dan kapok mengalamai hidup. Puisi memberi “janji” tapi tak selalu memenangkan hidup. Begitu.

Bandung Mawardi,
Esais dan pedagang buku bekas asal Karanganyar, Jawa Tengah.

advertisement