Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Sunan Kudus’

Cerpen ‘Sunan Kudus’

Dari lubuk hati yang paling dalam aku merestuimu, memerangi raja Demak itu. Tanpa ragu-ragu. Aku merestuimu karena kau berhak atas tahta itu dan rakyat begitu menginginkanmu ada di sana. Kebatilan memang harus dienyahkan sebab ia sumber dari kerusakan. Aku sungguh percaya padamu, kau dapat melakukannya.

“Saya berjanji, akan mewujudkan apa yang menjadi keinginan rakyat. Sudah cukup rakyat tertindas, waktunya ini diakhiri,” ucapmu.

“Yang semestinya memang harus dikembalikan, berjuanglah.” Kupandang dirimu dengan saksama, tampak begitu gagah. Dalam hati aku berkata, “Sudah pantas kalau rakyat mengelu-elukanmu.”

Maka berangkatlah kau untuk memerangi raja Demak itu. Isi kepalaku hanya dipenuhi gambaran-gambaran kemenanganmu, kau berhasil menduduki tahta Demak, sebuah singgasana yang menjadi hakmu. Kemudian rakyat bersorak-sorai menyambut kemenanganmu.

Aku tiba-tiba saja ingat masa-masa ketika kau masih kecil, aku membimbingmu membaca Alquran dan menjelaskan segala hal tentang ajaran Islam. Jika boleh jujur, aku ingin semua muridku sama sepertimu. Begitu penurut dan rendah hati—yang kusalut kau terus mau belajar dan belajar tanpa henti. Aku sampai pernah mengatakan kepada ayahmu, supaya menjagamu dengan baik karena aku tahu potensi-potensi yang ada dalam dirimu.

Waktu begitu cepat berlalu. Dulu kau belum mengenal pertumpahan darah. Belum mengerti bahwa kebatilan harus ditumpas. Belum memahami bagaimana seseorang bisa menjadi rakus apabila dihadapkan dengan kekuasaan. Kini kau menjadi orang soleh, tidak pernah lupa menyembah-Nya. Kini kau sudah harus memperjuangkan rakyat, berjibaku dengan penguasa. Sebagai gurumu, tidak bisa dipungkiri, aku sangat bangga.

Aku percaya padamu, sungguh percaya padamu. Kau dapat melakukannya. Kau sudah berjanji padaku. Selama ini, setiap janji yang kau lontarkan kepadaku akan kau tepati. Bagaimanapun Demak harus dikembalikan pada yang berhak. Bagaimana Demak harus bersih dari tangan-tangan serakah!

“Tapi, Penangsang… Kau tetaplah manusia yang bisa khilaf. Keberangkatanmu menumpas kebatilan ini pasti juga dibumbui rasa dendammu. Aku tahu, Penangsang sesungguhnya apa yang ada di lubuk hatimu,” batinku, saat melepas kepergianmu, ya meski kau tidak mengatakannya kepadaku mengenai itu.

Memang. Tidak bisa dipungkiri. Kau terluka karena masa lalu. Luka itu memang sudah mengering, tapi tetap meninggalkan bekas. Aku tahu ada bara di hatimu. Untuk urusan yang satu ini, aku tidak kuasa untuk menasehatimu sebab hal itu merupakan sesuatu yang sulit digambarkan, maksudku perasaanmu. Aku tidak bisa membayangkan. Aku juga manusia.

Mungkin aku berdosa, telah membiarkan seseorang menuntaskan dendamnya—tujuan yang kau katakan padaku berjuang demi rakyat seakan tempat untuk menyembunyikan tujuanmu sebenarnya. Aku sama sekali tidak mempunyai kuasa untuk hal yang satu ini. Siapa sekarang yang rela mengikhlaskan setelah tahu ayahnya menghadap Yang Maha Kuasa dengan cara dibunuh? Apalagi demi kekuasaan. Dan sekarang, penguasa Demak sedang berupaya mengenyahkanmu. Kau dianggap menjadi ancaman. Maka memeranginya menjadi satu-satunya jalan.

Berbicara mengenai ayahmu, mau tidak mau harus berjalan ke masa lalu. Kembali pada suasana berkabung. Ayahmu ditemukan tak bernyawa selesai melaksanakan ibadah salat Jum’at bersimbah darah! Pada awalnya tidak ada satu pun yang tahu akan kematiannya. Hanya saja yang namanya kebusukan, akhirnya tercium juga baunya. Maka terketahui bahwa yang membunuh ayahmu adalah Sunan Prawoto.

Sebab ayahmu wafat, akhirnya adiknya menjadi raja di Demak yang tidak lain ayah Sunan Prawoto. Kini kendali pemerintahan telah berpindah Sunan Prawoto. Cukup banyak rakyat yang sesungguhnya tidak sreg dengan kepemimpinannya. Mereka tahu apa yang telah terjadi. Apa daya, rakyat tidak punya daya! Atas dasar itulah aku merestuimu.

Aku tahu betul bagaimana dirimu. Aku yakin, apabila pemerintahan Demak kau ambil alih, rakyat akan terlepas dari sangkar burung, terbebas dari penderitaan. Kau akan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan syariat islam. Kepemimpinan pemerintahan yang sekarang sudah cukup menyiksa, terutama pada wilayah pembayaran pajak kepada istana.

Aku yakin kau mampu melakukannya! Demi rakyat!

 

***

Segala hal yang dilandasi dengan niat baik akan berakhir baik. Maka aku yakin denganmu sejak awal, kau berangkat berperang demi kepentingan rakyatmu, meski ada keyakinan lain yaitu demi membalas dendam. Sunan Prawoto akhirnya mati, meski bukan lewat tanganmu sendiri. Aku sungguh gembira menyambut kabar itu. Pun dengan rakyat.

Akhirnya kau sah menjadi penguasa Demak, menjalankan pemerintahan sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama. Aku hanya berpesan kepadamu, jangan sampai kau dibutakan oleh kekuasaan—terkadang aku khawatir juga mengenai hal ini meski kau sudah mengerti hukum yang sesuai agama.

Meski kau sudah menjadi penguasa, kau tidak pernah lupa dengan orang-orang yang pernah membersamaimu dalam berjuang, tentu saja juga aku. Kau masih meminta nasehat dan masukan kepadaku, kepada guru-gurumu yang lain. Demak perlahan mulai bangkit; aku berharap segera kembali seperti pada masa Trenggana.

Meski begitu, ternyata tidak semua menerima—tentu saja di mana-mana ada orang yang tidak suka—keberhasilanmu. Adalah Hadiwijaya, Adipati Pajang—wilayah bawahan Demak. Semenjak kau memerintah, ia tidak pernah menunjukkan sikap langsung patuh dengan kebijakan-kebijakan yang kau buat—ya meskipun ada momen tertentu di mana ia memenuhi.

“Penangsang, ingat. Kau harus lebih bijak lagi dalam menyikapi hal ini. Mungkin sikap Hadiwijaya bukan semata-mata tidak suka, tapi memang karena apa yang menjadi kebijakanmu ada yang kurang tepat,” ucapku, menanggapi keluhanmu.

“Saya selalu mendengarkan semuanya, Sunan. Tidak pernah ada yang terlewat, jika itu baik, saya tidak mungkin mengabaikan. Percayalah, Sunan,” katamu.

Aku percaya tentu. Aku juga mengamati seperti apa Demak kau pimpin. Aku hanya mengingatkan, sebagai manusia kita sering tidak sadar telah melakukan kesalahan. Saat kau menuduh dengan mengeluarkan ucapan yang mengarah pada apa yang terjadi di masa lalu, aku cepat-cepat menyuruhmu untuk beristigfar.

“Hilangkan prasangkamu, Penangsang! Pikiran-pikiran seperti itu hanya akan mengotori kepalamu. Hanya akan memupuk rasa dendam,” tegasku.

Kau menuduh Hadiwijaya dendam denganmu karena telah membunuh Sunan Prawoto. Hadiwijaya merupakan menantu dari Trenggana, sehingga secara tidak langsung ia berada di pihak Sunan Prawoto. Tuduhanmu pun sampai pada hal paling buruk; terjadi pemberontakan.

Aku berharap kau tidak tersulut dengan tuduhanmu sendiri yang tidak jelas. Aku mengingatkanmu, kalau tanggung jawabmu cukup berat; mewujudkan cita-cita kembali membawa Demak pada masa kejayaan. Apakah benar demikian? Maksudnya, apakah prasangkamu benar-benar bisa hilang?

***

Sejujurnya, aku menjadi gelisah semenjak tuduhanmu muncul. Hadiwijaya yang kuketahui juga bukan orang sembarangan, jadi cukup mengkhawatirkan juga apabila tuduhan yang kau lontarkan benar adanya. Benar-benar. Sungguh-sungguh. Aku gelisah. Aku tidak tahu, mengapa kali ini aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri kalau kau bisa mengendalikan dirimu sendiri.

Akhir-akhir ini aku sering mendengar keributan di Pajang dan kekhawatiranku seperti mendekati kenyataan. Keributan-keributan itu ditimbulkan oleh rakyat yang membela Hadiwijaya dan yang membelamu. Aku jadi lebih sering mendatangimu.

“Kau diam saja bukan? Buktinya keributan itu masih berlangsung hingga sekarang, apa yang ada di pikiranmu sekarang ini, Penangsang?” tanyaku dengan nada sedikit keras.

“Hadiwijaya rupanya sudah tidak mau mendengar saya, Sunan. Padahal apa yang saya lakukan tidak ada yang merugikan rakyat, dalam hal ini termasuk rakyat Pajang! Saya sudah adil! Apa boleh buat, jika harus berperang!”

Mendengar kata-katamu, dadaku sakit tiada terkira. Aku menyuruhmu untuk beristigfar. Aku memutuskan, seperti tidak ada jalan lain; aku akan turun tangan mendamaikan mereka berdua. Aku tidak peduli dengan peringatan-peringatan yang ditujukan kepadaku, seperti Siti Jennar hingga Kalijaga bahwa janganlah aku ikut campur dengan urusan mereka. Aku tidak peduli, aku hanya bertindak sebagai orangtua. Aku perlu melakukannya.

Kuundang mereka berdua. Tanpa sepengetahuan satu sama lain. Aku berencana memberikan pengertian-pengertian kepada mereka. Ternyata apa yang kurencanakan tidak sesuai dengan rencana. Mereka beradu mulut. Aku mencoba melerai. Tidak mempan. Mereka mencabut keris masing-masing. Mereka siap beradu kanuragan dengan sepasang mata masing-masing menyala.Terpaksa aku memukul mundur mereka berdua dengan kanuragan.

“Sarungkan kerismu, Hadiwijaya! Dan pergi!” Aku berteriak.

Keduanya menurutiku. Mereka menyarungkan keris masing-masing. Hadiwijaya pergi. Sementara kau menatapku dengan penuh kekecewaan.

“Kenapa Sunan menghalangiku? Bagaimana jika ia akan merencanakan sesuatu!” Kau berkata dengan berteriak. Aku terkaget, begitu berani kau berteriak. Baru kali ini. Kau bukan seperti yang kukenal.

Aku tidak bisa berujar. Ujarannya yang sambil berteriak benar-benar tidak kusangka. Kau pergi tanpa berpamitan, menunggangi kudamu. Tampak sekilas kekecewaan terlukis di wajahmu. Entah kenapa, ada perasaan tidak enak dalam hati. Baru kali ini aku merasakannya. Kata-katamu membayang di benakku, meneror hari-hariku.

Semenjak itu kau tidak pernah menemuiku lagi. Teror itu melahirkan kegelisahanku yang lain. Aku gurumu, aku tidak bisa tidak memikirkanmu. Dan sekarang aku gelisah. Kata-katamu memberiku luka yang sangat menganga. Kata-katamu tanpa alasan yang jelas menjelma kegelisahan.

Suatu hari aku mendengar kabar yang membuatku terpukul. Bahwa Hadiwijaya mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa membunuhmu, ia akan memperoleh tanah Mentaok. Seketika aku hanya bisa membayangkan apabila nyawamu melayang!

Risen Dhawuh Abdullah
Lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.

Sastra Terkini