Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Kisah Garna Dhu yang Selalu Harus Pergi’

Cerpen ‘Kisah Garna Dhu yang Selalu Harus Pergi’

AKU tak pernah menyukai kata ‘pergi’, tapi semakin waktu berlalu, aku semakin meyakini kalau aku selalu menjadi orang yang harus pergi dari suatu tempat. Entahlah, aku seperti tak punya pilihan untuk menetap, walau aku sebenarnya senang berada di satu tempat, sesenang aku menjalani rutinitas dan membina pertemanan dengan banyak orang.

Aku mudah menyukai segala hal, bahkan saat orang-orang tak menyukai sesuatu, aku bisa menyukainya. Aku bisa mendengarkan curhat seorang teman –yang dijauhi teman lainnya– tanpa mengeluh. Aku juga bisa menghabiskan waktu hanya untuk melihat kupu-kupu terbang di sekitarku, sampai ia benar-benar tak lagi terlihat  oleh mataku.

Tapi aku memang selalu harus pergi. Meninggalkan segala sesuatu yang kusukai, atau setidaknya mulai kusukai. Perjalanan dan kamar yang asing, selalu jadi tempatku. Biasanya hanya ada satu cermin besar dan sebuah travel bag ukuran cukup, dengan pakaian-pakaianku seadanya.

Untungnya, walau merasa sedih karena harus pergi, seperti yang kubilang, aku mudah menyukai segala hal. Termasuk menjadi pendatang baru di satu kota yang asing. Aku akan berjalan semalaman mengenali sudut kota, dan mendatangi sesuatu yang kuanggap menarik, seperti sebuah acara bedah buku di sebuah toko buku kecil. Di sana, seorang penulis muda disebut-sebuh sebagai ‘ratu patah hati’ karena terus-terusan ditinggalkan kekasihnya.

Saat sesi tanya jawab, aku mengangkat tangan. “Tak perlu bersedih seperti itu. Kau seharusnya malah merasa beruntung bisa ditinggalkan seseorang. Di tempat lain, seorang yang menetap terlalu lama bersamamu, bisa jadi malah membunuhmu...”

Penulis itu sempat menaikkan kening tak mengerti. Tapi kemudian ia tersenyum seakan tahu apa yang kumaksud. Percayalah, ia tak tahu!

***

Ayah dan ibu tak pernah bermimpi apa-apa saat melahirkanku. Pun tak ada kejadian aneh selama kehamilanku. Semua nampak normal dan baik-baik saja. Sampai aku kemudian lahir dengan mudah dan disambut gembira seluruh keluarga.

Sampai saat aku berusia satu tahun, ibu pernah membawaku dengan kereta bayinya ke taman kota. Seorang perempuan tunawisma tiba-tiba mendekatinya dengan ketakutan. “Aku melihat bayang-bayang hitam di sekitar kereta itu!” tunjuknya padaku yang belum mengerti apa-apa.

Dengan gerakan ragu, ia melongokkan kepalanya kepadaku, dan seketika ia menjadi begitu ketakutan. Ibu yang juga ikut ketakutan, berusaha menjauh darinya. Ia sama sekali tak menggubris ucapan tunawisma itu. Padahal itulah sebenarnya tanda pertama tentang diriku.

Sampai kemudian di umurku yang ketiga tahun, ibu mulai sering nampak tak sehat. Dadanya sering terasa sakit hingga suatu hari, saat hendak menggendongku, ia tiba-tiba saja jatuh dan menghembuskan napas terakhirnya.

Ayah yang kemudian membayar seorang pengasuh anak untuk merawatku. Tapi 16 bulan kemudian, pengasuh anak itu mati tanpa sebab yang jelas, 13 bulan kemudian pengasuh anak kedua juga mengalami nasib yang sama, dan 11 bulan berikutnya pengasuh anak penggantinya pun mengalami nasib yang tak berbeda.

Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Semua nampak normal di dekatku. Tapi saat itulah, aku pertama kalinya melihat ayah menatapku dengan pandangan aneh. Ada raut ketakutan yang samar di sana. Ia seperti ingin bertanya: “Ada apa denganmu, Sayang?” Tapi tak cukup tega melontarkannya padaku. Dan aku pun sama sekali tak ingin mendengarnya, karena aku tentu tak bisa juga menjawabnya.

Saat itu aku hampir berusia 7 tahun, dan merupakan saatnya aku bersekolah. Ayah masih tetap memandangku dengan ragu. Kini ia tak berani memelukku, padahal aku ingin sekali ia memelukku seperti dulu. Toh walau sibuk dengan perkerjaannya, ia selalu menyempatkan diri memeluk dan mencium pipiku setiap malam.

Tapi aku mengerti mengapa ia sekarnag begitu. Aku tak menyalahkannya. Omongan para tetangga yang menanggapi kematian beruntun di rumah kami, kadang memang sangat menyakitkan. Bahkan itu keluar dari saudara ayah sendiri.

“Ia membawa sesuatu yang buruk. Kau tahu, ada orang-orang tertentu yang terlahir dengan membawa kesialan bagi yang lainnya...”

Tentu semua ucapan buruk itu tertuju padaku. Dan aku senang ayah selalu membantahnya. Tapi seiring waktu berjalan, ayah sendiri yang malah membuat jarak denganku. Ia membiarkanku bermain sendirian di lantai 2, sedang ia sendiri selalu berada di lantai pertama.

Walau tak suka keadaan ini, aku bisa menerimanya. Namun satu yang membuatku marah, ia tak pernah mengizinkan seorang teman pun bermain ke rumah. Ia bahkan selalu memindahkanku ke sekolah yang berbeda setiap setahun sekali.

 

***

Kupikir tak ada yang lebih menyedihkan dari hidupku. Sering aku mamatut diri di cermin besar yang ada di kamar, dan bertanya-tanya, ada apa denganku? Semua tak ada yang berbeda. Tubuhku seperti gadis-gadis pada umumnya. Tak ada apa-apa di sekelilingnya! Bagaimana bisa aku membuat orang-orang yang ada di dekatku meninggal begitu saja?

Aku bahkan membaca buku tentang cakra, atau tentang aura di tubuh seseorang, tapi tak ada seorang pun yang bisa mengakibatkan orang-orang di dekatnya mati. Tak ada.

Sungguh, aku tak pernah bisa untuk benar-benar percaya dengan apa yang kudengar selama ini! Tapi ayah dengan cara terhalus yang ia bisa, akan selalu berkata, “Aku tahu ini sulit untuk kau terima, Sayang. Tapi sebisa mungkin... jauhilah siapa pun...”

Dan aku hanya bisa menurutinya. Sejak itu, aku memang lebih banyak tinggal di kamar. Bila aku seorang introvert, kehidupan seperti ini mungkin bukan masalah. Tapi aku suka membina pertemanan. Aku selalu ingin memiliki teman, memimpikan seorang sahabat untuk bicara tentang segala hal, dan tentu juga memiliki seorang kekasih yang baik.

Pada akhirnya, aku bisa meninggalkan rumah setelah lulus sekolah. Aku memilih kuliah di kota yang jauh. Aku tahu ayah sebenarnya tak setuju, tapi ia tentu tak bisa mengekangku di sini sepanjang hidup. Jadi ia hanya berpesan: “Kontraklah sebuah rumah, dan tinggallah di sana sendirian. Segeralah selesaikan kuliahmu, dan pulang. Cuma itu yang ayah inginkan darimu.”

Aku hanya mengangguk. Tapi mengontrak rumah seorang diri, tentu tak mengasyikkan. Walau aku mencoba bertahan, tapi siapa yang bisa menolak kehadiran teman-teman yang menyenangkan?

Satu-persatu dari mereka mulai datang. Satu yang paling kerap adalah Russie. Dia anak tunggal, tak punya saudara, dan rumahnya cukup jauh dari kampus. Awalnya kami hanya bertemu di kelas dan perpustakaan, lalu di semester dua ia mulai mampir ke kontrakan. Aku tentu senang bersamanya, walau tetap berjaga-jaga.

Sampai suatu kali Russie berkata, “Enak sekali berada di rumahmu, Garna. Besar dan adem. Apa kau keberatan kalau aku sesekali menginap di sini?”

Aku tentu saja tak keberatan. Russie anak yang menyenangkan dan cukup bisa bertanggungjawab. Jadi dengan setengah keraguan, aku mengizinkannya. Aku memberinya kamar kedua, dan tetap berpesan, “Ada di waktu-waktu tertentu aku ingin sendirian saja, jadi bila aku ada di kamar, dan pintu tertutup, aku tak ingin kau masuk.” Russie yang walau merasa sedikit aneh, hanya mengangguk saja.

***

Setahun lewat tak ada yang terjadi pada Russie. Semua baik-baik saja. Bagaimana pun, toh aku sendiri tak sepenuhnya percaya dengan apa yang ada padaku. Sisi diriku yang lain masih menganggap semua kejadian di masa lalu adalah kebetulan semata. Jadi aku mulai lebih kerap membuka pintu kamar. Russie akan selalu masuk dan menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Ini yang sebenarnya diinginkannya sejak dulu. Kami akan tidur bersama, dan bercerita sampai ketiduran.

Tapi hanya 4 bulan berselang, Russie tiba-tiba saja terjatuh saat akan mengambil sarapan yang kubuat, dan menghembuskan napas terakhirnya.

Aku tak pernah merasa sesedih ini. Di pemakaman Russie yang muram, aku mendengar ibunya berkata saat seorang tetangga menanyakan apa sebab kematian anaknya. “Entahlah, dokter hanya berkata seluruh organ dalam tubuhnya rusak, seperti... terbakar. Belum diketahui pasti penyebabnya...”

Aku hanya bisa tertegun. Masih tak kupercaya kalau akulah penyebab kematiannya? Masih kupungkiri tak ada yang salah dari tubuhku. Tapi ingatan tentang kematian ibu dan 3 pengasuhku, seperti melemparkanku ke jurang paling dalam: semuanya menghembuskan napas terakhir saat berdekatan denganku!

***

Setahun lewat, aku kembali menjalani kehidupan sendiriku. Beberapa kawan mencoba membina hubungan yang akrab denganku, tapi setiap mereka mulai merasa nyaman denganku, aku memutuskan untuk pergi menjauh.

Sampai kemudian laki-itu datang. Namanya Darian. Ialah yang pelan-pelan mulai membuka pintu hatiku. Wajahnya tampan, dan aku menyukainya karena kebaikan hatinya.

Lama-lama ia mulai kerap ke kontrakan. Ia membawa bahan makanan dan memasakkan makanan untukku. Ia juga yang membetulkan ledeng yang mampet, dan memperbaiki atap yang bocor. Jadi aku tak pernah punya alasan menolaknya datang.

Di satu hari, Darian mengungkapkan cintanya, dan aku benar-benar tak kuasa menolaknya. Kami akan bercinta bagai dua lintah yang bertemu, bergelut dan menggeliat tanpa henti.

Aku masih mencoba selalu memintanya pulang. Tapi lama-lama permintaan itu mudah sekali diabaikan. Toh, pada kenyataannya, aku tak pernah ingin jauh darinya.

***

Di tahun terakhir kuliah, ayah meninggal. Aku harus pulang ke kota asalku untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan apa yang ditinggalkan ayah. Jadi kutinggalkan rumah pada Darian.

Ada satu surat dari ayah untukku. Surat yang ditulis di saat-saat terakhirnya.

Jagalah dirimu baik-baik, Sayang.
Ingatlah selalu pesan ayah padamu.
Maafkan ayah dan ibumu, yang membuatmu begini...

Sesungguhnya, aku tak pernah menyalahkan ayah. Sama seperti ibu, ia orang tua yang baik. Aku bahkan bisa menyebutnya sempurna. Tapi aku sepertinya lupa, segala sesuatu yang sempurna, tak pernah benar-benar sempurna.

Saat aku kembali, aku mulai memutuskan untuk menyelesaikan kuliah segera, agar dapat segera memiliki alasan untuk pindah. Kupikir tak adil terlalu lama di sini, aku akan semakin tergantung pada Darian, dan aku tak ingin ia mengalami nasib yang buruk gara-gara terlalu sering bersamaku.

Tapi saat sedang berberes, aku menemukan aroma asing di kamarku. Aku mengendus. Seprai dalam kondisi baru, tapi tetap bisa kubaui aroma wangi yang samar. Semacam aroma tonic rambut yang biasa dipakai perempuan.

Saat Darian muncul dari kamar mandi, aku bertanya tak yakin,  “Apakah kau... membawa perempuan lain ke sini?”

Darian nampak kaget. “Tentu saja tidak, Sayang. Jangan menuduhku seperti itu!” jawabnya keras. Tapi, aku seperti merasa reaksinya menunjukkan jawabannya. Aku mencoba mendiamkan saja keadaan ini, seiring luka yang tiba-tiba seperti kurasakan di dalam hati.

Sejak saat itu, aku mulai lebih memperhatikannya. Aku tahu ia pengangguran, dan tak banyak memiliki kawan. Dulu ia memang bekerja di salah satu bar, tapi sejak kerap bersamaku, ia memutuskan keluar dan tak melakukan apa-apa lagi. Ia memang masih menunjukkan padaku, saat ia tengah mencari pekerjaan lain, tapi itu tak pernah berbuah hasil. Hingga  selama ini, akulah yang menanggung seluruh biaya hidupnya.

Saat satu kali saat aku memintanya pulang, diam-diam aku mengikutinya. Dan benar saja, ia tak pulang ke kostnya. Ia pergi ke sebuah rumah yang kutahu sekali merupakan rumah kost-kostan mahasiswi di kampusku.

Di hari lain, aku akhirnya melihat juga dirinya bersama perempuan lain. Seorang adik angkatanku di kampus. Ia bergandengan tangan sambil tak henti berciuman.

Aku mendiaminya. Tapi dadaku terasa sangat sesak. Tanganku mengepal. Ingin sekali rasanya menghampiri dan menampar wajahnya. Tapi kemudian aku terdiam, seperti teringat sesuatu.

Saat Darian datang ke rumah, aku malah menyambutnya dengan pakaian seksi yang belum pernah dilihatnya. Tanpa satu-dua kata pengantar, aku memeluknya. Kami kemudian bercinta di semua sudut rumah. Aku memintanya berulang, sampai ia menyerah kelelahan. Saat ia hanya bisa tertidur di sampingku, aku memeluknya sampai pagi.

Dan sebulan berselang saja, saat ia tengah menyiapkan makan malam kami, tiba-tiba saja ia terjatuh. Sempat ia mengerang kesakitan memegang dadanya.

Tapi aku hanya diam saja melihatnya, dan tersenyum.

***

Yudhi Herwibowo
Menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya novel Cara Terbaik Menulis Kitab Suci (Banana Publishing), dan kumpulan cerpen (kumcer) Umbira dan Keajaiban-keajaiban di Kotak Ajaibnya (bukuKatta)

Sastra Terkini